Share

Bab 6. Kemanakah pohon uangku pergi?

ISTRI PERTAMA SUAMIKU 6

Lima hari di kampung, aku akhirnya kembali ke rumah. Meski masih betah rasanya berkumpul dengan keluarga. Tapi aku harus segera pulang menyiapkan diri untuk giliranku esok hari. Tekadku untuk segera punya anak semakin besar. Di perjalanan, aku membeli sekilo tauge untuk kumakan. Kata orang-orang tauge bikin subur. Padahal sampai di rumah, aku kebingungan menatap gunungan tauge di atas meja dapur.

Masih kuingat tatapan Ibu yang penuh tanya saat beliau mendengarku menyebut nama Mbak Laras. Aku langsung memutar otak. Jangan sampai Ibu tahu. Aku bahkan berdoa semoga Ayah, Ibu juga Laila tak pernah tahu apa yang kulakukan ini.

"Oh, Mbak Laras itu kakak iparku Bu. Dia sudah punya dua anak."

Ibu menarik nafas lega.

"Oh begitu. Iya betul Nduk. Semoga kamu segera diberi momongan ya. Anak akan mengikat hati suami dan juga mengakrabkan mertua dan menantu." Ujar Ibu sambil tersenyum.

Aku meringis dalam hati, lalu sejak itu mulai berhati-hati untuk tidak keceplosan menyebut nama itu. Rumahku yang kecil kadang membuat siapa saja bisa mendengar percakapan di telepon dengan mudah.

Tiba di rumah, aku mengirimkan pesan pada Mas Dany bahwa aku sudah sampai. Tapi hingga satu jam kemudian tak ada balasan darinya. Kesal, aku meletakkan ponsel di atas meja dan mulai mengisi bathtub. Berendam dalam air aromaterapi kini menjadi kesenangan sendiri bagiku.

Tiba-tiba saja, perutku bergejolak. Aroma sabun kesukaanku entah mengapa kini terasa memuakkan, membuat perutku seperti diaduk aduk. Aku melompat dari dalam bathtub dan berlari ke wastafel, memuntahkan seluruh isi perutku di sana. Setelah mengeringkan tubuh dan memakai handuk, aku menatap wajahku di cermin. Kenapa wajah cantik itu terlihat pucat?

(Mas, bisakah datang lebih awal? Aku sakit.)

Pesanku sudah dibacanya, tapi tak kunjung dibalas. Perasaanku mulai cemas. Kenapa Mas Dany sepertinya berubah? Dia tak lagi perhatian dan cepat merespon pesan dan telepon dariku. Lima hari tak bertemu, bukankah seharusnya dia punya rindu yang menggebu seperti dulu?

Balasan pesanku akhirnya masuk dua jam kemudian. Pesan yang membuat kesal dan emosiku naik satu tingkat.

(Sabar Livia. Besok masih jatah Laras.)

(Tapi aku sakit!)

(Ah, itu hanya akal akalan saja seperti biasa kan?)

Mataku membola. Aku memang sering kali melakukan itu. Mengaku sakit agar Mas Dany datang lebih awal dan meninggalkan Mbak Laras sebelum waktunya. Biasanya Mas Dany akan langsung percaya. Bahkan tak masalah baginya jika aku berbohong. Dia hanya akan tertawa kecil sambil menciumiku. Tapi ini?

Aku meletakkan ponsel di atas nakas. Tak ada lagi nafsuku untuk membalas pesan W* nya, apalagi marah-marah. Perutku makin bergejolak. Rasanya lemas sekali.

Bunyi bel di depan membangunkanku. Dengan langkah tertatih aku membuka pintu, dan mendapati Mbak Inah, ART paruh waktu yang bekerja untukku, berdiri di ambang pintu.

"Loh, Mbak Livia pucat banget!" Serunya kaget.

Aku duduk dengan lemas, memutar mutar freshcare di ujung hidung untuk mengusir mual.

"Gak tahu Mbak. Aku tiba-tiba mual dan lemas kayak gini. Padahal tadi pas baru sampai dari kampung segar segar aja."

Mbak Inah tampak berpikir sejenak. Lalu tiba-tiba dia tersenyum.

"Mungkin Mbak Livia hamil."

