Home / Romansa / ISTRI BISU Tuan Terhormat / 3. Mencoba Mengendalikan

Share

3. Mencoba Mengendalikan

Author: desafrida
last update Last Updated: 2025-06-01 18:15:54

Namun, Adrian segera menguasai diri dengan cepat.

“Aku tidak bisa percaya pada siapa pun selain diriku sendiri!” ujar Adrian dingin.

Ia tidak benar-benar goyah. Ia sudah memutuskan. Tak akan ada ruang belas kasihan.

Adrian lantas membalikkan badan dan meninggalkan Liora begitu saja.

Sebelum dia benar-benar pergi jauh, dia kembali menoleh menatap Liora, yang kembali bangkit untuk berdiri.

Wanita malang itu menatapnya dengan mata sembabnya.

“Kau ingin menjenguk ayahmu kan? Ganti bajumu. Aku akan mengawasimu untuk kembali ke rumah sakit,” jelasnya, kemudian berlalu.

Sesampainya di rumah sakit sore itu, Liora segera masuk ke ruang perawatan ayahnya. Adrian pun ikut masuk agar tak ada yang melihatnya.

Namun, selama di sana, dia hanya sibuk dengan ponselnya. Membaca semua laporan anak buah dan suruhannya untuk memastikan semuanya aman.

Liora duduk di sebelah ranjang ayahnya yang masih belum sadar penuh, tapi tangannya kini mulai bisa merespons genggaman.

Liora tersenyum tipis. Ia mengusap pelan dahi ayahnya dan memeluknya erat. Tak ada suara, hanya air mata yang berbicara.

Waktu berjalan begitu cepat.

Saat malam menjelang, Adrian mengingatkan mereka harus kembali.

Hati Liora hancur. Ia mengambil catatan dan menulis untuk Adrian.

“Biarkan aku di sini bersama ayahku. Biarkan aku menjaganya.”

Adrian membaca catatan yang Liora tunjukkan padanya. Ia menatap wanita itu datar.

“Aku membiarkanmu di sini? Lalu siapa yang akan menjaga dan mengawasimu untuk tidak membuka suara?” tanyanya, tidak peduli, sama sekali.

Liora menitikkan air mata. Dia menggeleng. Seakan meyakinkan kalau dia tidak akan melakukan itu.

“Kau tidak perlu khawatir. Dokter dan perawat di rumah sakit ini akan segera menghubungi jika terjadi apa-apa karena ayahmu adalah pasien prioritas!” jelas Adrian enteng.

Liora menatap ayahnya. Ia ingin tetap di sana, menemani, sadarnya, ia tahu kehidupannya sekarang bukan miliknya lagi.

Tapi, tidak apa, asal dia tidak kehilangan kehidupannya … ayahnya.

Sepanjang perjalanan, Liora hanya membuang pandangan lewat jendela mobil. Pada jalanan yang mereka lalui yang membuatnya jauh dari ayahnya.

Air matanya tak berhenti menetes, meski tangannya terus menepisnya. Namun Adrian seolah buta. Bukan hanya mata, tapi juga hatinya.

Rumah keluarga Ashton berdiri megah dengan lampu kristal menyala terang di ruang makan. Aroma sup jamur dan daging panggang menyambut kedatangan mereka. Aroma itu tak menggugah bagi Liora, melainkan membuat sekujur tubuhnya tegang, tak nyaman.

Juliana duduk anggun di kursi kepala meja. Di sampingnya ada Camilla dan Luca—adik perempuan dan keponakan Adrian.

“Kau sudah pulang, Adrian? Ayo makan…” Senyum tipis memancar di wajah ibunya. Ia sama sekali tidak menatap Liora.

Adrian duduk. Dia pun bersiap untuk makan. Ketika Liora hendak duduk di kursi kosong di samping Adrian, suara Juliana terdengar nyaring.

“Stop!”

Liora tersentak.

Juliana tersenyum sopan tapi tajam. “Makan malam ini hanya untuk yang benar-benar keluarga! Bukan orang asing! Apalagi yang tidak sepadan.”

Liora mengurungkan niatnya untuk duduk, meski perutnya juga sudah lapar.

Camilla ikut melirik tersenyum mengejeknya tanpa kata-kata.

Adrian tidak ikut meledek, tapi ia juga tidak membela. Ia hanya menatap ibunya. “Tidak perlu keterlaluan, Ma.”

“Tapi benar, kan?” Juliana mengangkat bahu. “Lagi pula pernikahan kalian tidak sungguhan. Mama juga sudah punya calon yang sepadan untukmu, Adrian.”

Adrian menarik napas panjang, lalu menatap Liora yang masih berdiri. “Kau bisa makan ke kamar. Aku akan suruh Bibi mengantarmu dan menyiapkan makanan untukmu.”

Liora tidak menjawab. Sekuat tenaga, ia melangkah meninggalkan ruang makan itu tanpa menundukkan kepala. Ia benar-benar ingin marah, tapi percuma.

“Adrian? Dia benar-benar tidur di kamarmu?!” tanya Juliana semakin tidak paham.

