Baru selesai menyapu teras dan menyiramnya dengan air bekas mengepel rumah, sepasang sepatu kulit hitam berada tepat di depan pagar.
Perlahan aku menaikkan kepalaku dan langsung bersitatap dengan duda beranak satu yang bernama Aiman itu.
Bah..besar juga nyalinya datang ke sini lagi.
Orangnya padahal ganteng, tapi pelit senyum. Sudah tahu ada maksud datang ke rumah, menyapaku dengan senyuman pun tidak. Masih lebih enak dilihat wajah anaknya daripada bapaknya. Kalau tidak salah namanya Gala. Anak kecil itu begitu turun dari buaian bapaknya, langsung menerobos memeluk kakiku. Aku cuma bisa nyengir sambil mendengarkan celotehannya.
"Kak Mela! Gala main sini lagi yah," pintanya.
"Eh..kok tahu nama kakak?" Aku melirik sinis ke bapaknya.
"Tahu dong. Kan papa yang ngasih tahu!"
Aku berlutut untuk menyetarakan tubuhku padanya. Bocah itu nyengir sambil kucium wangi bedak bayi yang terkeluar dari badannya. Sepertinya dia sudah mandi. Beda sekali denganku yang bangun tidur langsung ditugaskan untuk membersihkan rumah. Sekarang aku risih sendiri. Jangan-jangan dari tempat Aiman berdiri, dia sudah mencium bau yang tak sedap keluar dari tubuhku.
"Oh gitu."
"Gala senang main di sini. Kemarin katanya kamu yang ajak dia main," kata Aiman yang sama sekali tidak kugubris.
Aku tahu! Pasti modus buat baik-baikin aku supaya anaknya bisa dititipkan di sini, omelku dalam hati.
"Ya gimana yah. Kasihan kayak anak hilang. Kalau langsung ketemu bapaknya kemarin mungkin sudah kulabrak," omelku lagi.
Orang yang kuomeli malah menyunggingkan sudut bibirnya sambil berjalan mendekatiku. Kini dia berdiri di depanku dengan Gala sebagai pembatas. Sudah terbayang bagaimana nekatnya pria ini mendekatiku kan? Apalagi wangi musk colognenya yang buat kakiku lemas. Sial! Kemarahanku menguap begitu melihatnya dari dekat.
"Labrak aja. Saya ikhlas kok," tukasnya santai sambil menatapku lekat-lekat.
Kenapa aku gemetaran begini? Dia cuma berdiri dan beradu pandang denganku, tapi kenapa aku cemas, keringetan, tremor seperti ini?
Apalagi penampilannya tetap konsisten terlihat rapi dan maskulin seperti kemarin. Beliau hari ini mengenakan kemeja biru pastel dengan kancing dua yang sengaja dilepas. Celana beige halus licin seperti baru keluar dari laundry. Benar-benar penampilan yang berbeda dari kebanyakan polisi. Dia malah lebih mirip anggota parlemen atau CEO yang punya perusahaan-perusahaan besar.
Secepatnya aku istighfar karena tak mau tergoda oleh godaan syaitan duda sepertinya. Aku mulai mundur satu langkah sambil menyeret anaknya juga.
“Patuhi prokes pak. Jaga jarak.”
Aiman tertawa, “Oh iya. Saya lupa. Tapi kamu juga nggak pakai masker. Saya punya satu lagi,” senyumnya sambil mengenakan kembali maskernya lalu mencoba memberikanku satu masker lainnya. Aku menghindar dengan cepat.
“Eits! Nggak apa pak. Saya punya banyak.”
Aiman menggaruk-garukkan kepalanya sambil tersenyum. Kemudian ia menarik Gala dan menggendongnya kembali.
“Kemarin saya sudah ijin sama ibu kamu. Tapi saya akan minta tolong langsung saja sama kamu. Beneran deh Gala yang ngotot minta ke sini karena dia mau main layangan katanya sama kamu. Jadi --”
“Bapak punya modus terselubung, kan?”
“Nggak Mel,” elaknya. Aku tetap tidak percaya padanya.
Aku mencoba menjadi pakar ekspresi untuk melihat apakah Aiman tengah berbohong atau tengah menggombal. Karena bisa saja kan, manusia itu berkata-kata manis saja saat meminta pertolongan.
“Mel! Mela!“
Aku tersadar saat tangan pakpol Aiman itu melambai di wajahku.
“Ya sudah. Sini anaknya.”
"Saya nggak berniat buruk kok.”
Aku melayangkan tatapan sinis kepadanya, "Kenapa harus ke saya?"
"Karena Gala yang minta."
"Kalau saya nggak mau? Gimana?"
Aiman diam tapi itu bukan berarti dia tidak tebar pesona. Justru saat dia diam, aura dudanya semakin terpancar.
