Share

Alan Yang Mulai Licik

Alan rasanya sudah tak kuat lagi berdiri. Tubuhnya rasanya ingin ambruk, dan kaki yang terasa lemas seperti jelly. Dengan mata telanjangnya dia menyaksikan suaminya bercumbu dengan Luna di kamar pribadi milik pria tampan itu yang berada di dalam ruangan ini.

Inikah kejutan yang ia dapat. Setelah bayangan menyenangkan yang sempat Alan idamkan saat dirinya berangkat ke tempat ini, dan semuanya musnah dalam sekejab pandangan mata.

Gadis itu mendesah nikmat dengan tubuh terlentang di atas ranjang. Napasnya terengah-engah dengan tubuh nyaris tanpa busana di bawah kungkungan sosok tegab suaminya.

Tangan kurus Alan bergetar hebat, dengan irama jantung yang semakin cepat seolah ingin segera berlari keluar dari tubuh Alan. Tas berisi kotak bekal yang dia bawa dari rumah meluncur bebas begitu saja. Hingga menimbulkan bunyi 'Brakk' yang cukup nyaring, membuat Gavin langsung menyadari orang lain yang berada di dalam ruangannya. Lelaki tampan itu menoleh ke arah di mama Alan berada dengan wajah geram, diikuti Luna yang tersenyum memuakan melihat Alan berdiri di ambang pintu dengan tatapan shock.

Semua kesakitan ini terasa menumpuk menjadi senjata untuk membunuhnya saat ini juga.

Mata cokelat Alan memanas. Air mata yang sekuat tenaga dia tahan, akhirnya meluncur bebas.

Sakit, sakit sekali rasanya. Meskipun dia pernah berkata akan rela untuk berbagi suaminya dengan Luna. Namun, apa yang terjadi? Rasanya sakit di dadanya tetap bertahan dan tak ingin lari. Terus mengendap dan merusak segala organ-organ tubuh Alanair.

"Apa yang kau lakukan di sini?" Ucapan datar dan menusuk itu mampu membuat Alan bergetar hebat. Aura kelam dari tubuh Gavin membuatnya takut setengah mati. Terlihat dari tatapannya yang berubah aneh.

Kedua tangannya bergetar hebat, "A-aku ..., aku hanya men-gantarkan makan siang untukmu," ucapnya terbata. Wajahnya bahkan memilih berpaling tak sanggup melihat pemandangan menyakitkan yang tersaji di depannya.

Seharusnya, seharusnya bukan seperti ini yang akan terjadi. Semua bayangan indah di benaknya melebur menjadi jarum yang merajam jantungnya.

"Pergilah, aku tidak menyuruhmu," ucap Gavin. Lagi-lagi dengan intonasi yang datar dan dingin bagai es di kutub selatan.

"Aku...." Alan tak sanggup lagi mengurai kata. Bibirnya bergetar hebat, merintih merasakan sesak di ulu hatinya. Ucapan yang hampir keluar kini tertahan dan tertelan kembali ke tenggorokan, karena air matanya lebih lancang dari yang ia duga.

Entah kenapa dia begitu cengeng padahal dia sudah berjanji untuk tidak menangis di depan laki-laki yang menempati seluruh ruang di hatinya ini.

Dia mencoba menarik napas dalam-dalam, mencoba mengurangi sesak yang menghimpitnya.

"Alan, ada apa denganmu, kau tidak boleh menangis," ucapnya dalam hati.

"Maafkan aku," ucapnya lirih dengan wajah yang setia menunduk.

Gavin meraup kasar wajahnya. Pria itu mengambil handuk putih untuk menutupi bagian privatnya dan berjalan ke arah istrinya yang diam dengan tatapannya yang fokus pada lantai ruangan.

Tubuh kekar yang hanya terbaluk handuk sebatas pinggang itu berdiri tepat di hadapan Alan. Bahkan aroma maskulin yang menguar dari tubuh Gavin mampu membuat Alan mabuk kepayang. Akan tetapi, dia ingat. Laki-laki ini tak sudi menyentuhnya walau seujung kuku sekalipun, dan ia sadar diri.