“Ya, Ma. Aku ingin memastikan kalau dia benar-benar bungkam, tidak lepas dari pengawasanku,” jawab Adrian.

Liora diantar masuk ke dalam kamar yang begitu mewah dan luas. Ia duduk di sofa empuk yang justru terasa seperti tempat eksekusi.

Di hadapannya, hidangan makan malam telah disiapkan. Ia menyentuh sendok, memasukkan sesuap makanan ke mulut.

Sekali, dua kali, lalu berhenti. Air matanya terus mengalir, membuat semua terasa hambar. Apalagi saat mengingat ayahnya.

Tangannya mengepal. Ia menatap hidangan itu dengan amarah yang tak sanggup diluapkan.

Ia benci mereka. Ia benci rumah itu. Ia membenci Adrian.

Pintu kamar terbuka. Adrian masuk tanpa mengetuk. Wajahnya datar, tanpa beban. Dan saat itu juga, ide nekat muncul di benak Liora.

Dengan cepat, ia meraih piring, lalu melemparkannya hingga pecah menghantam lantai.

Liora mengambil serpihan kaca paling tajam, lalu mengangkatnya ke arah tangannya. Napasnya memburu. Mata basahnya menatap Adrian penuh perlawanan.

Namun lelaki itu sama sekali tak gentar. Ia memperhitungkan gerakan Liora.

“Aku tahu isi kepalamu,” ucapnya datar. “Dengar, satu luka saja di tubuhmu... ayahmu akan lewat.”

Tangan Liora gemetar. Ancaman itu sudah lebih dulu menusuk lebih tajam daripada beling yang digenggamnya.

Dengan sigap Adrian menghampirinya dan merebut serpihan kaca itu. Lalu memeluk tubuh Liora erat-erat, kasar tapi terkendali.

Dalam sekejap, ia mengangkat tubuh perempuan itu dan melemparkannya ke atas ranjang.

Adrian mengurung Liora di bawah tubuhnya. Suaranya serupa bisikan yang menggigilkan tulang saat berkata, "Jangan pikir kau bisa mengendalikan keadaan apalagi mengendalikanku!"

Bersambung…

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • ISTRI BISU Tuan Terhormat   124. Tanpa Suara

    Sebuah tembakan mengenai atap ruangan itu. Liora terkejut dan diam di tempat.Gavin merasa sedikit lega karena Bennedict tidak langsung menembak tuannya. Namun ia semakin berhati-hati, begitu juga anak buahnya agar Adrian selamat.Tubuh Liora gemetar. Dia menutup mulutnya yang ingin berteriak menangis memanggil Adrian.“Sudah kubilang diam di tempat! Jangan pancing aku!” bentak Bennedict.Gavin melirik empat anak buah tuannya. Seolah berbicara lewat lirikan mata.Saat Bennedict lengah di tengah ancaman yang dia berikan, tiba-tiba…BUG!!!Salah seorang anak buah langsung menunjang lengan Bennedict dan membuat pistol itu jatuh dari tangannya dan terlempar.Sigap Bennedict berlari dan merangkak untuk meraih kembali pistol itu, namun, Liora berlari cepat menendang pistol itu semakin jauh. Saat itu pula ke empat anak buah Adrian langsung menangkap Bennedict dan menguasainya.“Bajingan! Lepaskan!” teriak Bennedict.“Bawa, tahan dan amankan dia!” ucap Gavin pada ke empat anak buah Adrian.Li

  • ISTRI BISU Tuan Terhormat   123. Tembakan Menghentikan Waktu

    Belum sempat Liora berkata apapun, tiba-tiba pintu ruang yang gelap itu didobrak. Empat orang yang badannya tidak kalah besar dari dua penculik yang menahannya, langsung melawan dan mengepung. Adu fisik tidak dapat dielakkan. Namun, apapun itu Liora yang panik, yakin ini adalah kesempatannya untuk kabur.Keributan pecah dalam ruangan sempit itu. Kursi terbalik, kaca pecah, geraman dan dentuman benda-benda meenuhi udara. Dua orang penculik dihajar habis-habisan oleh anak buah Adrian.Adrian dan Gavin pun tiba.“Liora…” panggil Adrian. Suaranya lemah. Selemah posisi berdirinya yang tidak kuat. “Gavin! Amankan Liora terlebih dahulu…” ucapnya.Gavin langsung mendekati Liora dan berusaha melepas ikatannya.Namun fokus semua orang seketika terhenti ketika Bennedict muncul dengan pistol teracung tepat di pelipis Adrian.“Jangan bergerak!” bentak Bennedict, suaranya berat, sarat dengan kebencian.Semua orang menegang. Gavin yang baru saja menarik Liora ke belakang, mendesis pelan. “Sial…”Adr

