"Mana Luna, Dha?" tanya ibuku.Aku mendadak bisu. Tak mungkin kuceritakan, menantunya menghilang karena melihatku bersama mantan. Bisa-bisa aku langsung dijadikan lontong opor ayam."Aku di sini, Ma!"Ooh istriku. Saking senangnya aku langsung menghampirinya namun gesturnya menghindariku. Aku memilih mengalah. Nanti di rumah, aku akan jelaskan semuanya.Dunia rumah tangga, rumit tapi candu!Kami berfoto bersama dengan keluarga Aleksei. Aku merasakan seolah aku sedang bertemu dengan keluarga Luna. Aura mereka terasa hampir sama. Aneh dan janggal. Tapi mungkin hanya pikiranku saja. Akhir-akhir ini aku banyak menghadapi masalah.Setelah acara selesai, kami pulang bersama-sama. Luna ikut mobil ibuku. Sepertinya dia berusaha menghindar
Drrrrttt ....Suara ponselku bergetar. Aku abaikan. Fokusku sedang menyetir."Kamu angkat saja, Mas! Mungkin pacarmu yang genit itu!" sindir Luna."Aku sudah putus dengannya, Dek. Demi kamu, aku memintanya berhenti menemuiku. Kamu harus percaya. Kau yang utama sekarang. Percaya dek!" pintaku."Kemarin bilang begini juga kok kamu. Tapi nyatanya, kamu mojok di saat yang menurutku tak tepat. Kamu egois, Mas! Kamu juga maruk! Aku tak ingin menjadi bintang buatmu meskipun paling bersinar sebab bintang yang kau maksud, satu diantara seribu. ""Dek! Ya Allah!"Aku mengusap wajahku. Mengembuskan nafas berat. Ingin kusegera sampai rumah lalu menjelaskan ini semua.Luna membuang wajahnya, menghadap jendela. Darimatanya aku melihat kesedihan. Apakah dia sedang cemburu? Jangan-jangan dia juga mencintaiku!!!Jalanan y
Di sebuah kamar mewah berhiaskan manik-manik cantik di sekitar dindingnya.##Happy Wedding Aleksei & Ratna##Aroma wangi kelopak bunga marak menyeruak, menelisik masuk ke rongga hidung, menambah gairah kamar pengantin.Ratna masih terpaku pada dirinya di cermin. Semua tampak sempurna. Dia merasa, inilah titik paling cantik seumur hidupnya.Tapi ....Menjadi titik paling buruk juga dalam takdirnya selama bernafas.Amarah dalam jiwa tak mampu menguap hanya dengan tatapan kagum dan pujian suaminya dengan kecantikannya. Sebab, laki-laki itu justru sibuk dengan laptopnya, tepat di malam pertama mereka."Sayang, tidurlah. Aku sedang ada proyek yang harus selesai besok. Ini sangat penting. Setelah ini barulah kita menikmati malam pengantin," ujarnya.Ratna masih mematung.
"Mas ...," suaranya mendayu, menghentikan langkahku.Belum sempat aku membalikkan tubuh melihatnya,Deeeghhhh ...Kedua tangan Luna sudah melingkar di pinggangku. Dia memelukku dari belakang. Aku senang sekali sampai takut untuk bernafas."Aku juga mencintaimu, Mas ...," lirihnya dengan pipinya menempel di punggungku.Sejenak aku mematung. Telingaku seperti melebar dua kali lipat."Ap-pa ka-kammmu sserrius, Dek?" tanyaku gagap sembari memutar tubuhku."Yaa, Mas. Aku juga cinta kamu, apa adanya," jawab Luna masih terisak tapi binar matanya memberikanku isyarat dia sedang bersungguh-sungguh."Ada apanya juga tak apa-apa, Dek. Penting kamu mau," godaku."Issssh sok oke kamu memang, Mas," timpalnya manja mencubit perutku.
