Share

BAB 4. AWAL BARU

Setelah berhasil membubarkan para tetangganya, Arum langsung melesak masuk kedalam rumah.

"Sudah, saya mohon hentikan! Saya janji akan membayar semua hutang orang tua saya" Ujar Arum, Para rentenir yang berjumlah lebih dari lima orang itu menatap Arum tajam.

"Omong kosong kamu! Ini sudah melebihi batas tempo, bahkan bunganya sudah banyak!" Sentak salah satu rentenir itu sambil melepaskan cengkraman tangan besarnya yang tadi menggenggam kasar kerah baju bapak, Sontak karena hal itu bapak langsung tersungkur lemas, Arum dan Ibu berusaha menolong Bapa.

"Stop! Hentikan, tunggu dulu" Tiba-tiba ada suara wanita dari ambang pintu rumah, suara wanita itu berhasil memecah kegaduhan dirumah ini.

Semua orang yang ada didalamnya melihat ke arah pintu, Arum dapat melihat dengan jelas wanita yang seusia dengan ibunya memasuki rumah. Dengan menggunakan pakaian mewah, dan sepatu mahal yang menempel di kaki jenjang mulus miliknya. Jelas semua itu sangat berbanding terbalik dengan keadaan ibu Arum, yang bahkan setiap hari hanya memakai daster lusuh yang tidak pernah diganti ntah sudah berapa tahun lamanya.

"Nyonya, ada apa datang kemari? Kenapa tidak menelfon kami saja?" Tanya salah satu rentenir itu, wanita itu hanya terdiam acuh.

Kemudian wanita itu masuk kedalam rumah. "Kalian pergilah!" Perintah wanita itu dengan tegas.

Mendengar itu, Arum dan kedua orang tuanya tersentak kaget, begitu juga para rentenir yang ada disana.

"Tapi tugas kami belum selesai nyonya" sergah mereka

"Pergi! Tugas kalian tidak pernah membuahkan hasil, biar saya yang turun tangan!" Sentak wanita itu lagi.

"Ba-baik nyonya" jawab rentenir itu kompak, lalu dengan gegas pergi meninggalkan rumah.

"Pak, siapa wanita itu?" Tanya Arum pada sang Bapak

"Dia, nyonya Lidia Narendra, isteri dari orang yang menghutangi bapak" Jawa bapa.

"Narendra? Nama belakang itu sama seperti milik Alkana" gumam Arum, tapi dia langsung menepis pikirannya tentang pria angkuh yang sudah membuat dirinya kehilangan pekerjaan.

"Maaf kan saya nyonya, saya belum bisa membayar hutang itu. Saya janji, pasti akan saya lunasi semuanya" ucap Bapak, mata rentanya kini sudah mulai memerah. Mungkin kali ini pria paruh baya itu tengah susah payah menahan diri agar tidak menitikan air mata.

Nyonya Lidia menatap seisi rumah mereka. Lalu menggelengkan kepala dan membuang muka.

"Melunasi? Dengan keadaan kalian yang seperti ini?" Wanita itu tersenyum sinis.

"Beri kami kesempatan nyonya" jawab ibu.

"Kesempatan? Kemarin sudah saya kasih banyak kesempatan! Tapi hasilnya masih nol, bahkan kalian tidak mencicil hutang sama sekali!" Sentak Nyonya Lidia.

"Tunggu sebentar lagi nyonya, saya yang akan membayar hutang orang tua saya" Arum mencoba mengambil hati wanita itu, tapi sepertinya nyonya Lidia sudah terlalu kebal dan tidak mempan lagi untuk diajak bekerja sama.

"Cukup! Berapa umurmu?" Tanya Lidia pada Arum.

Arum menyerit heran mendengar perkataan tidak masuk akal dari wanita ini, bagaimana bisa disaat keadaan genting seperti ini dia malah menanyakan umur Arum.

"20 tahun nyonya" jawab Arum tak punya pilihan lain.

"Kerja apa kamu sekarang!" Tanyanya lagi sambil meninggikan nada bicaranya.

"Anak saya kerja di restoran nyonya" jawab ibu, bahkan Arum belum sempat memberi tahu bahwa hari ini dia sudah dipecat.

