Share

3. Dilema

Penulis: Blue_Starlight
last update Terakhir Diperbarui: 2025-02-10 12:36:32

Pertolongan utama pun langsung dilakukan setelah mobil Liam berhenti di depan ruang UGD. Beberapa perawat dan dokter langsung menanggani dengan sigap.

Beruntungnya Ashley tidak mengalami luka berat. Bagian lututnya tidak mengalami masalah, hanya luka ringan di kening saat wanita itu pingsan tergores aspal.

Dokter mengatakan bila kondisi Ashley memang lemah dan seolah tidak memiliki semangat hidup. Sang dokter pun mengatakan pada Hans setelah berhasil mengintrogasinya.

Bram menemui Hans yang sudah menunggu di ruangannya. "Sepertinya, dia memang sengaja menabrakkan dirinya, Hans," katanya sembari mendudukkan diri.

Sedikit terkejut, Hans mengangguk lirih, "Sudah aku duga. Lalu apa penyebabnya? Apa kamu juga tau?"

Sang dokter tak heran bila sahabatnya sangat peka. "Menurut informasi yang aku dapat, dia masih berduka karena kehilangan suami dan bayinya. Kemungkinan itu yang menyebabkan dia depresi lalu ingin bunuh diri."

"Apa katamu? Kehilangan bayi?"

Seperti mendapat angin segar, wajah Hans sedikit berbinar hingga membuat sang dokter penasaran.

"Ya, seperti yang kamu dengar." Seketika seutas senyum terbit pada wajah tampan sang CEO. "Apa yang sedang kamu pikirkan, Hans?" imbuh sang dokter.

"Terima kasih kamu sudah memberitahuku, Bram," balas sang CEO penuh semangat. "Ini dia wanita yang aku cari!"

Bram mengernyit bingung, "Apa yang kamu cari?"

"Jelas ibu susu untuk anakku!" gemas Hans dengan sahabatnya yang seolah dia tidak tahu.

"Haaa? Sampai sekarang kamu belum dapat?" Bram lebih terkejut. "Aku kira CEO sepertimu bisa cepat mendapatkannya."

Berdecak kesal, Hans memaki. "Ck! Kamu kira cari ibu susu gampang sama seperti cari karyawan kantoran!"

Sang dokter tertawa hingga tergelak melihat reaksi Hans. "Hahaha ... Aku pikir setelah kamu membuka lowongan ibu susu dengan kriteriamu langsung banyak yang mendaftar ...!"

"Enak saja, kamu pikir aku mesum!"

Puas menertawakan sang sahabat, Bram pun bangkit dari duduknya yang diikuti sang CEO.

"Kalau begitu ya sudah, aku tinggal dulu. Ada pasien di sana," pamit sang dokter menepuk lengan pria di hadapannya.

Keduanya pun keluar dari ruang dokter. Hans mengangguk, kemudian menatap punggung Bram hingga samar dari pandangan.

Setelah keadaan Ashley lebih baik. Wanita itu juga sudah kembali sadar, Liam pun menghadap si bos.

"Bagaimana dengan wanita itu, Liam?" tanya Hans melihat kedatangan sang asisten.

Mengembus napas lega, Liam menjawab, "Dia sudah lebih baik, Pak."

"Hm, lalu di mana rumahnya? Apa kamu sudah menanyakan juga?"

Sesaat semua sunyi hingga terdengar helaan napas sang asisten, lalu menggeleng, "Tidak ada jawaban dari wanita itu. Sepertinya dia tidak punya tempat tinggal."

Tentu saja semua bisa menerka apa yang terjadi pada Ashley. Sosok wanita yang ingin bunuh diri dan hanya membawa beberapa baju dalam kantong plastik, dugaan keduanya sangat tepat.

Setelah berpikir panjang dengan segala resiko, Hans mengambil keputusan. "Tanyakan padanya, apa dia mau bekerja di rumah? Kalau dia mau, kita pulang sekarang."

"Baik, Pak. Saya tanyakan dulu." Liam langsung masuk kembali ke ruangan Ashley di rawat.

