Share

HARUS KUAT

8

Aira memasuki kamar Raka dengan gontai. Wanita itu mulai mengenali seluk beluk rumah besar itu, hingga tak perlu ditemani untuk sekadar mencari kamar anaknya. 

Dengan lemah ia mendudukkan dirinya di kursi samping box Raka. Bayi tiga bulan yang sedang ia perjuangkan masa depannya itu terlihat sudah pulas. 

Raka memang anak yang tidak menyusahkan sejak lahir. Tidak pernah nangis rewel yang membuat kedua orang tuanya kerepotan kecuali sedang sakit. Aira yang sejak melahirkan, harus mengurus bayinya sendiri karena sudah tak memiliki orang tua dan jauh dari mertua, tak pernah merasa kerepotan walaupun Randi tidak pernah mau membantu pekerjaan rumah. 

Anehnya, walaupun Raka begitu anteng untuk ukuran bayi, tak pernah membuat Randi –sang ayah bahagia dan bangga atas kelahiran bayi itu. Randi malah lebih sering menyalahkan Aira yang terlalu terburu-buru hamil, dan tidak lagi fokus mengurus suami gara-gara kehadiran Raka di antara mereka. 

Ayah yang aneh bagi Aira. Namun, itulah Randi. Sejak Raka lahir sikapnya berubah drastis. Jangankan mau membantu mengurus bayinya, sikapnya kepada Aira pun berubah galak hingga puncaknya membawa wanita selingkuhannya ke rumah, di saat Aira tengah ke puskesmas memeriksakan Raka yang demam. 

Sejak Raka lahir, Aira sudah merasa hanya dirinya sendiri yang bahagia atas anugerah berupa seorang anak. Karena itulah, ia bertekad akan membahagiakan dan memberikan yang terbaik untuk Raka. 

Ia bahkan sengaja membawa Raka keluar dari rumah, karena pertumbuhan Raka tidak akan sehat fisik dan mentalnya selama sikap Randi tidak berubah, dan ada wanita lain di rumah orang tuanya. 

Aira juga rela menjual air susu dan merendahkan diri di depan boss arogan demi kelanjutan hidup mereka. Ia tak dapat membayangkan kalau mereka tidak datang ke sini, dan tetap berada di jalanan. Apa yang akan terjadi kepada mereka? 

Mungkin mereka sudah kelaparan. Belum lagi jalanan yang rawan kejahatan untuk wanita dan seorang bayi, apalagi di malam hari. 

Aira menarik napas panjang, tangannya terangkat, menyentuh kepala Raka yang masih terlelap. Napasnya teratur. Raka terlihat sangat nyaman dengan kasur dan kamar barunya. Sesuatu yang tidak akan mampu ia belikan di luar sana. 

Tangan Aira mulai membelai kepala dan wajah sang anak yang begitu disayanginya. Raka adalah hidupnya, Raka segalanya untuk Aira. 

Hidup dan matinya hanya untuk bayi itu. Apa pun akan Aira lakukan untuk membahagiakan sang anak. Karena Raka satu-satunya harta berharga yang ia miliki. 

Raka satu-satunya keluarga yang ia miliki di dunia. Begitu pun bagi sang anak, dirinya adalah satu-satunya pelindung. Aira akan jadi ibu sekaligus ayah untuk sang anak. 

Sayangnya, keputusan Aira untuk menjual ASI-nya agar Raka hidup layak, dan mereka tidak terlunta-lunta, justru harus ditukar dengan menomorduakan sang anak. Ia harus rela mengesampingkan Raka demi anak orang lain yang bahkan tidak ada hubungan darah sama sekali. 

"Sayang, maafin Mama, ya. Semoga kamu ridho dan ikhlas berbagi dengan orang lain. Ini semua Mama lakukan juga demi kebaikanmu, Sayang. Maaf juga kalau ke depannya kamu harus rela Mama nomor duakan. Kamu bukan lagi prioritas. Semua Mama lakukan terpaksa, Raka. Agar kamu bisa hidup layak. 

Mama tidak tahu harus melakukan apalagi kalau kita pergi dari sini. Mama juga tidak tahu kita harus ke mana. Tidak mungkin kita kembali ke rumah laknat itu. Lihatlah bahkan ayahmu tidak peduli kita pergi. Jangankan mencari kita, mencegah agar kita tidak pergi saja, tidak. Itu Artinya dia sudah tidak memperdulikan kita lagi. 

Sekali lagi, maafkan Mama Sayang, harus memilih jalan ini. Kamu yang kuat, ya. Semoga kelak, saat kau sudah dewasa, bisa mengerti kenapa Mama menomor duakanmu. 

Bersabarlah Raka, anak ganteng Mama. Nanti setelah kontrak kerja ini berakhir, Mama akan kembali fokus mengurus kamu. Kita akan mencari tempat, di mana hanya ada kita berdua. Kita akan pergi dari sini. Tidak akan lama Sayang, hanya dua tahun. Selama itu, uang gaji dari Tuan Alex akan Mama simpan untuk bekal kita selepas keluar dari sini, juga untuk modal membuka usaha. 

Ingat Sayang, semua Mama lakukan untuk kamu. Kita harus kuat! Bantu Mama juga agar menjadi ibu yang kuat!"

Aira bicara panjang lebar di depan Raka yang tidur semakin pulas, seolah sedang bicara dengan seseorang. Tangannya tak henti membelai kepala dan wajah sang anak dengan penuh kasih sayang. Sesekali menciumi wajah yang memejam dengan tenang itu. 

