MasukNamun, Adrian segera menguasai diri dengan cepat.
“Aku tidak bisa percaya pada siapa pun selain diriku sendiri!” ujar Adrian dingin. Ia tidak benar-benar goyah. Ia sudah memutuskan. Tak akan ada ruang belas kasihan. Adrian lantas membalikkan badan dan meninggalkan Liora begitu saja. Sebelum dia benar-benar pergi jauh, dia kembali menoleh menatap Liora, yang kembali bangkit untuk berdiri. Wanita malang itu menatapnya dengan mata sembabnya. “Kau ingin menjenguk ayahmu kan? Ganti bajumu. Aku akan mengawasimu untuk kembali ke rumah sakit,” jelasnya, kemudian berlalu. Sesampainya di rumah sakit sore itu, Liora segera masuk ke ruang perawatan ayahnya. Adrian pun ikut masuk agar tak ada yang melihatnya. Namun, selama di sana, dia hanya sibuk dengan ponselnya. Membaca semua laporan anak buah dan suruhannya untuk memastikan semuanya aman. Liora duduk di sebelah ranjang ayahnya yang masih belum sadar penuh, tapi tangannya kini mulai bisa merespons genggaman. Liora tersenyum tipis. Ia mengusap pelan dahi ayahnya dan memeluknya erat. Tak ada suara, hanya air mata yang berbicara. Waktu berjalan begitu cepat. Saat malam menjelang, Adrian mengingatkan mereka harus kembali. Hati Liora hancur. Ia mengambil catatan dan menulis untuk Adrian. “Biarkan aku di sini bersama ayahku. Biarkan aku menjaganya.” Adrian membaca catatan yang Liora tunjukkan padanya. Ia menatap wanita itu datar. “Aku membiarkanmu di sini? Lalu siapa yang akan menjaga dan mengawasimu untuk tidak membuka suara?” tanyanya, tidak peduli, sama sekali. Liora menitikkan air mata. Dia menggeleng. Seakan meyakinkan kalau dia tidak akan melakukan itu. “Kau tidak perlu khawatir. Dokter dan perawat di rumah sakit ini akan segera menghubungi jika terjadi apa-apa karena ayahmu adalah pasien prioritas!” jelas Adrian enteng. Liora menatap ayahnya. Ia ingin tetap di sana, menemani, sadarnya, ia tahu kehidupannya sekarang bukan miliknya lagi. Tapi, tidak apa, asal dia tidak kehilangan kehidupannya … ayahnya. Sepanjang perjalanan, Liora hanya membuang pandangan lewat jendela mobil. Pada jalanan yang mereka lalui yang membuatnya jauh dari ayahnya. Air matanya tak berhenti menetes, meski tangannya terus menepisnya. Namun Adrian seolah buta. Bukan hanya mata, tapi juga hatinya. Rumah keluarga Ashton berdiri megah dengan lampu kristal menyala terang di ruang makan. Aroma sup jamur dan daging panggang menyambut kedatangan mereka. Aroma itu tak menggugah bagi Liora, melainkan membuat sekujur tubuhnya tegang, tak nyaman. Juliana duduk anggun di kursi kepala meja. Di sampingnya ada Camilla dan Luca—adik perempuan dan keponakan Adrian. “Kau sudah pulang, Adrian? Ayo makan…” Senyum tipis memancar di wajah ibunya. Ia sama sekali tidak menatap Liora. Adrian duduk. Dia pun bersiap untuk makan. Ketika Liora hendak duduk di kursi kosong di samping Adrian, suara Juliana terdengar nyaring. “Stop!” Liora tersentak. Juliana tersenyum sopan tapi tajam. “Makan malam ini hanya untuk yang benar-benar keluarga! Bukan orang asing! Apalagi yang tidak sepadan.” Liora mengurungkan niatnya untuk duduk, meski perutnya juga sudah lapar. Camilla ikut melirik tersenyum mengejeknya tanpa kata-kata. Adrian tidak ikut meledek, tapi ia juga tidak membela. Ia hanya menatap ibunya. “Tidak perlu keterlaluan, Ma.” “Tapi benar, kan?” Juliana mengangkat bahu. “Lagi pula pernikahan kalian tidak sungguhan. Mama juga sudah punya calon yang sepadan untukmu, Adrian.” Adrian menarik napas panjang, lalu menatap Liora yang masih berdiri. “Kau bisa makan ke kamar. Aku akan suruh Bibi mengantarmu dan menyiapkan makanan untukmu.” Liora tidak menjawab. Sekuat tenaga, ia melangkah meninggalkan ruang makan itu tanpa menundukkan kepala. Ia benar-benar ingin marah, tapi percuma. “Adrian? Dia benar-benar tidur di kamarmu?!” tanya