Part 15Aku aman dulu Teh yang aku buatkan untuk Ibu Mertua. Biar nggak di kerubuti semut. Aku masukan dulu ke dalam kulkas. Kalau dingin biar menjadi es teh.Entahlah, apa reaksi Mbak Niken tentang permintaan Ibu. Masih kekeuh atas gengsinya yang haqiqi, atau akan luluh? Demi rumah dan tanah biar tak tersita Bank.Susah memang kalau punya hati, yang selalu ingin dituruti apapun keinginannya. Sebenarnya bukan hanya Mbak Niken saja, yang ingin apa-apa harus di turuti. Kayaknya memang semua orang ada sifat seperti itu, tapi tergantung bisa mengontrolnya atau tidak. Kalau tak bisa mengontrol, ya ujung-ujungnya seperti Mbak Niken itu. Merepotkan.Aku sendiri, juga mempunyai keinginan menggebu dan ini itu. Manusiawi. Tapi, masih memikirkan kemampuan diri kita. Kalau tak mampu, kenapa dipaksakan? Sesuatu yang dipaksakan, hanya akan membuat sakit. Baik sakit fisik, sakit hati dan sakit pikiran. Ya, seperti itulah kalau menurutku. Nggak tahu kalau menurut yang lainnya. Terutama menurut Mbak
PART 16Kami semua masih hening di dalam ruang tamu. Sofa murahan yang dibilang Mbak Niken, terasa penuh. Dika dan Zaki, kami minta untuk bermain di luar. Kami nggak mau, anak-anak mendengar masalah ini. Nggak bagus untuk perkembangannya."Man, ini Niken mau ngomong!" ucap Ibu membuka percakapan. Semua mata seolah menoleh ke arah Mbak Niken. Mau ngomong apa dia? Mau ngomong saja minta di persilahkan dulu sama mertua.Jemari Mbak Niken terlihat saling bertautan. Mungkin dia deg-degan. Atau bisa jadi dia lagi menahan rasa gengsinya. Atau keringat dingin sedang keluar? Entahlah."Emmm, Man ... Ka ... sebelumnya aku minta maaf. Aku mau minta tolong kepada kalian, untuk mengambil alih hutang Bank yang kami ambil," ucap Mbak Niken akhirnya. Walau dengan nada yang terbata-bata.Aku meneguk ludah. Kemudian menghela napas sejenak. Kemudian beradu pandang dengan Mas Firman. Mas Firman terlihat memejamkan mata sejenak. Kemudian mengusap pelan wajahnya, yang masih terlihat kusut.Ya, bagi kami s
Part 17Bapak sudah duduk diantara kami. Hati ini sedikit lega, karena nampaknya, Bapak ada bersama anak bungsunya. "Bapak ini gimana?" tanya Ibu seolah nada pertanyaannya menunjukan ketidaksukaan."Gimana? Ibu yang gimana?" tanya Bapak. Ibu terlihat mengerutkan kening. Aku masih memilih posisi aman. Diam."Andra ini dalam masalah! Kalau bukan saudaranya yang bantu, siapa lagi?" ucap Ibu, jelas sekali dalam pengamatanku. Ibu berat kepada anak sulungnya."Iya, Bapak tahu. Tapi, setelah Bapak pikir-pikir, kita ini nggak adil dengan Firman!" balas Bapak. Lagi, aku lihat keningnya semakin melipat. Mbak Niken aku lihat wajahnya semakin pucat. Entahlah, mungkin karena dia belum sembuh total, atau pucat karena akan hancur sebentar lagi."Nggak adil gimana? Bapak ini ada-ada saja!" ucap Ibu. Bapak terlihat mengusap wajah pelan."Berkali-kali Firman dia bilang tak mampu, tapi ibu tak mendengarkan keluhnya! Adilkah seperti itu? Dan kamu Andra, harusnya kamu berpikir panjang, jika akan berurus
PART 18"Mas, aku lihat mereka dulu, ya! Takut ada apa-apa," pamitku. Seraya ingin beranjak. Tapi, Mas Firman menarik tanganku cepat."Jangan biarkan saja! Mereka sudah tua ini. Mereka pasti bisa mikir mana yang baik dan buruk," ucap Mas Firman. Seketika aku mengangguk pelan. Ikut duduk di sebelahnya lagi. Tak berani membantah juga. Demi kebaikan rumah tanggaku sendiri.Suara lantang masih terus terdengar di telinga. Ya Allah ... pasti Mak Giyem dengar, dan akan menjadi gosip yang hangat, di desa ini."Aku nggak mau hidup kere denganmu! Apalagi kalau sampai serumah dengan orang tuamu yang sok bijak itu. Dan aku juga nggak mau ngontrak. Malu-maluin! Aku ini menikah dengan tujuan ingin hidup enak. Nggak susah kayak gini!" sungut Mbak Niken, masih terdengar sampai rumahku. Karena rumah kami memang berjejeran.Aku melihat eksrpesi suamiku. Wajahnya nampak memerah. Entahlah, mungkin dia murka. Murka? Bisa jadi, karena ucapan Mbak Niken memang sangat amat ngeselin. Membuat sesak dada, jik
