LOGINMeski sudah mendapatkan pekerjaan, tapi gajinya belum turun.
Sepulangnya ke rumah, Renaria menatap kosong ke arah kulkas yang melompong, Masih ada satu bulan lagi sebelum gajian, bagaimana ia bisa bertahan hidup sampai saat itu? Di dalam kulkas hanya tersisa satu bungkus mi instan. Renaria memang tidak suka memasak. Menurutnya, yang paling menyebalkan dari memasak adalah mencuci piring setelahnya. Ia sempat berpikir untuk pulang ke rumah orang tuanya dan menumpang makan, tapi memikirkan bahwa sudah lulus kuliah masih harus makan di rumah orang tua, rasanya terlalu memalukan. Dulu, dia pernah dengan percaya diri berkata kepada Ayah dan Ibunya bahwa tanpa bantuan mereka pun, ia bisa mendapatkan pekerjaan yang baik. Ayah, Ibu, tahukah kalian… putri kalian hampir mati kelaparan di kamar kontrakannya sendiri? Saat itu, telepon dari June masuk. “Gadis bodoh, Akhirnya kau angkat juga teleponku! Aku sudah meneleponmu berkali-kali, tapi kau tidak mengangkatnya?!” Bagi orang yang tidak tahu, suara itu mungkin terdengar seperti istri sah yang sedang menelpon pelakor. June memang seperti istri sah yang galak. Bisa dibayangkan wajahnya di seberang sana, berkacak pinggang sambil marah-marah, sementara Renaria di sisi lain terlihat lemah dan tak berdaya, seperti pelakor yang takut kena tampar. Saat ini, June sudah kembali menunjukkan sisi garangnya sebagai perempuan tangguh. Suaranya keras sampai membuat ponsel di tangan Renaria hampir terjatuh ke lantai. Harimau betina sedang mengamuk! Kalau June marah, dia tidak akan memanggilnya “Rena”, melainkan Gadis bodoh , Entah kenapa, Renaria juga tidak mengerti kenapa temannya itu punya kebiasaan aneh seperti itu. Ia hanya bisa berkedip polos dengan ekspresi tak berdaya, lalu dengan nada manja mencoba memperbaiki kesalahan temannya seperti biasa. “June, itu… namaku Renaria, bukan Gadis bodoh.” “Kalau aku bilang kau Gadis bodoh, ya berarti kau Gadis bodoh!” jawab June dengan nada kesal di seberang sana. “Baiklah, Apapun mau mu,” ucap Renaria pasrah. Ia tak punya tenaga untuk berdebat dengan June yang sudah kenyang, sementara dirinya sendiri masih lapar. Mendengar suara Renaria yang lemah tak bersemangat, June merasa aneh. Biasanya, Renaria akan membantah keras kalau soal nama panggilan ini. Kenapa kali ini dia malah cepat menyerah? “Baiklah, Rena. Sekarang katakan dengan jujur, semalam kau ke mana? Kenapa tiba-tiba menghilang tanpa sepatah kata pun?” Nada suara June berubah begitu cepat. Baru saja terdengar seperti musuh bebuyutan, kini mendadak berubah lembut seperti kakak perempuan yang penuh kasih, manis, lembut, dan sedikit menggoda. Namun, di telinga Renaria, suara lembut itu justru terdengar seperti mengandung ancaman tersembunyi. Dia memang pergi diam-diam semalam, itu benar. Tapi bagaimana bisa dia menjelaskan bahwa dirinya malah pingsan dan entah bagaimana “dimakan” oleh seorang pria asing? Memikirkan hal itu saja sudah membuat suasana hatinya memburuk. Ia ingin berbohong, tapi tidak tega melakukannya pada June. Jadi, Renaria hanya diam di ujung telepon, tak tahu harus bicara apa. June sempat mengira sambungannya terputus. Namun, melihat durasi panggilan yang terus berjalan di layar, ia tahu telepon itu belum mati. Tapi karena tak ada suara sama sekali, June mulai merasa ada yang tidak beres. Suaranya langsung naik satu oktaf. “Gadis bodoh! Cepat bicara! Jangan pura-pura menghilang! Aku tahu di mana kau tinggal, kalau perlu aku datangi sekarang juga dan seret kau keluar!” Nada