Share

Celaka!

Baru selesai menyapu teras dan menyiramnya dengan air bekas mengepel rumah, sepasang sepatu kulit hitam berada tepat di depan pagar.

Perlahan aku menaikkan kepalaku dan langsung bersitatap dengan duda beranak satu yang bernama Aiman itu.

Bah..besar juga nyalinya datang ke sini lagi.

Orangnya padahal ganteng, tapi pelit senyum. Sudah tahu ada maksud datang ke rumah, menyapaku dengan senyuman pun tidak. Masih lebih enak dilihat wajah anaknya daripada bapaknya. Kalau tidak salah namanya Gala. Anak kecil itu begitu turun dari buaian bapaknya, langsung menerobos memeluk kakiku. Aku cuma bisa nyengir sambil mendengarkan celotehannya.

"Kak Mela! Gala main sini lagi yah," pintanya.

"Eh..kok tahu nama kakak?" Aku melirik sinis ke bapaknya.

"Tahu dong. Kan papa yang ngasih tahu!"

Aku berlutut untuk menyetarakan tubuhku padanya. Bocah itu nyengir sambil kucium wangi bedak bayi yang terkeluar dari badannya. Sepertinya dia sudah mandi. Beda sekali denganku yang bangun tidur langsung ditugaskan untuk membersihkan rumah. Sekarang aku risih sendiri. Jangan-jangan dari tempat Aiman berdiri, dia sudah mencium bau yang tak sedap keluar dari tubuhku.

"Oh gitu."

"Gala senang main di sini. Kemarin katanya kamu yang ajak dia main," kata Aiman yang sama sekali tidak kugubris.

Aku tahu! Pasti modus buat baik-baikin aku supaya anaknya bisa dititipkan di sini, omelku dalam hati.

"Ya gimana yah. Kasihan kayak anak hilang. Kalau langsung ketemu bapaknya kemarin mungkin sudah kulabrak," omelku lagi.

Orang yang kuomeli malah menyunggingkan sudut bibirnya sambil berjalan mendekatiku. Kini dia berdiri di depanku dengan Gala sebagai pembatas. Sudah terbayang bagaimana nekatnya pria ini mendekatiku kan? Apalagi wangi musk colognenya yang buat kakiku lemas. Sial! Kemarahanku menguap begitu melihatnya dari dekat.

"Labrak aja. Saya ikhlas kok," tukasnya santai sambil menatapku lekat-lekat.

Kenapa aku gemetaran begini? Dia cuma berdiri dan beradu pandang denganku, tapi kenapa aku cemas, keringetan, tremor seperti ini?

Apalagi penampilannya tetap konsisten terlihat rapi dan maskulin seperti kemarin. Beliau hari ini mengenakan kemeja biru pastel dengan kancing dua yang sengaja dilepas. Celana beige halus licin seperti baru keluar dari laundry. Benar-benar penampilan yang berbeda dari kebanyakan polisi. Dia malah lebih mirip anggota parlemen atau CEO yang punya perusahaan-perusahaan besar.

Secepatnya aku istighfar karena tak mau tergoda oleh godaan syaitan duda sepertinya. Aku mulai mundur satu langkah sambil menyeret anaknya juga.

“Patuhi prokes pak. Jaga jarak.”

Aiman tertawa, “Oh iya. Saya lupa. Tapi kamu juga nggak pakai masker. Saya punya satu lagi,” senyumnya sambil mengenakan kembali maskernya lalu mencoba memberikanku satu masker lainnya. Aku menghindar dengan cepat.

“Eits! Nggak apa pak. Saya punya banyak.”

Aiman menggaruk-garukkan kepalanya sambil tersenyum. Kemudian ia menarik Gala dan menggendongnya kembali.

“Kemarin saya sudah ijin sama ibu kamu. Tapi saya akan minta tolong langsung saja sama kamu. Beneran deh Gala yang ngotot minta ke sini karena dia mau main layangan katanya sama kamu. Jadi --”

“Bapak punya modus terselubung, kan?”

