Mag-log in
Selalu akan ada seseorang yang muncul dan membuatmu percaya bahwa dunia ini memang memiliki dongeng.
Tahun baru baru saja dimulai. Salju pertama turun. Musim dingin di Kota A pun menjadi semakin dingin sejak salju itu turun. Karena semua orang di rumah sibuk menyiapkan berbagai keperluan untuk perayaan tahun baru, tak seorang pun sempat memperhatikan Renaria yang baru berusia dua tahun. Karenanya, Ibunya menaruh Renaria di atas sofa dan berkata lembut, “Rena yang manis, main sendiri dulu, ya.” Lalu, ia masuk ke dapur. Awalnya, Renaria masih bisa duduk tenang di sofa sambil mengisap jarinya. Namun tak lama kemudian, ia mendengar suara tawa anak-anak bermain di luar pintu. Anak berusia dua tahun itu memang belum bisa berjalan dengan mantap, tapi rasa penasarannya besar. Dengan tubuh mungilnya yang gemuk, Renaria perlahan merayap turun dari sofa, lalu setengah merangkak, setengah berjalan menuju pintu depan. Saat itu, pintu kebetulan tidak tertutup rapat, jadi Renaria dengan mudah keluar dari rumah. Namun, setelah sampai di luar, Renaria mendadak ragu. Salju belum sepenuhnya menutupi tanah. Bagian putih adalah salju, sedangkan bagian yang sedikit kekuningan adalah tanah yang kotor. Renaria kecil sudah tahu bahwa tanah itu tidak bersih, dan jika ia melangkah ke sana, pakaian putih barunya pasti akan kotor. Tapi anak-anak di depan sana tertawa semakin riang. Mereka tampak bersenang-senang… Renaria pun ikut bersemangat, tak lagi peduli apakah tanah itu kotor atau tidak. Ia merangkak dan berjalan hingga sampai di depan tiga anak itu. Tiga anak, Dua laki-laki dan satu perempuan. Belum sempat Renaria melihat wajah mereka dengan jelas, tubuhnya sudah terangkat dari tanah. “Kakak lihat, di sini ada boneka kecil!” Suara itu lembut, manis seperti permen kapas, tetapi tangan anak itu tidaklah selembut suaranya, Ia mencengkeram kedua lengan kecil Renaria dan mengangkatnya tinggi-tinggi. Renaria merasa tidak nyaman. Ia berontak dengan marah, menggeliat berusaha turun, namun kekuatan anak itu jauh lebih besar darinya. Ia hanya bisa menendang-nendang di udara, tanpa bisa menyentuh tanah. Anjing yang terpojok pun bisa menggigit, apalagi anak kecil yang sedang kesal seperti Renaria. Ia memejamkan mata dan langsung menggigit tangan yang mencengkeramnya. Giginya sudah tumbuh lengkap, tapi gigitan itu justru mengenai udara kosong. Saat membuka mata, ia menatap sepasang mata hitam yang dalam, seperti danau tanpa dasar. Anak laki-laki itu tampak berusia tujuh atau delapan tahun, berwajah sangat tampan, alis dan matanya begitu indah, kulitnya seputih salju di tanah, bulu matanya panjang seperti milik boneka Barbie Renaria. Namun di wajahnya terlukis ekspresi dingin, seperti tertutup lapisan es yang membuat orang tak berani mendekat. Renaria terdiam di dalam pelukannya. Entah karena terkejut oleh kejadian barusan, atau karena wajah anak itu terlalu tampan, ia tiba-tiba merasa tenang dan tidak lagi melawan. Tubuh anak laki-laki itu membawa aroma manis bunga yang lembut. Renaria merasa nyaman dan tak sadar menggesekkan wajahnya ke dada anak itu. “Kakak, kenapa kau memeluk bocah kecil yang kotor itu?” Anak laki-laki lain yang mengenakan kemeja putih dan berpenampilan seperti orang dewasa kecil, berbicara dengan nada sombong. Dari suaranya, Renaria tahu bahwa dialah orang “jahat” yang tadi mengangkatnya. Renaria yang tadi sudah tenang kembali berontak, mengayunkan tangan kecilnya yang gemuk untuk memukul si anak nakal itu. “Aku tidak