Arum menatap manik mata ibunya dengan tatapan sendu, "Bu. Arum sudah dipecat" jawab lirih Arum, ibu dan Bapak yang mendengarnya langsung mendadak terdiam. Seolah harapan satu-satunya kini sudah musnah.

"Bagus, ikut saya sekarang. Kamu akan saya pekerjakan menjadi asisten rumah tangga dirumah saya" perintah Lidia.

"Ta-tapi saya tidak bisa" Arum mengelak, dia gengsi bekerja seperti itu.

"Kamu ga kasian sama orang tuamu?"

Arum kembali menundukkan kepala, bulir bening berjatuhan dari kedua matanya.

"Ga usah nak, nanti biar bapak yang kerja buat lunasin semua hutang ini" ujar bapak, jelas dia tidak tega jika anaknya harus bekerja seperti ini. Terlebih dia takut kalau anak bungsunya disiksa oleh nyonya Lidia yang notabenya galak.

"Mungkin, ini jalan terbaik pak" Lirih Arum, ibu menggelengkan kepala.

"Semua ini salah kakakmu, juga salah orang tuamu. Maafkan kami Arum" ibu menghambur memeluk Arum.

"Dasar drama! Besok saya akan jemput kamu. Persiapkan dirimu Arum!" Ujar Lidia, wanita itu muak menyeksikan begitu banyak kesedihan dirumah ini.

"Ba-baik nyonya" jawab Arum, setelahnya Lidia langsung meninggalkan rumah tanpa berpamitan.

"Arum, apa yang terjadi dengan pekerjaanmu nak?" Tanya ibu setelah nyonya Lidia pergi meninggalkan rumah.

Arum menarik nafas panjang, lalu menghembuskanya dengan pelan. "Arum di pecat buk, tadi Arum gak sengaja bikin pelanggan direstoran marah," jawab gadis itu.

Kedua orang tua Arum hanya bisa menunduk lesu, saat mendengar jawaban dari putri bungsunya itu.

Arum langsung menggenggam erat kedua tangan ibunya, "Tapi kalian berdua ga perlu khawatir, besok kan Arum bisa bekerja di tempat nyonya Lidia. Arum yakin nanti Arum bisa ngelunasin hutang itu"

"Tidak! Bapak tidak mengizinkanmu," tegas bapak, Arum tau betul bagaimana perasaan Bapaknya. Terlebih Arum sejak kecil tidak pernah jauh dari kedua orang tuanya, pastilah akan sangat berat rasanya membiarkan Arum bekerja jauh dari rumah.

"Maafin Arum pak, kali ini Arum tidak bisa menuruti permintaan bapak. Bukan karna Arum tidak patuh, tapi memang mungkin ini adalah jalan satu-satunya, supaya Arum bisa melunasi hutang ini"

"Tapi Arum?" Ibu menatap manik mata Arum dengan sendu

"Ga papa Bu, Arum yakin pasti bisa! Lagian mbak Ambar dan suaminya sudah tidak peduli lagi dengan masalah ini, Arum juga sudah lelah ngeliat bapak sama ibu menjadi bahan gunjingan para tetangga disini." Jawab Arum mantap.

Tidak ada lagi yang bisa mereka lakukan, selain pasrah dan berharap kepada Arum.

Waktu berjalan sangat cepat bagi Arum, karna baru saja dia terlelap tapi rasanya pagi datang dengan sangat cepat. Padahal sebelum tidur gadis itu meminta agar malam ini waktu diperlambat.

Arum menggenggam tangannya takut saat mendengar suara ayam jantan berkokok saling bersahutan.

"Nggak! Aku ga boleh takut! Ini semua demi ibu sama bapak. Aku yakin aku bisa! Aku ga boleh kaya gini terus!" Gumam gadis itu memberi kekuatan pada dirinya sendiri.

Setelah puas bermonolog dengan dirinya sendiri, Arum langsung memijakan kakinya diatas ubin dingin kamar kemudian melaksanakan perintah agama.

"Bawa enam stel baju aja kayanya cukup," Arum memasukan pakaiannya kedalam tas ransel yang dia miliki sejak sekolah menengah atas, kemudian langsung membersihkan diri.

"Arum. Kita sarapan dulu, nak?" Ajak ibu saat Arum baru saja keluar dari kamar mandi.