“Saya tetap paksa kamu buat mau,” jawabnya enteng.
Kalau beliau bukan polisi, mungkin sapu ini sudah melayang ke arahnya!
Aiman akhirnya pergi setelah selesai berpamitan pada anaknya yang super duper senang saat kugendong. Aku pun segera membawa Gala masuk sambil menunggu ibu pulang mengantarkan pesanan.
“Gala udah makan?”
Anak itu menganggukan kepalanya. Dia tampak antusias melihat isi di rumah ini.
“Kalau gitu Gala mau main apa?”
“Layangan,” jawabanya lebih semangat lagi.
“Ya udah. Kak Mel mandi dulu, nanti kita main layangan, oke?”
Gala meniru bentuk tanganku. Aku senang dia anak yang penurut dan tidak banyak membantah. Sehingga seharian ini aku benar-benar menghabiskan waktu dengan anak kesayangan polisi itu.
***
“Gala udah tidur?”
“Udah bu.”
Jam menunjukkan pukul delapan. Karena terlalu lelah bermain, Gala tidur lebih cepat dari jadwal yang papanya berikan.
Sungguh papa yang disiplin. Anaknya saja sudah diatur jam tidur sampai makannya. Tapi juga kasihan. Apa seperti itu malah mengekang anak kecil?
“Terus kamu jadi pergi?”
Ibu melihatku sedang merapikan baju. Sesuai ajakan dari mas Adi dan temanku yang lain, malam ini kami bermaksud merayakan pesta kecil kelulusanku.
“Jadi dong buk. Donita juga ikut kok.”
“Udah bilang sama bapak?”
“Udah tadi sebelum bapak pergi ke mesjid.”
Suara sepeda motor terdengar di depan pagar. Aku segera beranjak ke sana setelah berpamitan dengan ibu. Terlihat sekali ibu ingin mencegahku pergi. Tapi dengan jurus mengelakku, aku berhasil pergi dengan mas Adi yang selesai memperkenalkan diri dengan ibu.
Kota Medan memang tidak seluas dan sebagus Jakarta. Tapi pelan-pelan, kota ini mulai membenahi diri. Lihat saja proyek tol baru bertebaran yang tengah kejar tayang. Bukan tidak mungkin propinsi ini juga akan berkembang layaknya pulau jawa.
Mas Adi memberhentikan sepeda motornya di sebuah tempat yang belum pernah kudatangi. Tempat itu cukup terdengar riuh dari luar karena musiknya yang kencang. Kami berdua menunggu kedatangan yang lainnya di tempat ini karena mereka yang tinggal cukup berjauhan.
“Ini tempat apa?”
“Diskotik,” bisik mas Adi.
Aku berjengit, “Heh! Ngapain kita ke diskotik?”
Mas Adi malah terkekeh melihatku terkejut, “Nggak Mel. Kita nggak masuk. Cuma nunggu Rian yang bentar lagi selesai kerja.”
Aku ber-oh ria mendengar jawaban mas Adi. Cukup masuk akal kenapa kami berkumpul di sini. Tak lama, Rian benar-benar keluar dari diskotik lalu menghampiri kami. Begitu pula dengan rombongan teman yang lainnya.
Baru saja semua turun dan saling tegur sapa, suara sirine polisi masuk ke parkiran diskotik. Kami semua bingung karena mereka layaknya banser yang tengah mengintai teroris. Berpakaian lengkap dengan senjata laras panjang. Kami semua juga tak luput dari pemeriksaan, padahal kami berada di luar diskotik.
Perasaanku mulai tak enak karena kami diharuskan tes segala macam. Kalau ini sampai ke telinga bapak, bisa mati aku.
“Ini kenapa jadi begini?” keluhku dan Donita.
“Nggak apa-apa. Kita kan nggak masuk,” tukas Mas Adi yang mencoba menenangkan aku yang mulai bingung.
Ya jelas bingung lah. Pertama kali lihat yang namanya diskotik, malah terjaring razia pak polisi. Padahal kami tidak masuk sama sekali. Menyenggol lantainya pun tidak.
“Kalian dari mana?” salah satu polisi mulai menginterogasi.
“Dari rumah nunggu teman selesai kerja di sini pak,” jawab Jaka selaku penanggung jawab acara yang mau kami datangi.
“Siapa yang kerja di sini?”
“Saya pak,” jawab Rian.
Aku sendiri sibuk memperhatikan sekitar. Atensiku jatuh pada banyak orang yang dipaksa keluar dari diskotik untuk melakukan pemeriksaan juga seperti kami. Bau alcohol langsung menyeruak dari tubuh mereka. Aku sampai pusing sendiri karena tak terbiasa menciumnya.
“Masih ada yang sekolah?”
“Nggak ada pak. Kami semua sudah lulus.”
