Share

Bab 5. Pulang kampung

ISTRI PERTAMA SUAMIKU 5

"Loh, suamimu gak ikut Nduk?" Tanya Ibu begitu aku turun dari mobil.

Aku hanya tersenyum, melirik ke kiri dan kanan, beberapa tetangga yang mengintip dan menatap ingin tahu melihatku datang mengendarai mobil yang cukup bagus bagi mereka. Livia si gadis kampung, sekarang sudah membawa mobil sendiri. Sayang aku tak berhasil membujuk Mas Dany untuk ikut. Dia tak cukup punya nyali untuk menolak keinginan Cintya agar tetap di rumah merayakan ulang tahunnya yang ke tujuh belas. Benar-benar menyebalkan.

Aku menurunkan oleh-oleh yang kubawa. Beberapa kotak bolu susu Amanda kesukaan Laila, adik bungsu kesayanganku yang baru kelas tiga SMP. Kata Ibu, Laila itu anak bonus jadi beda usianya jauh denganku. Kami hanya dua bersaudara karena dua kali kehamilan Ibu setelah kelahiranku, ibu mengalami keguguran. Setelah itu Ibu tak mau hamil lagi, katanya cukup aku saja anak Ibu. Ibu tak mau lagi merasakan sakitnya kehilangan anak yang bahkan belum pernah dilihat. Tapi ternyata Tuhan berkehendak lain. Si bungsu Laila hadir di tengah tengah kami.

Laila berseru gembira melihat oleh oleh yang kubawa. Dia langsung memelukku erat sebelum menyerbu oleh-oleh dariku. Selain kue kue itu, ada juga beberapa potong pakaian untuknya, gamis untuk Ibu dan Koko serta sarung untuk Ayah.

"Nduk, kamu bawa ini semua apa sudah izin suamimu?" Tanya Ibu.

Aku tersenyum.

"Sudah Bu. Mas Dany gak keberatan kok. Aku dikasih kebebasan pakai uang gajinya."

"Syukurlah Nduk. Ibu senang mendengarnya. Baik baik sama suami dan keluarga suamimu ya. Mereka ganti Ayah dan ibu di kota."

Jleb. Ada yang menancap di hatiku mendengar kata-kata Ibu. Semua yang kulakukan memang tanpa sepengetahuan mereka. Ayah dan Ibu, meski bertanya tanya kenapa Mas Dany hanya datang seorang diri saat menikahiku, dengan mudah aku alihkan perhatiannya. Tak perlu juga mendengar gunjingan tetangga. Biarlah mereka tahu bahwa hidup keluargaku sudah mapan. Meski demikian, aku tahu betapa kecewanya Ayah dan Ibu jika suatu saat nanti tahu bahwa aku menjadi penyusup dalam rumah tangga orang lain.

Ayah, dengan kakinya yang pincang, melangkah masuk. Aku langsung menyambut tangan Ayah, menciumnya. Dari sudut mata dapat kulihat Laila tersenyum sendiri sambil mencocokkan baju-baju yang kubawa. Aku terenyuh. Untuk dialah semua ini kulakukan. Aku tak mau Laila hanya sekolah sampai lulus SMA dan berakhir sepertiku. Ayahku tak bisa bekerja berat karena kakinya yang pincang. Sehari hari sejak dulu bergelut dengan kolam kecil yang hasilnya tak seberapa. Sementara Ibu menekuni kebun kecil berisi sayuaran yang sebagian dijual setelah menyisakan sedikit untuk dimakan. Sejak aku menikah, sedikit sedikit kukirim uang untuk memperbesar kolam ikan Ayah. Dan ini panennya yang pertama.

"Ayah berhasil menjual lima puluh kilo gurame kemarin. Ini ada lima kilo Ibu sisakan untukmu." Ujar Ibu sumringah.

"Sayang Dany tak ikut ya." Tambah Ayah dengan mata penuh tanya.

"Oh, Mas Dany sedang ke Surabaya Ayah. Ada pekerjaan di sana." Ujarku berdusta.

"Suamimu baik sekali Nduk. Kapan kapan, Ayah dan Ibu ingin bertemu dengan mertuamu. Tentu mereka juga orang-orang yang baik karena telah berhasil mendidik anak sebaik suamimu." Ujar Ayah sambil mengelus rambutku.