"Semoga dia mau ..." gumam Hans berharap penuh.

Tak ada pilihan lain bagi wanita yang kini menatap kosong langit-langit rumah sakit. Matanya kembali berkaca-kaca. Mengapa ia tidak mati! Tapi justru berada di rumah sakit.

"Sepertinya siksaan-mu belum berhenti sampai di sini, Tuhan ..." batin Ashley merasa dunia sangat tak adil.

Kejadian beberapa jam yang lalu, ternyata tidak mempertemukannya dengan suami dan anaknya di alam sana, tetapi justru menimbulkan masalah baru.

"Uang dari mana aku membayar tagihan rumah sakit ini ...?" lirihnya tersenyum miris. Ia seolah marah pada sang pencipta. "Seharusnya Kamu ambil nyawaku saja! Kenapa Kamu menyelamatkanku!"

Seakan musibah dan derita tak berhenti menimpa dirinya, Ashley kini hanya pasrah. Sudah tak ada tempat lagi baginya mengeluh dan mengadu. Sementara ia merasa Tuhan akan terus membuatnya tersiksa.

Suara tirai dibuka membuat Ashley menghapus air matanya dengan kasar, meskipun matanya masih terlihat basah.

Sang asisten kini berdiri di samping brankar. Sejenak sebelum berucap, Liam tersenyum hangat. "Bu Ashley ..."

Belum juga Liam selesai berbicara, Hans menyusul sang asisten di belakangnya. Ia ingin memastikan sendiri.

"Apa kamu mau jadi ibu susu bayiku?" tanya Hans tiba-tiba membuat Ashley menoleh dengan kedua bola mata membola.

"Apa?!"

***

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (32)
goodnovel comment avatar
SalmiaSR
hans sabar atuh.. main mau mau aja.. syok lah pasti dia...
goodnovel comment avatar
Yanda Hanazti
hans gercep banget ga perlu basa badi lgsung the point. bikin Ashley syok aja dgn pertanyaan hans
goodnovel comment avatar
Nining Mulyaningsi
Haduhh Hans kamu terlalu to the point c Ashley pasti kaget lah dengan tawaranmu yang secara tiba-tiba
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • IBU SUSU BAYIKU, CANDUKU!   168. Siapkan Mental

    Lorong rumah sakit itu terasa semakin panjang dan sunyi, seolah menyimpan rahasia besar yang baru saja akan terungkap. Langkah kaki Doni, Ashley, dan Hans menggema perlahan. Doni berjalan dengan dada sesak, pikirannya berkecamuk sejak mendengar nama "Sisil" keluar dari mulut Hans.Ashley yang berada di sisi Doni juga masih memikirkan hal yang sama. Perasaan tak suka dan benci pada Sisil masih ada, tapi kini bercampur dengan rasa khawatir dan penasaran.Setibanya di ruang IGD, Hans mengangkat tirai putih yang menutupi salah satu ranjang pasien."Sini ... dia di sini," gumam Hans pelan. "Coba lihat."Seketika, Ashley menoleh ke arah Doni. "Don?"

  • IBU SUSU BAYIKU, CANDUKU!   167. Mungkinkah ...

    Pagi merekah perlahan di langit yang cerah. Udara masih terasa segar meski lalu lintas di sekitar RS Puri Medika mulai riuh. Cahaya matahari menembus celah jendela lobi rumah sakit, membentuk garis-garis hangat di lantai putih mengkilap.Doni memasuki rumah sakit dengan langkah ringan dan ekspresi wajah yang sulit disembunyikan dan penuh rasa kemenangan. Ia baru saja kembali dari rumah untuk mengambil pakaian ganti, beberapa dokumen penting, dan barang keperluan lain. Tapi bukan itu yang membuatnya tampak begitu sumringah.Sementara Ashley keluar dari kafetaria kecil di dekat pintu utama, membawa dua bungkus nasi uduk dalam kantong plastik. Rambutnya diikat sederhana, tanpa make-up, namun aura ketenangan terpancar dari wajahnya yang kini sedikit membaik. Ia berhenti sejenak saat melihat Doni, lalu melambai pelan.