“Nggak Mel,” elaknya. Aku tetap tidak percaya padanya.

Aku mencoba menjadi pakar ekspresi untuk melihat apakah Aiman tengah berbohong atau tengah menggombal. Karena bisa saja kan, manusia itu berkata-kata manis saja saat meminta pertolongan.

“Mel! Mela!“

Aku tersadar saat tangan pakpol Aiman itu melambai di wajahku.

“Ya sudah. Sini anaknya.”

"Saya nggak berniat buruk kok.”

Aku melayangkan tatapan sinis kepadanya, "Kenapa harus ke saya?"

"Karena Gala yang minta."

"Kalau saya nggak mau? Gimana?"

Aiman diam tapi itu bukan berarti dia tidak tebar pesona. Justru saat dia diam, aura dudanya semakin terpancar.

“Saya tetap paksa kamu buat mau,” jawabnya enteng.

Kalau beliau bukan polisi, mungkin sapu ini sudah melayang ke arahnya!

Aiman akhirnya pergi setelah selesai berpamitan pada anaknya yang super duper senang saat kugendong. Aku pun segera membawa Gala masuk sambil menunggu ibu pulang mengantarkan pesanan.

“Gala udah makan?”

Anak itu menganggukan kepalanya. Dia tampak antusias melihat isi di rumah ini.

“Kalau gitu Gala mau main apa?”

“Layangan,” jawabanya lebih semangat lagi.

“Ya udah. Kak Mel mandi dulu, nanti kita main layangan, oke?”

Gala meniru bentuk tanganku. Aku senang dia anak yang penurut dan tidak banyak membantah. Sehingga seharian ini aku benar-benar menghabiskan waktu dengan anak kesayangan polisi itu.

***

“Gala udah tidur?”

“Udah bu.”

Jam menunjukkan pukul delapan. Karena terlalu lelah bermain, Gala tidur lebih cepat dari jadwal yang papanya berikan.

Sungguh papa yang disiplin. Anaknya saja sudah diatur jam tidur sampai makannya. Tapi juga kasihan. Apa seperti itu malah mengekang anak kecil?

“Terus kamu jadi pergi?”

Ibu melihatku sedang merapikan baju. Sesuai ajakan dari mas Adi dan temanku yang lain, malam ini kami bermaksud merayakan pesta kecil kelulusanku.

“Jadi dong buk. Donita juga ikut kok.”

“Udah bilang sama bapak?”

“Udah tadi sebelum bapak pergi ke mesjid.”

Suara sepeda motor terdengar di depan pagar. Aku segera beranjak ke sana setelah berpamitan dengan ibu. Terlihat sekali ibu ingin mencegahku pergi. Tapi dengan jurus mengelakku, aku berhasil pergi dengan mas Adi yang selesai memperkenalkan diri dengan ibu.

Kota Medan memang tidak seluas dan sebagus Jakarta. Tapi pelan-pelan, kota ini mulai membenahi diri. Lihat saja proyek tol baru bertebaran yang tengah kejar tayang. Bukan tidak mungkin propinsi ini juga akan berkembang layaknya pulau jawa.

Mas Adi memberhentikan sepeda motornya di sebuah tempat yang belum pernah kudatangi. Tempat itu cukup terdengar riuh dari luar karena musiknya yang kencang. Kami berdua menunggu kedatangan yang lainnya di tempat ini karena mereka yang tinggal cukup berjauhan.

“Ini tempat apa?”

“Diskotik,” bisik mas Adi.

Aku berjengit, “Heh! Ngapain kita ke diskotik?”

Mas Adi malah terkekeh melihatku terkejut, “Nggak Mel. Kita nggak masuk. Cuma nunggu Rian yang bentar lagi selesai kerja.”