mau memelukmu, dasar bocah kotor!” Anak berkemeja putih itu menyeringai dengan jijik, mengira Renaria ingin dia yang memeluknya. Namun, anak laki-laki yang memeluk Renaria menggenggam lembut tangan kecilnya, lalu menatap dingin ke arah anak itu sambil berkata datar, “Dia tidak ingin kau memeluknya. Dia ingin memukulmu.” Pada saat itu, gadis kecil yang mengenakan gaun putri berwarna merah muda tiba-tiba mendekat, menatap Renaria dengan pandangan yang hampir menyerupai kebencian. Kemudian, ia mendengus pelan dan berkata dengan nada tak acuh, “Aku tidak mau main lagi. Kalian saja yang main.” Lalu ia berbalik dan pergi. Meski baru berusia dua tahun, Renaria sudah bisa membedakan siapa yang menyukainya dan siapa yang tidak. Tatapan gadis kecil bergaun merah muda tadi jelas penuh rasa jijik dan tidak suka. “Xena, tunggu aku!” Anak laki-laki yang mengenakan kemeja putih pun segera berlari mengejar gadis itu. Sekeliling mendadak menjadi sunyi. Anak laki-laki yang masih berdiri di tempat menatap Renaria kecil dengan serius. Ia kemudian mengambil bunga dan rumput liar, merangkainya menjadi sebuah cincin kecil, dan dengan hati-hati memakaikannya di jari gadis kecil berbaju putih yang masih kotor itu. “Kalau kau sudah besar nanti, aku akan menikahimu.” katanya lembut. Ia menunduk, menatap Renaria yang masih belum bisa bicara, hanya bisa mengoceh tak jelas. Gadis kecil itu tampak seperti boneka salju mungil, Begitu lucu dan polos. Anak-anak berpikir dengan sangat sederhana. Renaria tidak tahu apa itu cincin, hanya merasa benda itu indah. Ia pun tersenyum bahagia, matanya berbinar. Namun, tawa itu segera terhenti ketika terdengar suara panik dari dalam rumah, “Rena! Rena!” Bagi Renaria, seolah ia sudah berjalan jauh sekali. Padahal, bagi Ibunya, hanya butuh beberapa langkah untuk menemukannya. Tak lama kemudian, wajah cemas Ibunya muncul di hadapannya. Ia segera memeluk Renaria, dan begitu melihat pakaian putih anaknya yang penuh lumpur, ia langsung tahu bahwa Renaria keluar sendiri. Melihat pakaian anak laki-laki yang memeluk Renaria juga ikut kotor, wajah Ibunya menjadi sedikit kikuk. “Maaf sekali, Nak. Pakaianmu jadi kotor karena anakku. Bagaimana kalau kau lepas bajumu? Tante bantu cuci?” Anak laki-laki itu meski baru berusia tujuh atau delapan tahun, namun terlihat lebih matang dan tenang dibandingkan seusianya. Ia melirik gadis kecil yang kini sedang menggosok-gosokkan tubuhnya ke baju ibunya, lalu tersenyum tipis. Benar-benar anak yang nakal… Namun, ia tetap berbicara sopan dan beretika, “Tidak apa-apa, Tante. Tolong jaga dia baik-baik. Aku pulang dulu.” Anak ini pasti dari rumah sebelah, pikir Ibu Renaria. Jarang sekali ada anak yang sopan seperti ini, dan tampan pula. Andai saja dia anakku sendiri… kalau tidak, jadi menantu pun bagus juga! Ibu Renaria yang sudah tidak muda lagi tetap tidak bisa menahan sifat fangirl-nya. Sambil menggendong Renaria pulang, pikirannya sibuk berandai-andai. Renaria kecil masih menggenggam cincin kecil dari bunga dan rumput itu erat-erat. Ia memandangi punggung anak laki-laki berbaju putih yang makin lama makin jauh. Lalu menangis keras-keras. Bertahun-tahun kemudian. Renaria kini sudah dewasa. Ia mengenakan pakaian rapi, membawa ransel hitam kecil di punggungnya, dan berlari terburu-buru ke dalam sebuah gedung perkantoran mewah. Begitu menjejakkan kaki di lobi, ia langsung kebingungan. Lobi gedung itu sangat luas dan kosong, tidak ada satpam, tidak ada resepsionis, bahkan bayangan manusia pun