“Kamu mau kan ketika kamu menanam benih di rahimku, kamu dalam keadaan sudah bagus ibadahnya, bagus ngajinya, nanti otomatis anak kita jadi anak yang baik fisiknya dan perilakunya,” jawab Luna tenang.Sudut bibirku sedikit mengembang, menahan senyum. Menanam benih katanya? Aku suka kalimat itu.“Cukup 40 hari challange sholat 5 waktu, kita belajar mengaji bersama, hafal doa pengantin. Setelah itu, kita bisa bercinta sepanjang hari, sepanjang malam,” lanjut Luna menggenggam tanganku dan menatapku penuh cinta.Istriku ini bisa saja membuatku jadi tak karuan begini.Lalu aku bisa apa selain mengangguk menyetujui chalange darinya. Oh Tuhan, aku anggap ini hukuman buatku karena masa lajang kugunakan berfoya-foya.“Aku mau hafal doa pengantin dulu, ah. Kalau sudah hafal, bisa lebih cepat diperaktikkan,” ujarku malu-malu.&l
Sudah setengah hari aku berada di ruangan kantorku yang cukup mewah. Dengan AC 24 jam dan kursi empuk ini, membuat aku bekerja dengan begitu fokus. Aku ingin Luna bangga sebab memiliki suami yang pekerja keras dan dapat diandalkan.Kubuat kesuksesan besar di perusahaanku agar aku percaya diri mengatakan padanya bahwa cintaku ini tak berbatas seperti uangku yang tak berseri. Aku tersenyum sendiri.Sudah jam istirahat, aku merogoh ponselku dan menelpon Kokom secara langsung. Perempuan gendut itu lebih cepat jika kuhubungi lewat ponsel pribadinya.“Temui aku, Kom. Secepatnya!”Dua menit kemudian, Kokom sudah menunjukkan pipinya. Sebab hidungnya sudah habis tertutup pipi.“Ada apa, Big Boss? Telponmu buatku gagal gol!”“Pasti kau main game di kantor, karyawan macam apa kau, Kom!” omelku.“Jam is
Luna menggosok-gosokkan kedua tangannya, agak gugup.“Buka saja cadarnya, Mbak,” saran Ustadzah Yuni.“Hanya sebentar saja ya, Ustadzah. Aaaakkkuuu .…”Luna memiliki rasa yang kurang nyaman ketika wajahnya dilihat orang yang baru dia kenal. Bayangan ketika topengnya dibuka oleh Eville lalu liur iblis itu menetes di atas wajahnya, itu selalu jadi momok menakutkan dalam hidupnya.”Kalau Mba Luna tak bersedia juga tak mengapa,” kata Ustadzah Yuni dengan sinyum simpul.Luna langsung membuka cadarnya, menunduk.Wanita berhijab di depan Luna itu seketika melebarkan kedua pupil matanya, cukup terkejut dengan pemandangan indah yang sedang ia lihat.“Masyaallah, tabarakallah, Mba Luna
12.30Sudah selesai meeting pentingku hari ini dengan klien. Mereka meminta perusahaanku menyiapkan rempah-rempah untuk pabrik jamunya. Aku senang sekali. Jika kupikir-pikir, rezkiku semenjak menikah, melesat tinggi. Luna memang angel pembawa keberuntunganku. Eeh Angel? Sekarang menjadi tidak asing. Bahkan kakek sering mengucapkan itu pada Luna. Istriku memang seperti angel. "Mas ...," sapa seseorang. Aku cukup terkejut. "Sendirian?" tanyanya lagi. "Tadi sama klien, Yu. Kamu mau makan siang?" tanyaku berbasa-basi. Biar bagaimanapun, Ayu Ruminang pernah hadir dalam hidupku. "Iya, Mas. Aku sendirian aja nich. Temenin dong," pintanya. Aku gugup sendiri. Penampilan mantanku ini tak berubah, malah makin menggoda iman. "Aku masih kenyang, tadi sudah ngemil. Anuu ... akuu... harus pergi sekarang," ucapku mencoba menjauhkan hidungku dari aroma tubuh Ayu Ruminang. Wangi khas yang biasa aku nikmati saat berdempetan dengannya. "Kok cepat sekali, Mas? Aku baru saja sampai lo," rayunya me