Arum menganggukan kepala menuruti ajakan ibunya, mereka bertiga sarapan dengan khidmat walau hanya dengan menu seadanya saja berupa telur dadar dan nasi goreng yang porsinya bahkan tidak mengenyangkan.

"Jam berapa nyonya Lidia menjemputmu, Rum?" Tanya bapak

"Mungkin sebentar lagi pak,"

"Nanti kalau disana ,sering kabarin ibu sama bapak yah. Walaupun ibu ga punya ponsel, kamu bisa ngasih kabar ke Mbak Risti," ujar ibu, mbak Risti adalah anak teman ibu, rumahnya tidak terlalu jauh dari sini.

Maklum saja, jangankan untuk membeli ponsel. Untuk makan sehari-hari saja mereka kebingungan.

"Pasti ibu, nanti Arum akan sering kasih kabar kok"

"Nanti kalau ga betah, ga usah di paksakan ya? Kalau ada apa-apa segera bilang ke bapak" tegas bapak, Arum hanya bisa mengangguk sambil berurai air mata.

Tin..

Tin..

Tiba-tiba terdengar bunyi klakson mobil dari arah luar rumah, mereka bertiga saling berpandangan satu sama lain.

"Kayanya jemputan Arum udah Dateng, Arum harus segera pergi. Bapak sama ibu jaga diri baik-baik yah, Arum pasti bakalan kangen banget sama kalian berdua" ujar Arum sambil menangis, dia langsung berhambur memeluk kedua orang tuanya.

Bapak yang biasanya paling anti menangis, hari ini meneteskan air matanya karna anaknya akan pergi.

"Nak, maafin bapak yah"

"Ga usah minta maaf pak, Arum ga kenapa-kenapa kok" jawab Arum

"Hati-hati ya, Rum. Ibu selalu berdoa buat kamu"

Arum menyalami kedua tangan orang tuanya kemudian berpamitan dengan perasaan yang sangat berat.

"Sudah siap?" Tanya supir pribadi nyonya Lidia.

"Pentesnya sih ga jadi supir, masa ganteng begini di jadiin supir" gumam Arum.

"Sudah siap?" Tanya pria yang usianya bisa ditaksir sudah memasuki kepala tiga itu pada Arum.

"Eh, iya sudah" Arum tersentak, lalu segera masuk kedalam mobil mewah berwarna putih.

Arum menatap lekat kedua orang tuanya dari balik jendela mobil, perasaan sedih menggerogoti setiap inci dihatinya.

"Sehat selalu ya pak, Bu" gumam Arum dalam hati.

Jarak waktu yang dibutuhkan adalah satu jam lebih menuju rumah nyonya Lidia, di sepanjang jalan mata Arum dimanjakan oleh hiruk pikuk dunia perkotaan dan mobil yang berlalu lalang di jalan tol.

"Masih lama ya, Pak?" Tanya Arum pada supir itu

"Panggil saja Mas Ridwan," jawab pria itu, sepertinya dia merasa tidak terima dipanggil bapak karena usianya yang belum terlalu tua.

"Oh maaf, apakah masih lama?" Arum kembali bertanya

"Sebentar lagi sampai, tinggal masuk perumahan didepan" jawab Ridwan cuek.

Arum hanya menganggukan kepalanya, lalu kembali fokus menatap jalanan didepannya.

"Wah, besar banget perumahan ini" Arum begitu takjub saat mobil mewah yang dia tumpangi memasuki kawasan perumahan mewah di kota ini.

Tak selang lama, mobil itu terparkir dihalaman luas yang bisa Arum prediksi, ini adalah rumah nyonya Lidia.

"Ini sih bukan rumah, tapi istana" decak Arum kagum.

"Wah sudah datang kamu!" Teriak Nyonya Lidia dari ambang pintu. Arum langsung mengambil ransel miliknya dan segera pergi menuju sumber suara.

"Kemarilah, ayo masuk! Biar aku tunjukan apa saja tugasmu disini," ajak nyonya Lidia, Arum hanya mengekor dibelakang.

"Tugas utama kamu dirumah ini adalah mengurus ibuku, dia sudah tua dan agak susah untuk berjalan. Kamu harus menuntunnya kemanapun dia pergi, dan memastikan makanan serta obat yang harus dia makan setiap hari!" Terang nyonya Lidia, sambil terus menunjukan setiap inci dari rumah mewah ini yang membuat Arum tak henti berdecak kagum.