  • IBU SUSU BAYIKU, CANDUKU!   166. Permintaan

    Rendra mengerutkan kening, memandang Hendrik yang jelas-jelas sedang berusaha keras menahan perasaannya. "Mulai dari kejadian Sandra, adik Doni. Apa yang sebenarnya terjadi?"Hendrik terdiam sejenak. Ia menggigit bibir bawahnya, sesekali mengusap wajahnya dengan tangan yang gemetar. "Itu... aku tidak tahu, aku...""Jangan coba berbohong, Hendrik!" potong Alvin yang sudah tidak sabar. "Kami tahu apa yang terjadi. Kamu sudah memperkosa Sandra. Kamu tahu betul apa akibatnya dari perbuatanmu itu."Hendrik mendongak, matanya berkaca-kaca. "Aku... aku tidak bisa mengendalikan diriku waktu itu.""Cukup!" seru Rendra, suaranya keras dan tegas. "Kamu tahu apa yang kamu lakukan, Hendrik. Tidak ada alas

  • IBU SUSU BAYIKU, CANDUKU!   165. Penyergapan

    Rendra mengedipkan mata, lalu mengakhiri sambungan dengan cepat sebelum Hendrik benar-benar menutup lebih dulu. "Terima kasih waktunya, Pak. Mohon maaf kalau mengganggu. Selamat sore."Begitu telepon ditutup, Alvin langsung bergerak cepat di komputernya. Ia menghubungkan layar ke sistem pelacakan satelit dan memperbesar lokasi yang baru saja dikunci. Gambar dari CCTV pelabuhan mulai muncul, meski tidak terlalu jernih."Ini dia. Sinyal ponsel aktif di sekitar pinggiran kota. Kamera menangkap pergerakan pria dengan hoodie gelap, masuk ke area rumah tak berpenghuni tanpa izin. Wajah tidak jelas, tapi ... sepertinya dia menyembunyikan sesuatu," kata Alvin sambil menunjuk ke layar."Apakah kita yakin itu Hendrik?" tanya Alvin, meski nadanya sudah agak yakin.

  • IBU SUSU BAYIKU, CANDUKU!   164. Melacak Alamat

    Liam baru saja selesai mengatur beberapa dokumen di meja kerjanya ketika melihat Hans bergegas keluar dari ruangannya. Wajah bosnya terlihat serius, tergesa-gesa, dan ada sesuatu yang berbeda?sesuatu yang membuat Liam sedikit khawatir."Pak Hans, Anda mau ke mana?" Liam bertanya, suaranya penuh rasa ingin tahu.Hans berhenti sejenak, memalingkan wajahnya ke arah Liam. Matanya tampak penuh pemikiran, tetapi ada kelelahan yang tak bisa disembunyikan."Aku mau ke Rumah Sakit Puri Medika," jawab Hans tanpa banyak kata. Suaranya sedikit terburu-buru."Ada apa, Pak? Apa ada yang sedang sakit atau perlu mendapat bantuan medis?" tanya Liam penasaran.

  • IBU SUSU BAYIKU, CANDUKU!   163. Berdengup Kencang

    Suasana kantor polisi siang itu cukup sibuk. Di salah satu ruangan yang dikhususkan untuk penanganan kecelakaan lalu lintas, seorang petugas berpakaian dinas lengkap tengah duduk di balik meja dengan tumpukan barang bukti yang baru saja masuk. Di antara dompet, jam tangan retak, dan sehelai scarf dengan bercak darah samar, ia menarik satu buah ponsel dengan casing merah muda yang sudah sedikit tergores.Petugas itu, Bripda Rino, menatap ponsel tersebut sambil mengerutkan dahi, "Mungkin ini milik korban wanita dari kecelakaan tadi pagi," gumamnya pelan.Ia menekan tombol daya. Tak ada respon. Ia ulangi. Kali ini muncul logo ponsel yang menyala perlahan. Rino mengangguk kecil, sedikit lega. "Syukurlah, cuma mati sementara. Mungkin jatuh dan terguncang waktu benturan."

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status