bicaranya terdengar panik. Semalam, Renaria memang diajaknya ke bar. June sangat tahu seperti apa dunia malam di tempat itu. Hanya saja, setelah Renaria keluar sebentar dan tak kembali, dia sendiri sudah terlalu mabuk untuk menyadarinya. Kalau sampai sesuatu benar-benar terjadi pada Renaria… June tak akan pernah memaafkan dirinya sendiri. June panik. “Rena bisakah kau bicara, tolong?” suaranya hampir terdengar seperti sedang memohon. Nada suara June membuat hati Renaria sedikit luluh. “Tidak mau bicara, ya? Kalau begitu aku akan datang ke sana sekarang juga!” Namun, Renaria tetap diam. Mendengar tak ada jawaban, June akhirnya mengucapkan ancaman kecil dengan nada kesal. Baru saja Renaria hendak berkata, “Tidak usah…,” suara mesin mobil di seberang sana sudah terdengar. “Gadis bodoh, dua puluh menit lagi aku sampai. Buka pintu ketika aku tiba di bawah, ya. Aku tutup dulu teleponnya…” Lalu terdengar nada sambungan terputus: tut… tut… tut… Renaria menurunkan ponsel dari telinganya, merasa lemah di seluruh tubuh. Kejadian semalam, ia benar-benar tak ingin June mengetahuinya. Namun, di sisi lain, ia juga tak ingin membuat sahabatnya itu terlalu khawatir. Karena ia tahu, jika June tahu apa yang terjadi, dia pasti akan sangat menyalahkan diri sendiri. June mengemudi dengan kecepatan tinggi. Ketika melewati daerah tempat tinggal Renaria, pandangannya tertuju pada sebuah apotek di pinggir jalan. Ia sempat ragu sejenak, lalu memarkirkan mobil di depan toko. Jujur saja, sejak kecil June paling takut dengan tempat seperti rumah sakit dan apotek. Tapi begitu teringat bahwa Renaria mungkin mengalami sesuatu yang buruk tadi malam, ia menggertakkan gigi dan memberanikan diri masuk. Begitu melangkah ke dalam, seorang pramuniaga laki-laki yang masih muda langsung menyambutnya dengan senyum cerah. “Nona, apa saya bisa membantu Anda?” tanyanya ramah. June hanya menggeleng pelan. Wajahnya dingin, ia langsung berjalan menuju deretan rak obat. Pemuda itu masih berdiri di dekat pintu, senyumnya perlahan memudar. June berjalan dari satu rak ke rak lainnya, mengambil berbagai macam obat: obat flu, penurun demam, dan banyak barang lain yang sebenarnya tidak ia perlukan. Setelah itu barulah ia mulai mencari obat yang benar-benar ingin dibelinya. Akhirnya, di sudut rak yang agak tersembunyi, ia menemukan kotak obat yang dimaksud. Tangannya sedikit gemetar saat menggenggamnya erat, telapak tangannya sampai berkeringat. Saat ia menuju kasir, toko tidak terlalu ramai, tapi tetap ada tiga atau empat orang yang mengantre. Kasirnya adalah seorang wanita paruh baya, bekerja cekatan, menerima uang, mencetak struk, lalu memberi kembalian. Di depan June berdiri seorang pria setengah baya dengan wajah mesum. Di tangannya ada obat yang sama persis dengan milik June, plus satu kotak kondom. Ia berdiri dengan santai, sama sekali tak berusaha menyembunyikannya. June melihat jelas tatapan jijik dari kasir wanita itu ketika melayani pria tersebut. Mungkin memang banyak orang yang memandang rendah tindakan seperti itu. Pria itu bisa saja bertingkah tanpa malu, tapi June tidak. Meski tampak kuat di luar, sesungguhnya ia tetap seorang perempuan yang berhati lembut dan mudah malu. Ketika gilirannya tiba, June mengeluarkan tumpukan obat dari keranjang belanja. Lalu, sambil menunggu orang lain tidak memperhatikan, ia dengan cepat meletakkan kotak obat yang “itu” di atas meja kasir. Rasanya seperti sedang melakukan kejahatan kecil. Namun, ia berusaha tetap