Di dalam sini, hatiku mengembun. Livia yang genit, manja dan suka merayu lenyap begitu aku berkumpul bersama keluargaku. Disini, aku tetaplah gadis polos kesayangan Ayah dan Ibu.

Gadis polos yang suatu saat akan menyakiti mereka teramat sangat.

***

Pesta ulang tahun Cintya rupanya digelar dengan sangat mewah di sebuah hotel berbintang lima. Mereka bahkan diliput oleh sebuah portal berita online mengingat Mas Dany seorang direktur anak cabang perusahaan rokok ternama. Kue ulang tahun setinggi satu meter yang menjadi primadona acara dipotong dan dibagikan kepada seluruh teman sekolah dan tamu undangan. Yang istimewa, tamu kehormatan dalam acara itu adalah dua ratus anak yatim piatu yang diundang oleh Mbak Laras atas permintaan Cintya. Jika biasanya yang ulang tahun mendapat kado, kali ini justru Cintya membagi-bagikan kado kepada tamu kehormatannya dengan wajah bahagia.

Semua potret peristiwa itu terekam dalam jejak digital yang diunggah ke akun f******k dan I*******m milik Cintya hari berikutnya. Aku menggigit bibir. Mbak Laras benar-benae telah mendidik anaknya dengan baik.

(Terimakasih untuk semua yang sudah hadir dalam acaraku. Terkhusus pada dua ratus tamu kehormatan. Percayalah doa kalian makbul. Tahu gak apa doaku yang kalian aminin kemarin? Supaya ulat bulu yang coba mengganggu keluargaku mati karena kegatalannya sendiri.)

Astaga.

(Tunjukin aja ulat bulunya Cin. Kita bantai bareng-bareng.)

(Jangan kasih kendor. Pastikan ulat bulunya musnah sebelum coba coba jadi kepompong dan menjelma kupu-kupu.)

Aku tercenung. Aku tahu apa yang aku lakukan ini salah besar. Ayah akan murka jika sampai tahu. Dan tak terbayang reaksi Ibu. Tapi mau bagaimana lagi? Semua sudah terjadi. Akibat pergaulan di kota besar yang membuatku selalu merasa haus akan barang mewah, disamping tujuan utamaku menyimpan uang untuk biaya kuliah Laila nanti.

Biarlah bagaimana nanti, desahku, sambil berguling menatap langit langit kamar yang terbuat dari triplek. Di sampingku, Laila tidur memeluk guling dengan dengkur halus yang keluar dari bibirnya. Aku tersenyum. Tidurlah La. Jangan pikirkan apapun. Masa depan keluarga ini, biar menjadi urusan Mbak.

***

Lima hari di kampung, tak sekalipun Mas Dany menelepon jika aku tak menghubunginya lebih dulu. Aku resah, apakah sesungguhnya aku tak punya arti baginya?

"Mas gak kangen sama aku?" Tanyaku melalui telepon.

"Ya kangen dong sayang. Hanya saja Mas gak mau ganggu kamu yang lagi kangen kangenan sama Ayah dan Ibu juga Laila."

"Benarkah? Bukan karena asyik dalam pelukan Mbak Laras?"

Mas Dany tertawa di ujung sana.

"Berhentilah cemburu pada Laras. Dia itu ibu anak-anakku. Sementara kau selamanya adalah kekasihku."

Aku merengut.

"Aku akan jadi Ibu juga bagi anak anakmu Mas. Bukan hanya Mbak Laras yang bisa. Lihat saja nanti."

Mas Dany tertawa lagi.

"Sudah dulu ya sayang. Mas ada kerjaan."

Lalu telepon ditutup sepihak. Aku termenung menatap layar ponsel mahalku yang perlahan menggelap. Tiba-tiba aku dikejutkan oleh kehadiran Ibu yang entah dari mana datangnya, telah ada di belakangku. Aku berbalik, mata kami saling tatap. Ada keraguan di mata tuanya. Aku sedikit gugup, apalagi mendengar pertanyaan Ibu kemudian.

"Laras siapa Nduk?"

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status