Juliana semakin tidak paham. “Ya, Ma. Aku ingin memastikan kalau dia benar-benar bungkam, tidak lepas dari pengawasanku,” jawab Adrian. Liora diantar masuk ke dalam kamar yang begitu mewah dan luas. Ia duduk di sofa empuk yang justru terasa seperti tempat eksekusi. Di hadapannya, hidangan makan malam telah disiapkan. Ia menyentuh sendok, memasukkan sesuap makanan ke mulut. Sekali, dua kali, lalu berhenti. Air matanya terus mengalir, membuat semua terasa hambar. Apalagi saat mengingat ayahnya. Tangannya mengepal. Ia menatap hidangan itu dengan amarah yang tak sanggup diluapkan. Ia benci mereka. Ia benci rumah itu. Ia membenci Adrian. Pintu kamar terbuka. Adrian masuk tanpa mengetuk. Wajahnya datar, tanpa beban. Dan saat itu juga, ide nekat muncul di benak Liora. Dengan cepat, ia meraih piring, lalu melemparkannya hingga pecah menghantam lantai. Liora mengambil serpihan kaca paling tajam, lalu mengangkatnya ke arah tangannya. Napasnya memburu. Mata basahnya menatap Adrian penuh perlawanan. Namun lelaki itu sama sekali tak gentar. Ia memperhitungkan gerakan Liora. “Aku tahu isi kepalamu,” ucapnya datar. “Dengar, satu luka saja di tubuhmu... ayahmu akan lewat.” Tangan Liora gemetar. Ancaman itu sudah lebih dulu menusuk lebih tajam daripada beling yang digenggamnya. Dengan sigap Adrian menghampirinya dan merebut serpihan kaca itu. Lalu memeluk tubuh Liora erat-erat, kasar tapi terkendali. Dalam sekejap, ia mengangkat tubuh perempuan itu dan melemparkannya ke atas ranjang. Adrian mengurung Liora di bawah tubuhnya. Suaranya serupa bisikan yang menggigilkan tulang saat berkata, "Jangan pikir kau bisa mengendalikan keadaan apalagi mengendalikanku!" Bersambung…Waktu berlalu, kabar kehamilan kembar membuat seluruh keluarga Ashton hidup dalam babak kebahagiaan yang baru. Namun masih ada satu orang lagi yang belum tahu apa-apa, yaitu Luca.Hari ini Luca dijemput dari asrama. Sebenarnya Adrian ingin menjemput anak itu bersama Liora, tapi dokter melarang Liora bepergian terlalu jauh. Adrian pun keras kepala: “Kalau Liora tidak ikut, aku juga tidak akan pergi.” Akhirnya, solusinya adalah Camila yang menjemput putranya sendiri, dikawal oleh Gavin sebagai sopir — tentu atas perintah penuh dari Adrian.***Di dalam mobil, Gavin menyetir dengan tenang. Camila duduk di sampingnya sambil menatap pemandangan.Tak biasanya, mobil itu sunyi hingga Gavin membuka suara duluan.“Nona Camila… ini pertama kalinya saya bertugas khusus untuk Anda.”Camila mengangkat alis.“Biasanya kamu sibuk menempel ke Kakakku.”Gavin tersenyum kecil.“Ya haha, tapi sebenarnya tugas saya lebih dari mendampinginya, justru bisa juga mendampingi Nona” jawabnya ringan.Keheningan
Satu bulan berlalu.Rumah keluarga Ashton yang dulu penuh tekanan kini berubah menjadi tempat hangat terutama bagi Liora. Kamar yang sebelumnya menjadi saksi ketakutan dan air matanya kini telah direnovasi total oleh Adrian. Dinding-dinding yang dulu gelap berganti dengan warna krem lembut, tirai putih transparan membiarkan sinar matahari masuk setiap pagi, dan di sudut ruangan ada sofa mungil dengan selimut rajut yang dipilih Juliana sendiri untuk kenyamanan Liora.Kini kamar itu terasa menjadi tempat paling aman bagi seorang ibu hamil.Dan sejak pindah, Adrian resmi menjelma menjadi satpam pribadi. Bahkan lebih dari itu.Liora baru hendak berdiri dari tempat tidur, langsung disergap.“Duduk.”“Adrian, aku cuma mau ambil air minum.”“Aku yang ambil.”“Tapi gelasnya di sebelahku.”Adrian menggeser badan, mengambil gelas satu centimeter dari tangan Liora dengan ekspresi yang sangat serius. “Tetap. Kamu duduk.”Liora hanya bisa menatap suaminya dengan ekspresi setengah geli, setengah le