tak terlihat. Masalahnya sekarang, di mana letak lift? Dalam masa paling sulit dalam hidupnya, ia menerima undangan wawancara dari Imperial Group, perusahaan ternama di Kota A. Namun sekarang, waktu wawancara hampir tiba dan ia malah tersesat! “Lantai tiga puluh… lantai tiga puluh… lift di mana, sih?” gumamnya panik sambil berlari kecil. Sialnya, ia mengenakan sepatu hak tinggi setinggi sebelas sentimeter. Setiap beberapa langkah, ia harus menyeimbangkan diri. Berputar ke sana kemari tetap tidak menemukan lift. Air matanya hampir keluar karena frustrasi. Bukan hanya lift, tangga darurat pun tak terlihat. Ketika melirik jam tangannya, waktu wawancara sudah lewat. Rasanya ingin menangis, sudah sampai di gedung perusahaan, tapi tetap tidak bisa naik ke atas! Saat ia menunduk pasrah dan hendak pergi, seorang pria tinggi mengenakan setelan jas berwarna gelap berjalan melewatinya dengan langkah cepat. Renaria hanya sempat melihat sekilas sisi wajahnya, Garis rahangnya tegas, rautnya tampan dan elegan.Kekuatan genggaman Marcell terlalu besar hingga membuat lengan Renaria terasa nyeri.Wajah mungil Renaria mengerut kesakitan, ia berusaha melepaskan diri.“Kamu mau bangun sendiri, atau harus aku cium dulu baru kamu mau bangun?”Marcell menatap wajah Renaria sambil mengucapkan ancaman itu.“Tidak mau!” Karena lengannya sakit, Renaria pun mulai kesal. Ia membalas dengan nada keras, menolak untuk mengalah.Sejak kecil, bahkan Ayah dan Ibunya tidak pernah memarahinya.Semakin ia memikirkannya, semakin terasa perih di hatinya. Kenapa lelaki itu begitu galak padanya, bahkan berulang kali mengancam? Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya.Marcell yang melihat air mata di sudut mata Renaria tiba-tiba menjadi panik.Awalnya, ia hanya berniat menakut-nakuti gadis itu. Tak disangka, gadis kecil itu malah benar-benar menangis.Entah mengapa, Melihat tangisannya membuat hatinya terasa lembut dan hangat.Ia menyesal sudah memarahinya barusan.Dengan lembut, Marcell mengusap air mata di wajah
Wajah Renaria semakin memerah, suaranya terdengar penuh amarah.“Siapa yang mengizinkanmu menciumku!”Marcell tahu, gadis kecil di depannya ini sedang malu.Terus terang, aroma tubuhnya sungguh memikat—lembut, manis seperti es krim vanila.Bukan seperti wanita lain yang selalu diselimuti bau parfum menyengat.Seandainya gadis kecil itu tidak menggigitnya sampai sakit, mungkin ia belum akan melepaskannya.Namun sekarang, si kucing kecil itu sudah menunjukkan cakarnya.Kalau ia terus menekan lebih jauh, mungkin benar-benar akan menakuti si kecil ini.Jadi, Dia dengan santai ia menggesekkan kartu akses di pintu.Bip!“Selama kau belum memberiku Seratus lima puluh ribu dollar, kau harus tetap tinggal di Grup Imperial.”Marcell mengelus kepala Renaria pelan, nada suaranya terdengar lembut namun tetap mengandung peringatan.Renaria dengan jengkel menepis tangannya.Marcell malah melangkah lebih dekat, mendekat ke arahnya.Renaria segera mundur satu langkah, menempel ke pintu seperti hendak