tenang, pura-pura biasa saja saat mengambil dompetnya. Awalnya, wajah kasir wanita itu tampak ramah, tapi begitu melihat kotak obat di antara barang-barang June, ekspresinya berubah aneh. Ia melirik June sekilas, lalu dengan nada dingin berkata, “18 Dollar, terima kasih.” Wajah June terasa panas. Ia menyerahkan uang dengan cepat, lalu segera menyelipkan kotak obat itu ke bagian paling bawah kantong belanjaannya. Begitu keluar dari apotek, ia mendengar kasir wanita itu bergumam pelan, “Anak-anak zaman sekarang, makin lama makin tak tahu malu saja.” June tak menunjukkan ekspresi apa pun. Ia hanya membuka pintu mobil, masuk ke kursi pengemudi, dan menutup pintunya rapat-rapat. Namun, begitu berada di dalam mobil, di mana tak ada seorang pun yang bisa melihatnya, ia nyaris menangis. Melihat jam di pergelangan tangannya, ia sadar sudah lewat dua puluh menit. Renaria pasti sudah menunggunya di bawah. Menghela napas dalam-dalam, June menyalakan mesin mobil dan melaju cepat menuju rumah Renaria.Kekuatan genggaman Marcell terlalu besar hingga membuat lengan Renaria terasa nyeri.Wajah mungil Renaria mengerut kesakitan, ia berusaha melepaskan diri.“Kamu mau bangun sendiri, atau harus aku cium dulu baru kamu mau bangun?”Marcell menatap wajah Renaria sambil mengucapkan ancaman itu.“Tidak mau!” Karena lengannya sakit, Renaria pun mulai kesal. Ia membalas dengan nada keras, menolak untuk mengalah.Sejak kecil, bahkan Ayah dan Ibunya tidak pernah memarahinya.Semakin ia memikirkannya, semakin terasa perih di hatinya. Kenapa lelaki itu begitu galak padanya, bahkan berulang kali mengancam? Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya.Marcell yang melihat air mata di sudut mata Renaria tiba-tiba menjadi panik.Awalnya, ia hanya berniat menakut-nakuti gadis itu. Tak disangka, gadis kecil itu malah benar-benar menangis.Entah mengapa, Melihat tangisannya membuat hatinya terasa lembut dan hangat.Ia menyesal sudah memarahinya barusan.Dengan lembut, Marcell mengusap air mata di wajah
Wajah Renaria semakin memerah, suaranya terdengar penuh amarah.“Siapa yang mengizinkanmu menciumku!”Marcell tahu, gadis kecil di depannya ini sedang malu.Terus terang, aroma tubuhnya sungguh memikat—lembut, manis seperti es krim vanila.Bukan seperti wanita lain yang selalu diselimuti bau parfum menyengat.Seandainya gadis kecil itu tidak menggigitnya sampai sakit, mungkin ia belum akan melepaskannya.Namun sekarang, si kucing kecil itu sudah menunjukkan cakarnya.Kalau ia terus menekan lebih jauh, mungkin benar-benar akan menakuti si kecil ini.Jadi, Dia dengan santai ia menggesekkan kartu akses di pintu.Bip!“Selama kau belum memberiku Seratus lima puluh ribu dollar, kau harus tetap tinggal di Grup Imperial.”Marcell mengelus kepala Renaria pelan, nada suaranya terdengar lembut namun tetap mengandung peringatan.Renaria dengan jengkel menepis tangannya.Marcell malah melangkah lebih dekat, mendekat ke arahnya.Renaria segera mundur satu langkah, menempel ke pintu seperti hendak