"Cepat bersihkan kekacauan yang kau buat, jangan pernah mendatangiku di kantor. Kau sungguh membuatku malu jika para staf itu tahu siapa kau. Mereka hanya tahu jika istriku adalah Luna seorang. Aku tidak ingin membuat skandal yang akan menghancurkan WG, jadi pergilah!" usirnya.

"Tapi aku...."

Gavin datang mendekat dan langsung menyambar lengannya. Mencengkeramnya dengan begitu erat hingga Alan meringis kesakitan.

Mata biru Gavin memincing tajam, dan kemudian berkata, "Can't you hear it! Get out of here, because I'm so ashamed to have a wife like you, Alanair Wellington. you really piss me off!" sentaknya, dan ia hempaskan begitu saja tangan milik Alan hingga si empunya terhuyung ke belakang.

Alan semakin menahan perih di dadanya. Dia mengangguk lalu memungguti kotak bekal yang berserakan di atas lantai. Air matanya terus meluncur tak mau berhenti.

Kenapa jatuh cinta begitu sulit.

Kenapa mencintainya begitu rumit.

Kenapa cinta menyiksa hatinya.

Jika bisa, dia tidak ingin jatuh cinta dan terperosok pada sosok Gavin yang melekat kuat bagai lem di relung hatinya.

"Cepatlah pergi, kau mengganggu saja." Suara Luna menyentakknya. Tangannya saling meremat kencang. Sial, dia benci dengan Luna. Sangat membencinya.

"Aku akan pergi, maaf sudah mengganggu waktu kalian, Tuan dan Nyonya Wildberg," ucapnya lirih. Masih mencoba menahan laju air matanya yang tak kunjung ingin berhenti.

Kenapa dirinya selalu kalah. Dia tak ingin seperti ini. Namun, rasa takut selalu membuatnya menjadi orang yang lemah.

Alan lantas berbalik dan segera berlari dari ruangan Gavin dengan wajah yang sembab.

Terus berlari memacu kakinya, tak peduli orang-orang yang mengumpat padanya karena Alan beberapa kali Alan menabrak mereka.

Wanita itu hanya ingin terus berlari dan meredam segala remuk di hatinya.

Kakinya ia pacu semakin cepat, tak peduli tatapan aneh orang-orang yang dia lewati, hingga dia sampai di halaman kantor WG, dan berdiri di sana.

Hanya sesaat untuk meredakan sesak yang nenghantam dadanya.

Alan kemudian memilih berjalan kaki, daripada menaiki taksi. Awan mendung menghiasi wajahnya. Dia terus berjalan tanpa menoleh lagi.

Pikirannya kalut.

Apakah dia kalah sekarang?

Memang kapan dia pernah menang, sejak awal dirinya adalah seorang pecundang bodoh yang mengemis cinta pada Gavin, padahal jelas-jelas laki-laki itu tak memiliki secuil pun rasa padanya.

Kakinya terus melangkah walau tubuhnya terasa berat. Air matanya terus merangsek keluar. Otak Alan mulai tidak bekerja dengan baik.

Dia melihat di mana dia berhenti sekarang. Dia membaca papan nama sebuah toko tepat di seberang tempat ia berdiri sekarang. Bibirnya tersenyum, dia mulai gila dengan semua pemikirannya.

Alan mulai frustasi.

Dia tidak peduli, ini adalah jalan terakhir yang akan dirinya tempuh.

Alan berjalan masuk ke dalam sebuah toko yang menjual produk dewasa. Entah kenapa dia begitu bersemangat dengan pemikirannya kali ini.

"Kau harus kuat Alan, menangis hanya akan membuatmu kalah, aku juga berhak mendapatkan Gavin, bagaimanapun caranya."

Wanita itu memutuskan ingin melancarkan ide gila yang sekarang menari di kepalanya.

Dia tersenyum penuh arti. Kakinya bergerak lincah mencari-cari produk yang dia incar.

Dia menemukannya. Sebuah botol kecil berisi obat yang akan memuluskan jalannya malam ini.

"Maafkan aku, aku mencintaimu, jika aku tidak bisa mendapatkanmu dengan cara yang baik, aku akan melakukan dengan cara yang lain," tutur Alan dengan tawanya yang menyakitkan.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status