Part 19Saking takutnya, Zaki malam ini tidur dirumahku, sekamar dengan Dika. Entah sudah berapa kali, Mbak Niken atau Mas Andra bergantian datang, menjemput anak semata wayang mereka.Tapi, tiap kali di jemput, Zaki memelukku atau memeluk Oomnya. Dia nampaknya takut kena pukul lagi jika pulang.Yah, walau Mbak Niken atau Mas Andra, jemput Zaki dengan raut wajah yang tak mengenakan. Tapi, tetap saja aku tak tega dengan Zaki. Dia hanya anak kecil, yang tak tahu apa-apa.Akhirnya, mungkin mereka lelah. Tak datang lagi sampai pagi. Astaga ... anaknya sendiri aja enggan, apalagi orang lain? Selepas subuh, seperti biasa, aku buatkan minuman hangat untuk semuanya. Pagi ini nambah satu gelas. Ada Zaki diantara kami.Mas Firman sedang memanasi motornya. Rutinitas di pagi hari. Semoga hari ini suasana tenang. Tak ada kegaduhan, karena panas hati dan pikiran.Apalagi, aku banyak diamnya saat adu mulut. Menjawab kalau mereka sudah melampui batas. Karena aku percaya dengan Mas Firman. Dia past
PART 20kami semua sudah selesai sarapan. Piring-piring kotor bekas kami sarapan, sudah aku bereskan. Dika dan Zaki nampak kompak. Lebih tepatnya, Zaki banyak mengalah. Mungkin merasa bukan dirumahnya.Selesai sarapan, aku meraih baju-baju yang masih menumpuk di ranjang. Baju-baju yang belum di lipat. Yah, seperti itulah pekerjaan rutinitas Ibu rumah tangga. Tak ada kata libur.Kalau Mas Firman, sabtu dan minggu waktu libur kerja. Tapi, kalau ibu rumah tangga tak ada waktu liburnya. Dari bangun tidur sampai tidur lagi, pekerjaan rumah seolah tak ada ujungnya. Semua minta di pegang dan di perhatikan.Tapi, aku sangat menikmati peran ini. Peran istri sekaligus Ibu. Memiliki suami baik dan pengertian seperti Mas Firman, cukup membuatku bahagia. Ditambah hadirnya Dika, yang semakin melangkapi kebahagiaan ini."Mas.""Iya?""Apa idenya? Aku penasaran," tanyaku. Kami ada di ruang TV. Dika dan Zaki mainan di teras. Entah mainan apa mereka. Pokok telinga ini, tak mendengar tangis dan tengkar
Part 21Hari minggu pagi."Mas, Sarapan, yok!" ajakku kepada suami tercinta. Yang di ajak mengulas senyum hangat. Kemudian terlihat mematikan rokoknya.Ya, Mas Firman memang merokok. Tapi, tak kencang. Satu bungkus bisa tiga sampai empat hari. Merokok kalau dia lagi pengen saja. "Ayok," balasnya. Seraya beranjak."Dika! Sarapan, Nak!" titahku kepada anak lanang."Iya, Ma!" balasnya sedikit berteriak. Karena dia lagi di depan. Zaki sudah mau pulang. Kemarin di jemput oleh mamanya. Kami sarapan di meja makan. Suami dan anak, terlihat antusias untuk sarapan. Menu yang aku sajikan pagi ini, daun ubi santan, tempe goreng dan sambal. Walau masih kecil, Dika sudah suka pedas.Kami saling diam. Menikmati sarapan pagi. Dika aku lihat berkali-kali mengambil tempe goreng. Ya, karena dia memang suka. *********Selesai sarapan, aku menyapu teras depan. Aku menoleh ke arah rumah Mbak Niken. Sepi, pintunya juga masih tutup. Belum bangun? Atau mereka pergi? Entahlah.Aku terus melanjutkan pekerja
Part 22"Maaf, Bu Rika. Kami juga nggak tahu mereka ada di mana!" ucap Mas Firman. Aku masih menata hati, yang seketika merasa panas dan sesak."Masa' iya saudara nggak tahu, saudaranya ada di mana? Pasti kalian sekongkol!" balas Bu Rika. Seketika yang di dalam sini ingin meledak. Aku tahan mati-matian. Tangan ini menekan dada yang bergemuruh hebat. Agar bisa terkontrol. Karena rasanya benar-benar ingin memaki dengan kasar. Sabar Eka! Sabar!"Maaf, Bu. Apa untungnya buat kami, kalau ada persengkokolan?" tanya balik Mas Firman. Jujur sumpah aku emosi parah. Tapi, masih terus berusaha mengunci emosi. Menekan lisan agar tak berucap kasar. "Ya, siapa tahukan? Namanya juga saudara! Saling menjaga dan menutupi," balas Bu Rika dengan bibir mencebik. Seolah tak percaya dengan apa yang kami katakan.Benar kata orang. Jika ingin tahu karakter seseorang, maka berurusanlah dengan uang. Ya, contohnya Bu Rika ini. Padahal bukan aku dan Mas Firman yang minjam uangnya. Tapi, seolah marahnya kepada