Share

INGIN TERLIHAT KAYA, AGAR BISA MENGHINA IPAR
INGIN TERLIHAT KAYA, AGAR BISA MENGHINA IPAR
Author: RENA ARIANA

Bab 1

BAB 1

"Eka, nggak ke pasar?" tanya Mbak Niken, kakak iparku.

"Nggak, Mbak, bumbu dapur masih punya semua," jawabku.

"Halah, bilang aja nggak ada duit, ha ha ha," ucap Mbak Niken seraya tertawa puas.

Astagfitullah. Sabar ini masih berlapis ribuan seperti tango.

"Iya, itu, Firman kan lagi nganggur, jelas nggak punya duit, makanya nggak ke pasar," ledek suaminya Mbak Niken. Mas Andra namanya.

Ya, mereka sama saja, pasangan suami istri yang sangat kompak. Tinggi sekali ucapannya. Kalau bahasa jawanya 'gumede'.

"Ha ha ha ha, kamu benar sekali, Mas," balas Mbak Niken. Puas sekali tawa mereka. Mas Firman tidak nganggur, tapi memang terlihat nganggur. Karena beberapa hari ini, dia terlihat di rumah.

Aku memilih diam. Malas menanggapi, karena mereka akan terus nyerocos sepuas mereka.

Dengan tertawa puas menjatuhkan, Mbak Niken dan suaminya berlalu. Berboncengan dengan motor matic, menuju ke pasar. Tak lupa anak semata wayang mereka juga dibawa.

Aku memilih masuk ke dalam rumah. Kebetulan tadi bersihin halaman dan disindir oleh Mbak Niken. 

Mas Andra dan suamiku kakak beradik. Kami sudah punya rumah sendiri-sendiri. Tanah milik Mertua. Jadi Mas Andra dan Mas Firman buat rumah satu lokasi, tujuan orang tua, agar anak-anaknya bisa akur. Faktanya, kami hanya akur dipenilaian orang saja. 

"Kenapa mulutmu maju seperti itu?" tanya Mas Firman. 

"Nggak, kesel aja sama Mbak Niken," balasku.

"Hemmm, nggak usah di masukin ke dalam hati. Kan memang seperti itu setiap hari," balas Mas Firman. 

"Iya tahu. Tapi, setiap hari bikin kesal hati aja," ucapku. Mas Firman terlihat menyeruput kopinya. 

"Iya, sih, tapi lama-lama sabar orang juga ada batasnya," balasku. 

Mas Firman diam. Dia juga faham betul bagaimana Mas Andra dan Mbak Niken. Mereka seakan takut banget tersaingi. Padahal hidupku juga masih pas-pasan saja. 

Mbak Niken tipikal orang yang ingin diakui sukses dan kaya. Padahal, tanpa minta diakui, orang tetap akan melihat kita sukses dan kaya raya, jika memang beneran sukses faktanya. Tapi, kalau maksa ingin diakui sukses dan kaya, yang ada akan sakit sendiri. Kalau faktanya memang belum sukses dan kaya.

*******

"Eka, aku mau beli sofa," ucap Mbak Niken sore ini. Aku mengulas senyum.

"Belilah, Mbak! Aku mau beli belum ada uang," balasku. Dia terlihat mencebikan mulut.

"Nunggu gajiannya Mas Andra. Aku udah bilang sama dia. Dia setuju. Biar rumah terlihat ada isinya, nggak kosong gelondang," ucap Mbak Niken.

Hemmm, kumat dia. Jiwa pamernya memang setiap hari meronta seperti itu.

"Belilah Mbak! Siapa yang nggak ingin punya sofa? Aku juga pengen. Tapi, memang belum ada duitnya," balasku lagi. Merendah saja kalau di hadapan Mbak Niken ini. Kalau meninggi kasihan, ntar dia kena serangan jantung.

"Bulan depan aku mau beli, udah ngomong kok sama Mas Andra," ucapnya. Aku hanya mengulas senyum saja. Tak banyak menanggapi. Karena kalau ditanggapi, akan semakin kemana-mana.

"Yaudah, Mbak aku mau nyiapkan makan malam untuk anak dan suami," pamitku.

"Halah ... warung makan banyak. Beli aja, hidup jangan di buat susah," ucapnya.

"Hanya masak kok, nggak susah. Kalau beli terus, kasihan yang cari duit," balasku.