“Ada apa?”
Datang seorang lagi polisi yang terlihat memiliki pangkat lebih tinggi daripada yang lainnya. Aku mulai cemas karena masalah ini belum juga terselesaikan. Padahal kami sama sekali tidak masuk ke dalamnya, tapi pemeriksan urine tetap dilakukan.
“Mereka ada yang baru saja lulus sekolah pak dan didapati berada di diskotik ini.”
“Benar kalian cuma menunggu di luar? Tidak masuk ke dalam?”
“Benar pak!” jawab kami kompak. Donita yang paling kencang menyuarakannya. Dia juga tampak seperti ingin menangis.
“Yang bener? Dua teman kalian terbukti positif minum dan pemakai loh,” ucapnya gamblang.
Mampus! Masalahnya jadi semakin serius. Rasanya mau nangis. Tapi ….pantang bagiku menangis kalau bukan benar-benar merasa tersakiti. Untuk saat ini, aku masih bisa mengendalikan diri.
“Tapi pak..kami kan negative.”
“Iya, tapi kalian tetap harus diperiksa dan menghubungi orang tua atau wali kalian untuk menjemput kalian di kantor.”
“Waduh! Pak! Kami kan tidak terlibat,” suaraku sedikit meninggi. Emosi mulai bersarang di dadaku meski aku tahu ini salah.
Aku segera mundur lagi lalu berdiri di balik punggung mas Adi. Mendengar protesku, teman-temanku yang lain juga menyuarakan hal yang sama. Aku melihat polisi yang kuprotes kebijakannya itu datang mendekatiku. Ia membaca kartu tanda pendudukku kemudian membuka maskernya. Aku terperangah saat tahu sedang berhadapan dengan siapa.
“Kamu bilang punya banyak masker di rumah, kenapa keluar malam tanpa masker?”
Aku menelan ludah dengan susah payah, “Om….Aiman –“
Orang yang kusebut namanya malah nyengir melihatku. Dia dengan sengaja mendekatkan wajahnya padaku yang langsung tertunduk begitu melihatku pucat pasih.
Om sompret satu ini, pasti senang melihatku menderita!
Perdebatan diantara keduanya masih berlanjut. Aku dan Gala memilih diam sambil mendengarkan suamiku dan mantan istrinya saling membahas masa lalu.“Enggak bisa. Kamu nggak bisa ikut.”“Kenapa nggak boleh sih, Mas? Kalau kalian pergi, terus aku gimana? Aku kan mau main bareng Gala hari ini.”Yeu…makannya ngasih kabar. Biar situ nggak sia-sia datang ke sini, batinku.“Makannya kamu ngasih kabar dulu. Jadi kamu nggak sia-sia datang ke sini,” tukas Aiman dengan nada tegas.Eh eh…..tumben kita kompak?“Ya….aku kan mau kasih surprise ke anak kita. Lagian kalau aku ikut juga nggak akan ganggu kok. Anggep saja aku nggak ada.” Susan masih bersikeras dengan kemauannya.Dia sengaja menekan kata ‘anak kita’ sambil menoleh padaku. Tak sengaja pula kuputar bola mataku – jengah padanya setelah mendengar janda pirang satu itu tengah tebar pesona. Entahlah. Aku menganggapnya seperti itu. Mungkin karena sesama wanita yah jadi aku bisa membaca tingkah lakunya yang tak biasa.Susan berdandan dengan supe
“Mama udah sehat?” tanya Gala begitu ia keluar dari kamarnya.Dengan piyama dinasaurus hijau kesukaannya, Gala datang memelukku yang sedang menyiapkan sarapan untuk keluarga kecil ini. Lebih tepatnya sih memanaskan makanan yang kemarin dibawa ibu mertua dan kakak ipar.“Lumayan. Gala sikat gigi dulu sana, habis itu bangunin papa terus kita sarapan.”“Papa sama mama udah nggak berantem, kan?” tanya Gala dengan tatapan memelas. Aih…apa dia masih kepikiran soal kemarin? Untung saja Gala nggak cerita soal pertengkaran kami pada Oma dan tantenya kemarin. Kalau tidak, mungkin kami sudah di sidang selama berjam-jam.Aku terdiam mendengar pertanyaan yang keluar dari bibir mungilnya itu. Well….aku tak bisa bilang bahwa kami sudah baik-baik saja. Justru tadi malam terjadi hal yang membuatku tercengang sampai-sampai om sompret itu ingin kutelan hidup-hidup.Setelah kejadian tersedak itu, Aiman mulai bertingkah aneh. Atau mungkin sebenarnya sudah aneh sejak aku sakit beberapa hari yang lalu. Ai