Aku terkejut, mengusap-usap perutku dengan hati berdebar. Mungkinkah? Selama ini aku dan Mas Dany berhubungan tanpa pengaman. Aku hanya minum pil sesekali setiap dia akan datang. Mungkinkah caraku minum pil kontrasepsi salah?

"Terus aku harus gimana Mbak?"

Mbak Inah tertawa.

"Mbak Livia sudah punya testpack?"

"Apa itu?"

"Alat tes kehamilan."

Aku menggeleng.

"Emm, kalau begitu saya beli dulu ke apotik ya. Nanti Mbak testpack dulu. Kalo garis dua berarti hamil. Jadi tinggal minta Bapak anter ke dokter atau bidan."

Aku mengangguk, membiarkan Mbak Inah keluar lagi usai kuberikan tiga lembar uang seratus ribu padanya, supaya dia sekalian membeli tongseng kambing yang tiba-tiba saja ingin kumakan. Tak lama suara motornya terdengar menjauh.

Notifikasi pesan W*-ku berbunyi. Aku lekas meraih ponsel yang kuletakkan di atas meja, berharap itu pesan dari Mas Dany. Ternyata bukan. Dadaku langsung berdebar kencang membaca pesan W* dari Cintya.

(Tante, hari ini kan masih jatah Mamaku, jangan curang dong. Suruh Papa pulang sekarang juga.)

Aku mengerutkan kening. Ini hari Sabtu, Mas Dany tidak bekerja, juga setahuku tak ada jadwal keluar kota. Jika dia tak ada di rumah bersama Mbak Laras dan juga tak bersamaku, lalu kemana dia?

***

"Mbak, Mbak Livia gak apa-apa?"

Sayup sayup suara itu terdengar disertai tepukan lembut di pipiku. Aku membuka mata dengan susah payah, mendapati wajah Mbak Inah menatapku cemas.

"Aku kenapa memangnya Mbak?"

"Tadi pas saya masuk, Mbak Livia tidur sambil menangis dan mengigau."

Aku berusaha duduk tegak. Perutku masih mual, sekarang malah ditambah kepala berputar. Samar tercium aroma tongseng kambing yang lezat menguar dari plastik putih di atas meja.

"Mbak Livia makan dulu. Itu tongsengnya sudah saya beli."

Aku mengangguk.

"Tunggu disini Mbak. Saya ambil nasi. Sepertinya Mbak gak kuat ke meja makan." Ujar Mbak Inah sambil berlalu ke dapur dan kembali lagi dengan sepiring nasi di tangannya.

Aku menerima piring itu dan menuang tongseng ke atasnya, lalu makan dengan lahap. Benar saja, setelah makan, tubuhku mulai segar kembali. Rasa mual tiba-tiba saja menghilang. Kuraih benda kecil pipih di atas meja dan mulai membaca petunjuk penggunaannya.

"Ini udah boleh saya pake ya Mbak?"

Mbak Inah mengangguk. Dia menuntunku ke kamar dan berhenti di depan pintu.

"Ngomong-ngomong, tauge sebaskom itu untuk apa Mbak?"

Aku nyengir. Tanpa menjawab pertanyaannya langsung masuk ke dalam kamar mandi sambil membawa gelas penampung. Dengan jantung berdebar, aku menunggu garis merah dua itu akhirnya muncul dan terlihat jelas.

Aku hamil!

Dengan hati gembira, aku keluar dari kamar dan meraih ponsel. Kuabaikan raut tanya di wajah Mbak Inah. Aku harus segera memberitahu Mas Dany. Namun, belum sempat aku menghubungi suamiku itu, sebuah foto masuk ke dalam kotak pesanku. Foto yang dikirimkan oleh Siska itu membuat darahku seketika mendidih.

Mas Dany, meski tampak belakang, aku pasti akan mengenalinya, dia tengah memeluk seorang gadis cantik berambut coklat bergelombang. Mereka sedang berada di sebuah ruangan private sebuah restoran. Jantungku berdetak kencang, rasanya ingin menjerit melepaskan semua sesak di dada. Kubaca pesan dari Siska yang masuk kemudian.

(Pak Dany kok bisa lepas Liv? Lakukan sesuatu sebelum Lo kehilangan pohon uang.)

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status