Aku ber-oh ria mendengar jawaban mas Adi. Cukup masuk akal kenapa kami berkumpul di sini. Tak lama, Rian benar-benar keluar dari diskotik lalu menghampiri kami. Begitu pula dengan rombongan teman yang lainnya.

Baru saja semua turun dan saling tegur sapa, suara sirine polisi masuk ke parkiran diskotik. Kami semua bingung karena mereka layaknya banser yang tengah mengintai teroris. Berpakaian lengkap dengan senjata laras panjang. Kami semua juga tak luput dari pemeriksaan, padahal kami berada di luar diskotik.

Perasaanku mulai tak enak karena kami diharuskan tes segala macam. Kalau ini sampai ke telinga bapak, bisa mati aku.

“Ini kenapa jadi begini?” keluhku dan Donita.

“Nggak apa-apa. Kita kan nggak masuk,” tukas Mas Adi yang mencoba menenangkan aku yang mulai bingung.

Ya jelas bingung lah. Pertama kali lihat yang namanya diskotik, malah terjaring razia pak polisi. Padahal kami tidak masuk sama sekali. Menyenggol lantainya pun tidak.

“Kalian dari mana?” salah satu polisi mulai menginterogasi.

“Dari rumah nunggu teman selesai kerja di sini pak,” jawab Jaka selaku penanggung jawab acara yang mau kami datangi.

“Siapa yang kerja di sini?”

“Saya pak,” jawab Rian.

Aku sendiri sibuk memperhatikan sekitar. Atensiku jatuh pada banyak orang yang dipaksa keluar dari diskotik untuk melakukan pemeriksaan juga seperti kami. Bau alcohol langsung menyeruak dari tubuh mereka. Aku sampai pusing sendiri karena tak terbiasa menciumnya.

“Masih ada yang sekolah?”

“Nggak ada pak. Kami semua sudah lulus.”

“Ada apa?”

Datang seorang lagi polisi yang terlihat memiliki pangkat lebih tinggi daripada yang lainnya. Aku mulai cemas karena masalah ini belum juga terselesaikan. Padahal kami sama sekali tidak masuk ke dalamnya, tapi pemeriksan urine tetap dilakukan.

“Mereka ada yang baru saja lulus sekolah pak dan didapati berada di diskotik ini.”

“Benar kalian cuma menunggu di luar? Tidak masuk ke dalam?”

“Benar pak!” jawab kami kompak. Donita yang paling kencang menyuarakannya. Dia juga tampak seperti ingin menangis.

“Yang bener? Dua teman kalian terbukti positif minum dan pemakai loh,” ucapnya gamblang.

Mampus! Masalahnya jadi semakin serius. Rasanya mau nangis. Tapi ….pantang bagiku menangis kalau bukan benar-benar merasa tersakiti. Untuk saat ini, aku masih bisa mengendalikan diri.

“Tapi pak..kami kan negative.”

“Iya, tapi kalian tetap harus diperiksa dan menghubungi orang tua atau wali kalian untuk menjemput kalian di kantor.”

“Waduh! Pak! Kami kan tidak terlibat,” suaraku sedikit meninggi. Emosi mulai bersarang di dadaku meski aku tahu ini salah.

Aku segera mundur lagi lalu berdiri di balik punggung mas Adi. Mendengar protesku, teman-temanku yang lain juga menyuarakan hal yang sama. Aku melihat polisi yang kuprotes kebijakannya itu datang mendekatiku. Ia membaca kartu tanda pendudukku kemudian membuka maskernya. Aku terperangah saat tahu sedang berhadapan dengan siapa.

“Kamu bilang punya banyak masker di rumah, kenapa keluar malam tanpa masker?”

Aku menelan ludah dengan susah payah, “Om….Aiman –“

Orang yang kusebut namanya malah nyengir melihatku. Dia dengan sengaja mendekatkan wajahnya padaku yang langsung tertunduk begitu melihatku pucat pasih.

Om sompret satu ini, pasti senang melihatku menderita!

                                 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status