Note : Maaf ya gak bisa tepati janji buat double up. Karena aku juga nulis di tempat lain dan itu keteteran. Jadi aku update sehari sekali aja yah. Mianhe===Siapa yang tidak terkejut setelah mendengar pengakuan Aiman tentang status kami?Bagai petir di siang bolong, aku sumpahin giginya Aiman ompong!Tanpa babibu, aku langsung mendorong Aiman menjauh dari pembicaraan ini. Tapi apalah daya, tenagaku tak cukup kuat untuk mendorongnya yang memiliki tubuh atletis bak binaragawan yang pernah ia pamerkan padaku di malam pertama kami tinggal bersama.Akhirnya….aku hanya bisa misuh-misuh padanya sambil menyipitkan mata.“Mau kamu apa sih! Lagi-lagi keluar dari perjanjian!”“Perjanjian apa?” balas Aiman ikut berbisik.“Kan aku ngasih syarat ke kamu….jangan sampai status aku terbongkar di kampus!““Mel,” panggil kak Rendi yang tanpa sadar sudah kubuat seperti emping kering karena kelamaan dijemur.Tanpa sadar aku sudah menatap kak Rendi dengan pandangan iba, “Kak! Ini tuh –““Kamu nggak usah
Setelah berbulan-bulan di Jakarta, baru kali ini aku sakit.Ibu bilang, badanku ini penuh dengan zat besi, kalsium, vitamin dan segala macam karena ketangguhanku yang tak mudah sakit sejak kecil. Di saat anak-anak dulu sakit berjamaah terserang demam, cacar, campak dan segala macam, aku malah sehat walafiat karena imun yang kuat. Mungkin pernah beberapa kali kurang enak badan, namun pada akhirnya aku pasti lekas sembuh sampai tak perlu pergi ke klinik.Mungkin musim dan udara di Jakarta kurang cocok denganku. Buktinya… aku terserang penyakit yang bernama meriang hampir selama dua hari.Aku terserang batuk dan juga demam. Alhasil, aku tak bisa melakukan rutinitas seperti biasa termasuk menyiapkan keperluan Gala dan bapaknya.KLONTANG!Suara nyaring dari dapur terdengar begitu jelas. Aku yang berada di dalam kamar sambil selimutan pun terpaksa harus bangun karena suara berisik yang sejak tadi terdengar di area dapur.Itu bapak sama anak lagi eksperimen apa sih di dapur? Ngerakit bom kal
“Pacar? Emang kamu udah punya pacar?”Oooh! Ngeremehin ane rupanya?“Ya ada dong! Emang kamu aja yang boleh pacaran sama si tepos?”Aiman menaikkan sebelah alisnya.“Baru beberapa bulan kuliah, jangan pacaran dulu! Nanti aku laporin ke bapak kamu!”“Ishh mentang-mentang polisi mainnya lapor-laporan. Aku juga bisa…laporin kamu ke mama!”Aiman mulai komat-kamit seperti mbah dukun. Daripada aku semakin kesal karena terus menghadapinya, akupun beranjak pergi sambil menutup pintu cukup kencang di hadapannya. Tak lama Aiman menyusul sambil bertolak pinggang.“Mel! Saya belum selesai bicara!“Aku mengabaikannya dengan terus berjalan keluar rumah. Terlihat di luar pagar, kak Rendi menungguku muncul dengan senyuman yang selalu terlihat tulus daripada om sompret yang ada di belakangku itu. Dengan mobil antiknya, kak Rendi menghampiriku untuk membawakan tas ransel yang cukup padat isinya itu.“Kayak mau minggat aja Mel,” celetuknya yang sama persis seperti ucapan om sompret.“Kok kalimat kalian
Aiman keluar dari mobil setelah memutarinya.“Gala –““Oh….jadi ini tugas pentingnya sampai lupa buat jemput anak?”Mendengar ocehanku, Aiman menepuk keningnya sambil berlutut di depan anaknya untuk meminta maaf.“Maafin papa yah. Papa lupa dan hp papa lowbet lupa di cas.”“Hp mama juga lowbet, tapi mama inget Gala,” balas Gala yang membuatku cukup tercengang. Aku pikir Gala bukan anak yang suka membalas ucapan papanya. Ternyata dia cukup cerdas untuk menjawab.Bagus Gala! Marahin aja papa kamu itu!“Gala – maafin papa yah.”Gala memalingkan wajahnya sambil melipat kedua tangannya di dada. Selama Aiman tengah membujuk putra semata wayangnya, aku tengah awasi betina bernama Raline yang pernah meremehkanku karena tak pantas menjadi istri Aiman. Di dalam mobil ia terus berdiam diri sambil memperhatikan ayah dan anak tersebut. Sesekali pandangan kami bertemu namun dengan cepat dia memalingkan wajahnya.Dih! Pant*t tepos aja sok banget! Omelku dalam hati.“Makannya inget anak sama istri di