Yakup membuka pintu dan membiarkan Renaria masuk sendiri.Karena Yakup tidak ikut masuk, Renaria merasa agak gugup. Setiap langkahnya ia ambil dengan hati-hati.Dekorasi di dalam ruangan itu jauh lebih mewah. Ada jendela besar dari lantai hingga ke langit-langit, karpet hitam, dan sebuah layar putih raksasa.Renaria merasa seolah dirinya melangkah ke dunia yang hanya memiliki dua warna, hitam dan putih.Ia pernah mendengar, orang yang hanya menyukai warna hitam dan putih biasanya adalah orang kolot. Terbayang olehnya wajah pria di dalam lift tempo hari, datar dan kaku, memang benar-benar seperti orang kuno.Begitu melangkah lebih jauh, ia melihat meja kerja dari kayu hitam pekat. Di sampingnya, sebuah kursi tinggi berwarna hitam menghadap membelakanginya.“Permisi, saya karyawan baru, Renaria,” ucapnya sopan saat tiba di depan meja kerja itu.Kursi tinggi itu perlahan berputar, memperlihatkan sosok pria yang hari itu ia lihat di dalam lift.Dialah atasannya yang baru, Marcell. Ia bers
Meskipun sebenarnya tidak begitu menyukai Celina, Renaria tetap menyapa dengan ramah.Namun, Celina yang angkuh itu hanya melirik sekilas dan sama sekali tidak menanggapi. Bahkan, ia tidak mengucapkan sepatah kata pun, seolah-olah Renaria hanyalah udara.Benar-benar wanita yang sombong, pikir Renaria.Ia memang tidak suka bergaul dengan orang seperti itu, tipe yang selalu menjadikan dirinya pusat segalanya, merasa diri paling hebat, dan memandang rendah orang lain.Ketika Celina tidak menanggapi sapaan itu, Yakup, yang baru keluar dari kantor, justru tersenyum ramah dan menyapa Renaria.“Wah, ini dia kerabat jauhnya Presiden kita,” gumam beberapa karyawan yang melihatnya.Sejak kemarin, Yakup memang masih bertanya-tanya tentang hubungan antara Renaria dan Marcell.Akhirnya, Yakup menyimpulkan sendiri: Mungkin saja dia kerabat jauhnya Presiden.Melihat Yakup menyapa Renaria begitu ramah, hati Celina jadi tidak tenang.Namun Yakup sama sekali tidak menoleh padanya, hingga Celina dengan
Turun dari bus, masih harus berjalan sekitar lima belas menit lagi untuk sampai ke Gedung Komersial Imperial.Karena waktu sudah hampir menunjukkan pukul sepuluh, dan ia takut terlambat, Renaria mempercepat langkahnya.Saat menyeberang jalan, lampu hijau baru saja berubah menjadi merah. Sebuah mobil melaju lurus ke arahnya dengan kecepatan tinggi.Mobil itu melaju sangat cepat. Ketika sopirnya melihat Renaria, ia bahkan sempat membunyikan klakson berkali-kali.Saat berusaha menghindar, Renaria malah menginjak udara kosong dan jatuh di trotoar.Waktu itu, jalanan tidak terlalu ramai.Tubuhnya terhempas keras hingga kepalanya terasa berputar, bahkan kacamatanya jatuh dan pecah di atas aspal.Untungnya, ia masih selamat. Hanya saja, lututnya sedikit lecet dan terasa perih.Mobil itu pun berhenti di depan.Seorang pria paruh baya yang mengenakan kacamata hitam turun dari kursi pengemudi. Dagu pria itu terangkat tinggi, dengan ekspresi penuh kesombongan.Melihat Renaria terjatuh di tanah,
Dari kejauhan, June sudah melihat Renaria berdiri di bawah gedung rumahnya.Tubuh Renaria tampak sangat kurus, seolah bisa tertiup angin dan terbang begitu saja.June memarkir mobilnya, lalu turun sambil membawa sekantong besar barang.Renaria tidak terlalu memperhatikan apa yang dibawa June.Rumah Renaria berada di lantai tiga.Saat mereka menaiki tangga, suasana terasa sunyi.Keduanya sama-sama berpikir, bagaimana harus memulai pembicaraan agar suasana tidak canggung saat membahas kejadian semalam.June naik ke atas sambil menghitung anak tangga. Setiap lantai ada sebelas anak tangga, jadi ketika hitungannya sampai tiga puluh.Bagaimanapun juga, seseorang harus lebih dulu membuka mulutnya.Namun, ketika hitungannya baru sampai dua puluh, Renaria lebih dulu berbicara.“June, semalam aku benar-benar tidak apa-apa. Aku hanya mabuk, lalu tertidur lama begitu sampai di rumah.”June tidak menjawab.“June, kau tahu tidak, besok aku sudah bisa mulai bekerja.”Saat mengatakan itu, wajah Rena