"Apa kamu denger, Arum!"

Arum tersentak kaget, "Iya, nyonya sa-saya dengar" jawab Arum.

"Ini kamar kamu, kamar kamu bersebelahan dengan kamar ibuku. Supaya nanti gampang kalau ibu butuh sesuatu"

"Kamu bereskan dulu pakaianmu, aku akan kembali setelah sarapan," ucap nyonya Lidia.

Arum menghembuskan nafas lega saat Lidia pergi dari hadapannya, gadis itu langsung masuk kedalam kamar yang sudah disiapkan nyonya Lidia untuknya.

"Tidak terlalu besar, tapi ini lebih besar dari kamar tidurku dirumah."

Arum langsung menata pakaiannya di lemari kecil yang sudah disediakan, di dalam kamar terdapat juga tv dan kipas angin. Fasilitas yang tidak dia dapatkan didalam kamarnya yang ada dirumah.

"Aku takut, takut ibunya nyonya Lidia galak" gumam Arum dalam hati. Dia langsung mengambil ponsel miliknya dan mengirimkan pesan pada mbak Risti, supaya kedua orang tuanya tidak merasa khawatir.

"Aku harus betah disini, demi ibu sama bapak," tekad Arum.

Saat Arum sedang membereskan pakaian miliknya, dia mendengar ada bunyi bel di salah satu sudut kemari kecil miliknya.

"Bel? Bel apa ini, kenapa disini?" Arum bertanya dalam hati. Lalu sepersekian detik dia tersadar.

"Mungkin ibu dari nyonya Lidia yang membunyikan bel ini. Dan sepertinya dia membutuhkan sesuatu, aku harus segera kesana"

Arum tampak ragu untuk membuka pintu kamar didepannya, tapi dia tidak ingin hal buruk terjadi pada ibunya nyonya Lidia.

Gadis itu memberanikan diri untuk masuk kedalam, saat pertama kali masuk. Arum melihat wanita tua yang terduduk di sudut kasur, tapi kecantikan diwajahnya masih saja melekat indah disana.

"Siapa kamu! Berani-beraninya kamu masuk kedalam kamarku! Dasar lancang!" Sentak nenek itu pada Arum.

Arum berdecih sebal, "Mukanya doang ramah, sikapnya mirip sama nyonya Lidia,"

"Hei! Apa kamu tidak bisa dengar!" Nenek itu kembali berteriak.

"Ma-maf Bu. Perkenalkan nama saya Arum, saya ditugaskan untuk menjaga dan merawat ibu disini. Nyonya Lidia yang menyuruh saya" jawab Arum.

"Oh, baiklah. Tapi tunggu, jangan panggil aku nenek! Panggil aku Oma" jawab wanita tua itu, Arum hanya bisa menganggukan kepala canggung.

"Emm, apa Oma butuh sesuatu?" Tanya Arum ragu.

"Ambilkan aku obat diatas lemari itu," perintah Oma, Arum langsung bergegas mengambilkan obat.

"Oma mau minum obat? Oma udah makan?" Tanya Arum, Oma mengangguk lalu mengambil obat itu dengan kasar.

Arum terkesiap karna tindakan Oma, padahal niat hati mau ngebantu.

"Ini minumnya Oma"

"Terima kasih" jawab Oma singkat.

"Arum? Kamu udah disini? Baguslah kamu sepertinya sigap" ucap nyonya Lidia memecah keheningan diantara Arum dan Oma.

"Ma-maaf nyonya, tadi saya denger bell jadi langsung kesini" jawab Arum. Lidia hanya menganggukan kepala.

"Biasanya Oma setiap pagi selalu jalan-jalan ke taman. Kamu ajaklah Oma ketaman di depan rumah sekarang" perintah Lidia.

"Aku akan pergi ke kantor untuk bekerja, ingat jangan sampai terjadi apa-apa sama ibuku!" Tegas Lidia pada Arum, gadis itu hanya menganggukan kepala dengan khidmat.

"Mau jalan-jalan sekarang Oma?" Tanya Arum.

"Iya, ayo bantu aku berdiri" Arum langsung dengan cekatan membantu Oma berdiri. Beruntung badan Oma tidak terlalu besar, sehingga bisa dengan mudah Arum membantunya untuk berdiri.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status