Adrian menatap Liora lama, seolah ingin memastikan bahwa ia tak sendiri dalam keputusan besarnya. Liora hanya mengangguk pelan sambil tersenyum tipis, memberi dukungan tanpa suara.Dengan tarikan napas berat, Adrian akhirnya memiringkan tubuhnya dan meraih Liora dalam pelukan. Ia mendekap istrinya erat, seakan meyakinkan dirinya untuk memaafkan keluarganya.Liora membalas pelukan itu tanpa ragu. Tangannya mengusap pelan punggung Adrian, menyalurkan kekuatan tanpa satu kata pun.Setelah beberapa saat, Adrian menarik napas dan melepaskan pelukan Liora perlahan. Ia menoleh pada ibunya.Dengan sisa tenaga, ia maju dan memeluk Juliana.Wanita itu langsung pecah dalam tangis, tubuhnya bergetar hebat.“Aku maafkan Mama…” lirih Adrian.“Terima kasih… Nak… terima kasih…” katanya berulang-ulang sambil membenamkan wajah di bahu putranya. Pelukan itu bukan hanya permintaan maaf—itu adalah penyerahan diri seorang ibu yang akhirnya benar-benar rela.Tak lama kemudian, Camila yang sejak tadi berdiri
Liora menatap Adrian cukup lama. Dia terdiam.Adrian mengelus tangan Liora yang digenggamnya. “Tidak perlu memikirkan mereka,” ucap Adrian dingin, nada suaranya jelas dan penuh luka.Liora masih terdiam, menatap wajah Adrian dengan bingung. Ia tidak menyangka, di balik tangis dan pelukan hangat tadi, tersimpan bara yang masih membakar hatinya. Dengan suara bergetar, ia mencoba menegur pelan, “Bagaimana pun juga… dia tetap ibumu. Dia sudah menyesal, Adrian. Kamu tidak boleh seperti ini. Camila juga… Bahkan mereka sudah meminta maaf padaku, Adrian.”Namun, sorot mata Adrian justru mengeras. Tangannya yang menggenggam jemari Liora sedikit bergetar, seolah menahan emosi yang ingin meledak.“Liora…” katanya lirih tapi tajam, “kita seperti ini karena mereka. Karena ambisi, karena kebutaan, karena keegoisan. Aku hampir kehilanganmu. Kita bahkan kehilangan anak kita yang pertama. Aku tidak bisa begitu
Juliana kembali dilarikan ke rumah sakit. Camila mendampinginya dengan perasaan panik. Ia dibaringkan di atas ranjang darurat dan dilarikan ke ruang perawatan. Selang oksigen segera dipasang di hidungnya, sementara perawat memeriksa detak jantung dan tekanan darahnya dengan cepat.Camila hanya bisa berdiri di samping, tangan gemetar memegang lengan ibunya. Air matanya menetes deras, hatinya dicekam rasa takut kehilangan. “Mama… bertahanlah…” bisiknya lirih, tak henti mengusap punggung tangan Juliana.Saat itulah, di tengah kepanikan, kesadaran perlahan menusuk benak Camila. Hatinya bergetar hebat, menyadari sesuatu yang selama ini ia abaikan.Semua ini… semua masalah yang menimpa keluarga… bahkan penderitaan Kak Adrian dan Kak Liora… semuanya karena ambisi keluarga kami. Dan… Mama akhirnya seperti ini karena tekanan dari rasa bersalahnya.Air matanya semakin deras jatuh. Ia menggigit bibir, suaranya pecah ketika berbicara pada dirinya sendiri. “Aku… aku juga bersalah… Selama ini aku h
Malam itu, setelah semua tenang, Liora sudah dipindahkan kembali ke ruangannya. Dokter mewanti-wanti agar ia beristirahat total, menjaga tubuhnya dan kandungan yang masih sangat muda. Gavin berjaga di depan pintu, memastikan tidak ada gangguan.Sementara itu, di kamar Adrian, Juliana masuk dengan langkah perlahan. Camila menunggu di luar, memberi ruang bagi ibunya.Juliana berdiri lama di sisi ranjang Adrian, menatap wajah putranya yang pucat. Air matanya kembali mengalir, tapi kali ini bukan karena amarah atau gengsi, melainkan kasih sayang yang sempat terkubur terlalu lama.“Adrian…” Juliana mendekat ke sisi ranjang, jemarinya gemetar saat menyentuh tangan anaknya. Ia lalu membungkuk, memeluk tubuh Adrian dengan lembut. “Adrian, maafkan Mama… selama ini Mama terlalu egois. Mama hanya memikirkan nama keluarga, kehormatan, dan harga diri… tanpa pernah membuka mata tentang perasaanmu.”Bahunya terguncang hebat. Ia mengecup punggung tangan Adrian, suaranya pecah di antara tangis.“Mama







