Share

Bab 9 Diganggu

Aisyah tidak menghiraukan. Ia berjalan dengan langkah kaki cepat. Namun, ia tidak bisa mengalahkan benda bermesin itu.

"Cantik-cantik kok tuli!" ucapnya lagi.

Bukan Aisyah tidak menunjukkan sisi kesopanan, dari gelagat dan perilaku mereka telah menunjukkan jika mereka bukan pria baik.

'Bissmillah ... Semoga tidak terjadi hal buruk terhadapku!' gumamnya.

Tidak hanya mengganggu dengan ucapan, salah satu dari mereka berani mencolek pipinya.

Aisyah tidak tinggal diam. Ia berhenti -- mencoba melawan. "Cukup! Jangan berbuat kurang ajar ya!" ucapnya memberi ancaman. Sekuat tenaga, ia akan melawan pria-pria itu.

"Ternyata bisa marah juga ... Jangan marah, nanti cantiknya hilang!"

Sekali lagi pria yang duduk diatas jok belakang mencoleknya. Ditepis Aisyah dengan tangannya.

"Jangan coba-coba berbuat kurang ajar ya terhadapku!" Aisyah memperingatkan kembali.

"Sudahlah Nona, ini jalanan sepi. Jadi menurut-lah dengan kami. Kami akan berikan keindahan dunia yang tidak terkira olehmu."

"Cukup! Aku bukan wanita murahan! Jadi tolong jaga ucapanmu!" bentak Aisyah.

Pria itu turun dari motor dan menyeret tangan Aisyah. Wanita itu berteriak meminta bantuan. Ia berusaha keras lepas darinya.

Dengan beberapa tendangan mematikan yang ia kerahkan ke botol tersembunyi didalam celana.

"Kurang ajar!" Pria itu tampak kesakitan.

Satu pria lainnya pun ikut turun dan berusaha memeluk tubuh Aisyah. Wanita itu meronta dan mencoba memukul dadanya sekuat tenaga.

"Lepas!"

Bug! Bug! Bug!

Terdengar bunyi hantaman keras beberapa kali. Aisyah tidak berani membuka mata.

Tidak lama kemudian Aisyah melihat pria yang berusaha keras menggoda itu jatuh terkapar. Dengan wajah memar.

Keduanya gegas naik motor dan pergi meninggalkan Aisyah.

Aisyah tersenyum, karena ditempat itu masih ada seseorang yang menolongnya. Saat ia akan mengucapkan terimakasih, ia menoleh. Ternyata seseorang yang menolongnya tak lain adalah suaminya sendiri.

"Mas Adam?" ucapnya tidak percaya.

"Kenapa? Terkejut? Suka sekali sepertinya digoda pria-pria tidak jelas seperti itu? Kamu sangat menikmati ya, saat tangan mereka menjamah tubuhmu? Hem?"

"Astaghfirullah, Mas. Bukan seperti itu, bukankah kamu melihat jika aku berusaha melawan mereka? Tapi tenagaku lemah."

"Alasan!"

Aisyah menyimpan senyuman sendiri. Tidak disangka, Adam mengikutinya. Dan sampai bersusah payah menolongnya.

"Terimakasih, Mas Adam."

"Kamu jangan merasa senang aku sudah menolong-mu! Ingat baik-baik, aku sangat membenci wanita yang berkhianat!"

Aisyah terdiam mendengar ucapan Adam. Maksudnya berkhianat apa? Apa dia menerima Aisyah sebagai istrinya?

"Ikutlah denganku! Aku akan antar kamu pulang!" Adam menarik tangan Aisyah untuk masuk ke dalam mobilnya.

"Ini kan masih jam kerja-"

"Hentikan ucapanmu, atau aku akan turunkan kau disini!"

*****

Malam itu, Bima dan Maliana mengundang Adam kembali kerumahnya.

Meski tegas, Adam masih menghormati orangtuanya.

"Kamu mau kemana, Mas?"

"Bukan urusanmu! Bisa tidak, menutup mulutmu beberapa waktu. Telingaku bengkak saat kau bicara."

"Maaf Mas, ini menjelang magrib. Sebaiknya selepas sholat Maqrib saja kamu pergi. Kita laksanakan sholat berjamaah."

Adam menarik hijab Aisyah, hingga kepala miring dan memperingkatkan wanita itu untuk tidak mencampuri urusannya lagi.

"Ampun, Mas. Sakit!"

"Itu akibatnya, jika selalu mencampuri urusanku!" ucapnya dengan menggertakkan gigi-giginya. Setelah itu ia mendorong tubuh Aisyah hingga terbentur dinding.

"Senantiasa beri ampunan untuknya duhai Dzat Pemberi Hidup ..." ia mengusap keningnya, ada darah segar yang bergulir dari luka itu.

Menatap Adam sudah tidak terlihat lagi di sana. Ia menghela nafas kasarnya sembari mengucapkan kalimat istighfar.

Sementara Adam mengemudikan kendaraannya menuju kediaman sang ayah.