  • ISTRI BISU Tuan Terhormat   122. Pilihan Liora

    “Gavin, segera cari dia. Aku tidak peduli bagaimana caranya. Gunakan semua CCTV, semua akses… aku tidak peduli kau harus meretas sistem kepolisian sekalipun. Aku harus tahu di mana Liora!” suara Adrian pecah, nadanya tegang namun juga penuh ketakutan.Gavin yang berdiri di sisi ranjang mencoba tetap tenang. “Tuan… tolong istirahat dulu. Saya yang akan mencari Nyonya. Saya janji, saya akan menemukannya. Tapi Tuan harus tenang, biarkan saya bekerja.”Namun Adrian menggeleng keras. Tangan yang lemah, yang penuh jarum infus meraih lengan Gavin dengan kekuatan terakhir.“Tidak! Kau tidak bisa diam saja, Gavin. Dia bisa saja dalam bahaya. Aku sudah kehilangan banyak hal… aku tidak akan kehilangan dia juga. Aku akan ikut, denganmu. Biarpun aku harus dibawa dengan kursi roda, dengan perawat, dengan tabung oksigen, aku akan ikut!”Juliana yang sejak tadi menangis langsung menahan bahu anaknya. “Adrian! Kau jangan bikin Mama khawatir?! Tubuhmu bahkan tidak bisa menahan diri sendiri. Kita akan t

  • ISTRI BISU Tuan Terhormat   121. Akan Kuberikan Nyawaku

    Gavin, Liora dan Ibu Panti duduk di salah satu kafe yang tidak jauh dari rumah sakit. Seperti permintaan Gavin. Hanya tiga puluh menit untuk dia menjelaskan, lalu Liora bebas memutuskan.Tanpa basa-basi, Gavin langsung menjelaskan semuanya.“Nyonya Liora, dengarkan aku. Soal kafe Ryan yang kebakaran, itu sama sekali tidak ada kaitannya dengan Tuan Adrian. Aku ada buktinya. Ryan sepertinya sedang ingin klaim asuransi kafenya.Lalu soal pembunuh Ibu Nyonya, itu juga bukan Tuan Adrian. Dia bahkan baru tahu ada kejadian pembunuhan di balik kasus percobaan pembunuhan ayahnya oleh Bennedict beberapa tahun lalu.”Gavin menghela napas untuk melanjutkan penjelasannya.“Dan soal Clara. Semua itu juga fitnah. Ada CCTV di kamar Tuan yang membuktikan semuanya. Tuan Adrian benar-benar sangat mencintai Nyonya. Hidupnya berubah setelah dia menyadari perasaannya pada Nyonya. Dia hanya ingin Nyonya merasa nyaman dan dicintai olehnya.”Liora terlihat membuang wajah mendengar semua penjelasan Gavin. Seak

  • ISTRI BISU Tuan Terhormat   120. Tiga Puluh Menit Terakhir

    Liora berdiri kaku, wajahnya tegas tapi matanya sebenarnya mulai basah. Seperti tidak siap untuk masuk ke dalam kamar itu dan melihat Adrian.“Ini ruangannya? Ayo,” ucap Ibu Panti.Liora menoleh, lalu melangkah masuk ke dalam.Juliana, Camila dan Gavin langsung menoleh saat melihat Liora masuk.Adrian yang meringis, mengigau, menyebut nama Liora lalu meminta maaf pun tiba-tiba terdiam.“Liora?” sapa Juliana.Liora menatap wajah wanita itu. Wajah yang masih tegas dan tatapan yang penuh luka.“Kamu datang, Liora? Aku tahu kamu pasti datang. Maafkan kami, Liora. Tolong lihat Adrian. Maafkan dia…”“Li- Liora… Maafkan aku…” Mata Adrian basah, memerah dan lemah.“Tu- tuan… jangan beranjak dulu,” ucap Gavin menahan.Liora melangkah dingin mendekati Adrian. Dia mendekat, tapi hatinya tidak. Apalagi rasa bencinya. Sama sekali tidak bera

  • ISTRI BISU Tuan Terhormat   119. Mengantarkan Kepergiannya Selamanya

    Kini Juliana dan Camila yang bergantian menjaga Adrian. Mereka tidak pernah melihat pria itu dalam keadaan seburuk ini. Tubuhnya lemah, wajahnya pucat, dan bibirnya sering kali hanya menggumam menyebut nama Liora. Terkadang, Adrian terbangun dengan teriakan lirih, memohon maaf kepada sosok yang tidak ada di hadapannya. Matanya kosong, tapi basah oleh air mata yang tak bisa ia bendung.Juliana beberapa kali mencoba menghibur, namun yang terdengar hanyalah permintaan maaf yang diulang-ulang, seakan-akan Adrian terjebak dalam lingkaran penyesalan yang tak berujung.Camila pun ikut tertekan. Terlebih lagi, ancaman Clara kian menghantui mereka. Meski mereka sudah memberikan uang dalam jumlah besar agar mulut Clara tetap terkunci. Namun, itu tidak menghentikan bayangan buruk yang terus menekan mereka.Sementara itu, Gavin tidak tinggal diam. Ia tahu Adrian tidak akan bertahan jika Liora tidak segera kembali. Setelah kedatangan Juliana dan Camila dan diperintahkan untuk mencari Liora, dengan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status