Yakup membuka pintu dan membiarkan Renaria masuk sendiri.Karena Yakup tidak ikut masuk, Renaria merasa agak gugup. Setiap langkahnya ia ambil dengan hati-hati.Dekorasi di dalam ruangan itu jauh lebih mewah. Ada jendela besar dari lantai hingga ke langit-langit, karpet hitam, dan sebuah layar putih raksasa.Renaria merasa seolah dirinya melangkah ke dunia yang hanya memiliki dua warna, hitam dan putih.Ia pernah mendengar, orang yang hanya menyukai warna hitam dan putih biasanya adalah orang kolot. Terbayang olehnya wajah pria di dalam lift tempo hari, datar dan kaku, memang benar-benar seperti orang kuno.Begitu melangkah lebih jauh, ia melihat meja kerja dari kayu hitam pekat. Di sampingnya, sebuah kursi tinggi berwarna hitam menghadap membelakanginya.“Permisi, saya karyawan baru, Renaria,” ucapnya sopan saat tiba di depan meja kerja itu.Kursi tinggi itu perlahan berputar, memperlihatkan sosok pria yang hari itu ia lihat di dalam lift.Dialah atasannya yang baru, Marcell. Ia bers
Meskipun sebenarnya tidak begitu menyukai Celina, Renaria tetap menyapa dengan ramah.Namun, Celina yang angkuh itu hanya melirik sekilas dan sama sekali tidak menanggapi. Bahkan, ia tidak mengucapkan sepatah kata pun, seolah-olah Renaria hanyalah udara.Benar-benar wanita yang sombong, pikir Renaria.Ia memang tidak suka bergaul dengan orang seperti itu, tipe yang selalu menjadikan dirinya pusat segalanya, merasa diri paling hebat, dan memandang rendah orang lain.Ketika Celina tidak menanggapi sapaan itu, Yakup, yang baru keluar dari kantor, justru tersenyum ramah dan menyapa Renaria.“Wah, ini dia kerabat jauhnya Presiden kita,” gumam beberapa karyawan yang melihatnya.Sejak kemarin, Yakup memang masih bertanya-tanya tentang hubungan antara Renaria dan Marcell.Akhirnya, Yakup menyimpulkan sendiri: Mungkin saja dia kerabat jauhnya Presiden.Melihat Yakup menyapa Renaria begitu ramah, hati Celina jadi tidak tenang.Namun Yakup sama sekali tidak menoleh padanya, hingga Celina dengan
Turun dari bus, masih harus berjalan sekitar lima belas menit lagi untuk sampai ke Gedung Komersial Imperial.Karena waktu sudah hampir menunjukkan pukul sepuluh, dan ia takut terlambat, Renaria mempercepat langkahnya.Saat menyeberang jalan, lampu hijau baru saja berubah menjadi merah. Sebuah mobil melaju lurus ke arahnya dengan kecepatan tinggi.Mobil itu melaju sangat cepat. Ketika sopirnya melihat Renaria, ia bahkan sempat membunyikan klakson berkali-kali.Saat berusaha menghindar, Renaria malah menginjak udara kosong dan jatuh di trotoar.Waktu itu, jalanan tidak terlalu ramai.Tubuhnya terhempas keras hingga kepalanya terasa berputar, bahkan kacamatanya jatuh dan pecah di atas aspal.Untungnya, ia masih selamat. Hanya saja, lututnya sedikit lecet dan terasa perih.Mobil itu pun berhenti di depan.Seorang pria paruh baya yang mengenakan kacamata hitam turun dari kursi pengemudi. Dagu pria itu terangkat tinggi, dengan ekspresi penuh kesombongan.Melihat Renaria terjatuh di tanah,
Dari kejauhan, June sudah melihat Renaria berdiri di bawah gedung rumahnya.Tubuh Renaria tampak sangat kurus, seolah bisa tertiup angin dan terbang begitu saja.June memarkir mobilnya, lalu turun sambil membawa sekantong besar barang.Renaria tidak terlalu memperhatikan apa yang dibawa June.Rumah Renaria berada di lantai tiga.Saat mereka menaiki tangga, suasana terasa sunyi.Keduanya sama-sama berpikir, bagaimana harus memulai pembicaraan agar suasana tidak canggung saat membahas kejadian semalam.June naik ke atas sambil menghitung anak tangga. Setiap lantai ada sebelas anak tangga, jadi ketika hitungannya sampai tiga puluh.Bagaimanapun juga, seseorang harus lebih dulu membuka mulutnya.Namun, ketika hitungannya baru sampai dua puluh, Renaria lebih dulu berbicara.“June, semalam aku benar-benar tidak apa-apa. Aku hanya mabuk, lalu tertidur lama begitu sampai di rumah.”June tidak menjawab.“June, kau tahu tidak, besok aku sudah bisa mulai bekerja.”Saat mengatakan itu, wajah Rena