Meski harta melimpah, Adam tidak seperti Bima. Yang sering menggunakan uangnya untuk keperluan tidak penting. Kemana-mana harus ada penjagaan ketat.

Adam bisa mengatasi sendiri dengan kedua tangannya. Dari kecil, ia sudah di didik keras oleh pamannya di Jerman. Tanpa kasih sayang Bima dan Maliana. Adam merasa kasih sayang mereka sepenuhnya hanya untuk Dewangga.

Namun terkadang, jika tingkat emosinya tinggi. Ia terpaksa berlari ke club' ditemani para wanita. Untuk menghilangkan stres-nya.

Pria itu menambahkan kembali kecepatan laju kendaraannya, hingga beberapa menit saja mobil itu sudah memasuki pelataran kediaman Bima Suseno.

"Aku tidak mau berlama-lama disini. Cukup menyakitkan jika mengingat mereka menelantarkan aku di masa kecilku."

Pintu terbuka pelan. Setiap saat dua anak buah bertubuh kekar berjaga didepan pintu. Disusul asisten rumah tangga membuka pintunya.

Ucapan hangat selalu di buat kebiasaan oleh Bibi yang bekerja berpuluh-puluh tahun bersama keluarga sang ayah untuk menyapa tamu yang datang, termasuk dirinya, yang mungkin diistimewakan setelah Dewa pergi.

Adam tidak suka menebar senyum. Perawakan yang tegas selalu menjadi ciri khasnya. Sungguh yang belum mengenal pria itu -- akan menilainya sebagai pria yang sombong. Jika sudah mengenalnya, predikat kejam akan terpaku di otak masing-masing.

Kakinya terhenti melihat banyak keluarga lain datang juga disana. 'Ada acara apa sebenarnya? Mengapa mereka tidak mengatakan dulu padaku?' Ia berpikir apa ia mengurungkan diri. Dan kembali pulang?

"Nah, itu dia Adam Smith sudah datang!" ucap Maliana menunjuk Adam berdiri. Ia menyadari kedatangan putranya.

Maliana berjalan menghampiri Adam, dan menyuruhnya bergabung.

"Acara apa yang sebenarnya kalian adakan?" Adam mengangkat dua alisnya.

"Malam ini adalah hari perjodohan kamu dan putri teman Mama." Ucapan Maliana membuat Adam terbatuk-batuk.

Bahkan ia terkejut, bagaimana bisa mereka merencanakan suatu hal tanpa memberi tahunya.

Bagi Adam, mereka semua gila. "Apa tidak salah?"

"Tidak salah Sayang, umur kamu sudah dewasa. Waktunya kamu memberikan cucu untuk Papa dan Mama. Apa Mama salah jika meminta cucu darimu? kamu adalah satu-satunya putra tunggal Bima Suseno." Maliana mengulas senyum lebar, seakan Adam akan menyetujui rencana mereka.

Kedua mata Adam mengedarkan pandangan. Mencari siapa wanita yang akan dijodohkan dengannya.

Tidak terlihat wanita muda diantara mereka. Satu gadis kecil kisaran umur 7 tahun. 'Cih! Apa maksud semua ini?' batin Adam setelah lawakan.

"Kamu mencari siapa Adam? Putri teman Mama pastinya? Dia masih izin ke kamar mandi," kata Maliana yang menebak pikiran Adam.

"Beri salam pada teman Mama, Adam!" suruh Bima yang sedari tadi diam.

Adam tidak merespon. Saat kakinya akan beranjak pergi, terlihat wanita baru bergabung bersama mereka.

"Nah ini dia, putri Nyonya Pradita, Jenny Suhendar." Ucapan Maliana membuat langkahnya terhenti. Ia sempatkan untuk menoleh. Karena nama itu familiar di telinganya.

"Kamu mau kemana, Adam?! Bergabunglah bersama."

"Jenny?" sapanya tidak menyangka.

"Adam Smith?" Wanita itu menunjuk lalu tersenyum.

"Ah! Rupanya kalian sudah saling kenal. Kita tidak perlu susah payah untuk memperkenalkan lagi." Wanita yang sepertinya ibu Jenny ikut bicara.

Gembira sekali rasanya mereka. Padahal Adam belum tentu menginginkan perjodohan ini.

"Adam memang mengenalnya. Tapi maaf, Adam tidak menerima perjodohan ini. Permisi!" pamitnya tanpa basa-basi.

"Kenapa? Apa ada perempuan lain yang menarik perhatianmu?"

Komen (3)
goodnovel comment avatar
Suryati Suryati
harusnya konfirmasi ke adam dulu ,kurang bijak itu orang tua
goodnovel comment avatar
Noor Sukabumi
Baru j masuk dikeluarga udah maen ngejodohin j n apa mlsd Jenny ngejelekin aisyah n seolah2 dia todak tau low Adam kk Dr dewangga mumet dah thor yakin
goodnovel comment avatar
Goresan Pena Bersyair
Haih.. kasih saja ada jodohan
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status