Entah berapa lama Aira melakukan itu, hingga suara pintu diketuk, lalu masuk wanita paruh baya yang masih memakai seragam, padahal waktu sudah malam. 

"Aira, Tuan muda Alister menunggumu di kamarnya. Ia menangis kelaparan. Ingat, tugas utamamu mengurus Tuan muda. Jangan sampai Tuan Alex marah." Hasna bicara, begitu berhenti di samping Aira. 

Aira menyeka sudut matanya sebelum mengangguk, lalu berdiri. 

"Siapa yang akan menjaga anakku, Bu Hasna?" tanya Aira dengan senyum dipaksakan. 

"Ada Dita, dari tadi menunggu di luar. Katanya tidak enak mengganggumu."

Aira mengangguk, sebelum melangkah menuju pintu kamar Raka. 

"Aku titip Raka, ya, Mbak. Raka anteng kok, kalau malam. Paling bangun kalau mau minum susu saja. Nanti ambil di kamar Tuan muda, ya. Aku perah di sana saja." Aira menatap lemah wanita muda di depannya yang tersenyum dan mengangguk. Setelah itu, wanita yang hatinya sangat berat meninggalkan sang anak untuk pertama kalinya itu berjalan menuju kamar Alister yang jaraknya lumayan jauh. 

"Lewat sini, Ai! Kamu belum hafal juga rumah ini!" Hasna yang membersamai Aira, menahan wanita itu, saat langkahnya menuju arah yang salah. 

Aira hanya melirik sebelum mengikuti Hasna menuju arah berlawanan. 

***

Aira membuka pintu kamar bayi Alister menuju balkon. Ia baru saja selesai menyusui anak sang boss. Setelah anak itu tertidur, ia berusaha juga menyusul, tetapi matanya tak kunjung mau terpejam. 

Padahal jiwa raganya sangatlah lelah. Sejak pergi dari rumah Randi, belum istirahat sama sekali. 

Bayangan perbuatan Randi terus mengusik pikirannya, apalagi bila sedang sendiri seperti sekarang. Rasa sakit bagai tersayat-sayat sembilu sangat terasa. Tak percaya rasanya, lelaki yang dulu penuh kasih sayang dan romantis itu tega mengkhianati pernikahan mereka. Bahkan lebih buruk dari itu, membawa selingkuhan ke rumah, dan berbuat mesum di kamar mereka. 

Aira menarik napas panjang berkali-kali. Ia kini berdiri di balkon kamar Alister. Dengan memegangi pagar pembatas dari besi yang cembung ke bagian luar, mata wanita itu menatap kejauhan. Di mana kerlip warna-warni dari lampu-lampu bangunan pencakar langit seolah berlomba dengan hamparan bintang di angkasa untuk menghibur hatinya yang gundah. 

Embusan angin malam yang lembut menerpa wajahnya, sedikit menerbangkan ujung rambutnya yang terurai. Entah untuk berapa lama Aira di sana, yang ia tahu, berdiri sendiri bertemankan angin malam itu, bisa sedikit menyamarkan rasa sakit akibat perbuatan Randi. 

Mata dan telinga wanita itu tetiba terusik saat keributan kecil di bawah sana mengganggu ketenangan malam ini. 

Mata Aira memicing. Di bawah sana, di halaman besar bak istana ini, seorang wanita berteriak berusaha melepaskan diri dari cekalan dua pria bertubuh kekar. 

Makian dan sumpah serapah dari mulut wanita itu tak membuat kedua pria yang menyeretnya menghentikan aksi. Hingga akhirnya wanita itu berhasil dimasukkan ke dalam mobil, lalu kendaraan roda empat pun keluar dari halaman. Meninggalkan tempat itu dengan membawa serta wanita di dalamnya. 

Aira menarik napas panjang. Ia tahu kalau wanita itu Vallery, mantan istri boss-nya yang notabene ibu kandung dari Alister. 

Aira yakin kalau Alexander memerintahkan para pengawal di sana untuk mengusir wanita itu dari rumahnya. 

Satu kesimpulan bisa ia ambil. Kalau Alexander sang boss, sanggup melakukan apa pun yang ia inginkan. Bahkan wanita yang jelas-jelas ibu kandung anaknya saja bisa ia singkirkan saat perbuatannya tidak sesuai keinginan sang boss. Bagaimana dengan orang lain? Bagaimana kalau dirinya yang melakukan kesalahan? Bisa jadi langsung dilenyapkan begitu saja tanpa jejak. 

Aira bergidik. Ya, hal itu bisa saja terjadi. Bukan perkara sulit melenyapkan seorang wanita dan bayinya yang sebatang kara. Toh, tidak akan ada yang kehilangan atau mengusut seandainya pun ia dan Raka mati. 

Aira segera kembali ke dalam kamar Alister, mengunci pintu balkon. Lalu loncat ke atas tempat tidur khusus untuk dirinya, dan membenamkan diri di bawah selimut tebal. Tubuhnya tiba-tiba menggigil membayangkan Alexander melenyapkan ia dan bayinya. 

Aira bertekad besok sebelum sarapan, akan menemui lelaki es itu di ruang kerjanya. 

Komen (55)
goodnovel comment avatar
Zardanica
lanjut..bagus ceritanya
goodnovel comment avatar
Lili Ervina Ritonga
kok prosesnya bonusnya lambat
goodnovel comment avatar
Ummu Zahra
bagaimana caranya ambil koin bonusnya?
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status