"Laki-laki cari duit memang sudah kewajiban. Kenapa pula di bikin pusing," ucap Mbak Niken.

"Nggak dibikin pusing. Hanya ingin berhemat," balasku kemudian berlalu. 

Aku dengar dia masih nyerocos. Biarlah dia menyerocos. Aku malas menanggapi. Seperti yang aku bilang tadi, semakin ditanggapi, akan semakin kemana-mana. Dan ujung-ujungnya akan semakin panjang dan aku nggak jadi masak.

Bukannya nggak ada duit untuk beli lauk jadi di warung, tapi aku memang tak membiasakan diri seperti itu. 

*********

"Assalamualaikum, Dek ...." Mas Firman mengucap salam.

"Waalaikum salam," balasku seraya mendekat dan mencium punggung tangannya. 

"Buatin teh manis, ya! Kasihan yang nurunin sofa," ucap Mas Firman. Aku mengulas senyum.

"Jadi Mas beli sofa?" tanyaku. 

"Jadi dong! Itu sofanya udah datang. Sesuai pilihan kamu di WA tadi," jawab Mas Firman. 

"Alhamdulillah, kalau gitu Adek buatin teh manis dulu," ucapku. Mas Firman mengangguk kemudian mengulas senyum.

"Horeee ... Dika punya sopaaaa ...." teriak anakku girang. Ya, dia memang ikut Mas Firman beli. Aku sengaja nggak ikut. Malas perjalanan ke kota. Karena lumayan jauh.

Teh manis sudah tersedia. Aku siapkan di atas meja. Sofa baru sudah siap di ruang tamu. Terlihat cantik sekali, sofa berwarna maroon itu. 

Aku menoleh ke arah rumah Mbak Niken lewat jendela. Mata ini melihat Mbak Niken memainkan bibirnya ke kanan dan ke kiri, sambil menghadap ke rumahku.

Biarlah, aku tadi memang sengaja ngomong kayak gitu. Padahal Mas Firman dan Dika sudah dalam perjalanan beli sofa.

Maksudku memberi dia pelajaran, kalau mau beli ya beli saja, nggak usah kowar-kowar. Kalau nggak jadi belikan malu-maluin.

**********

"Cieee sofa baru," ucap Mbak Niken pagi ini. Aku mengulas senyum saja.

"Alhamdulillah, kejutan dari Mas Firman," balasku asal. 

Aku lihat, Mbak Niken duduk di sofa dan tangannya meraba.

"Nyobain sofa baru. Tapi, kok, kayak sofa murahan gini, ya!" ucapnya. 

Astagfirullah, ini orang maunya apa coba?

"Memang murahan kok Mbak, menyesusaikan dana," balasku. Sengaja. Aku lihat dia mencebikan mulutnya.

"Sudah aku duga. Emm ... kata Mas Andra, bulan depan nggak jadi beli sofa. Karena kami mau beli motor baru. Kalau ruang tamu di kasih sofa, makin terlihat sempit. Jadi pakai karpet aja," ucapnya.

"Belilah Mbak, aku belum ada duit untuk ganti motor," balasku.

"Jelaslah! Paling duitmu udah habis untuk beli sofa ini. Kalau kontan loo ya! Nggak tahu juga kalau kredit," sindirnya.

Astaga! 

"Kontan kok Mbak. Alhamdulillah. Mudah-mudahan bulan depan, keturutan beli motornya, ya, Mbak! Biar nggak malu karena udah kowar-kowar," balasku.

"Apa maksudmu ngomong kayak gitu?" tanya Mbak Niken. Matanya terlihat mendelik.

"He he he, pikir sendiri aja, Mbak! ntar salah ngomong aku," balasku.

Aku lihat Mbak Niken beranjak.

"Lihat saja! Bulan depan aku pasti akan beli motor baru!" balasnya.

"Iya, Mbak! Aamiin! Akan aku lihat. Kan rumah kita sebelahan!" sahutku dengan nada suara santai. Yakin deh, itu akan membuatnya semakin kesal.

Mbak Niken kemudian berlalu. Meninggalkan rumahku, dengan nyerocos lirih nggak jelas. Aku hanya bisa mengelus dada.

Astagfirullah. Mudah-mudah bulan depan dia  jadi beli motor baru. Kita lihat saja. Hi hi hi.

**

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status