ROGER "Apa yang kamu lakukan, Arsela!" Kuhentakkan tubuh berbalut selimut, turun dari pembaringan, meyambar kimono yang terserak sembarang di lantai. Wanita itu benar-benar keterlaluan! Mengapa harus memakai cara murahan untuk dapat tidur bersamaku. Apa maunya? Bukankah dia sendiri yang beratus kali menolakku. Dasar egois! Saat dirinya butuh pelampiasan, lantas menjebakku. "Mas." Apa ini? Sandiwara apalagi yang sedang dimainkannya. Cukup, aku muak! Kusentak kasar tangan yang melingkar di kaki ini erat. Melangkah cepat-cepat, meninggalkan aktris wanita paling hebat yang pernah kutemui. Harusnya dialah pemenang piala oscar. Tak sulit mendapati tempat Membersihkan diri di rumah ini. Seluruh kamar, memilikinya. Guyuran air cukup mendinginkan otak juga merefresh tenaga yang terkuras semalaman. Tak kupungkiri gairah akibat doping itu meledak-ledak melampaui tenaga yang tersedia. Tak terbayang kepayahan Arsela meladeniku. Ah, tiba-tiba ada yang berdenyut di satu sudut hati. Menga
ROGERTak bisakah berkompromi dengan inginku? Dua jam sudah aku merutuk, melemparkan serapah atas kondisi lalu lintas yang jalannya seolah di huni kura-kura. Kupukul setir berulang-ulang. Klakson tak terlewat untuk ditekan sekeras mungkin. Apa peduliku dengan gendang telinga mereka yang tersakiti. Salahkan saja macet sialan ini. Yes! Go! Melesat membelah jalanan ibukota. Menyalip kendaraan demi kendaraan yang menghalangi kecepatan. Tanpa ampun roda melibas beton hitam, debu pun beterbangan. Sampai! Tergesa turun dari sedan hitam, kaki telah bersepakat dengan hati untuk menemui kekasihnya. Semua lelah, payah sudah kalah oleh letupan kerinduan Hai, Apa itu? Kenapa Safna membawa koper. Mata yang semula datar, membesar seketika. Itu juga yang terjadi padanya sambil mulut ternganga, wajah mulai menegang. Ayunan kakinya terhenti, tatap kami bertemu. Dalam kebeningan lensa yang mulai dihiasi kaca-kaca aku tahu ada rindu di sana. Kau tak bisa berbohong, takkan bisa. Aku tak sedang m
ARSELA ‘Safna’ ... nama wanita yang masih terngiang di telinga. Nama yang keluar dari mulut lelakiku saat berada di puncak pelepasan gairah. Siapa dia? Kenapa nama wanita itu mampu menguasai alam bawah sadar suamiku. Keingintahuan ini memuncak akan sosoknya. Apakah Roger memiliki wanita lain selain aku? Jika benar, takkan kubiarkan itu berlangsung lama. Tak boleh ada yang merebut milik Arsela. Mencari waktu yang tepat untuk mengetahui kehidupan Roger di luar rumah. Semenjak kepulangan dari bulan madu seminggu lalu, tak pernah menampakan batang hidungnya di rumah ini. Menggunakan taksi untuk melakukan pengintaian, supaya terhindar dari kecurigaan. Sore ini, menunggunya keluar dari kantor, menyuruh supir taxi mengikuti sedan merah suamiku. Mengamati Roger dari jendela kaca. Pagar besi rumah itu membuatku dapat melihat apa yang terjadi di sana. Seorang wanita tinggi semampai menyambut kedatangannya. Roger merangkul mesra perempuan muda berhijab itu. Dada bergejolak seketika, dar
ARSELA Ketenangan seakan tak memihakku, Bram tak henti mengusik. Mencecarku dengan kalimat cinta, rindu dan gombalan lainnya. Namun, sebisa mungkin aku tetap menghindarinya. Brengsek, Bram berani mengancamku lagi. Akan menemui Roger membeberkan semua rahasia ini, jika aku tak memenuhi keinginannya untuk bertemu. Ancamannya kali ini tak bisa kuanggap main-main, dia meminta haknya atas anak ini. Bahkan berani mengancam akan menculik dan membawaku pergi jauh dari kota ini. Sial kau Bram. Tak cukupkah kau jamah tubuhku tanpa perlu mempermasalahkan janin ini. Salahmu sendiri melarangku melenyapkan bayi ini. Kau membuatku kehilangan kewarasan, Bram. Ok, kupenuhi permintaanmu. Mencari waktu yang tepat untuk menemui Bram di tempat yang sudah direncanakan. Sebuah Villa yang cukup jauh dari kotaku. Mengamati waktu Roger, saat berada di rumah dan di luar. Aku mulai paham aturan waktunya. Aku yakin kau sedang menemui wanitamu saat tak bersamaku, Roger. It's ok. Kita sama-sama bermain di
SAFNATak terlintas keinginan menanyakan foto-foto kebersamaan tuan dengan nyonya Arsela. Moment bulan madu kedua di negara seberang yang kutemukan dalam aplikasi IG itu anggaplah tak pernah ada.Kebahagiaan langka ini tak ingin kurusak dengan menuntut penjelasan. Itu hak tuan melakukan apapun dengan istrinya.Menuntut pun percuma, tidak akan merubah keadaan, aku tetaplah istri siri dengan segala keterbatasan.Biarlah duka lara ini kutelan sendiri, tak perlu tuan tahu bahwa batinku tak cukup dengan melayaninya di atas ranjang.Hari ini, tuan mengajakku jalan-jalan. Bahagia tak terlukiskan, kuanggap sebagai penebus kesepian selama tak ada dia.Kami bermain di Dunia Fantasi, Ancol. Mencoba berbagai permainan yang aman maupun menakutkan. Kami tertawa bersama, membebaskan segala beban yang menghimpit di dada. Hari ini hanya ada aku dan dia. Jikapun bisa meminta, akan kupinta waktu berhenti saja. Biar kami terus berdua, tanpa takut ada yang merebut kebahagiaan iniKepuasan telah kuraup.
“Alhamdulillah,” desisku mengiringi tarian bahagia di dalam dada. Kita akan punya anak. Kau dengar itu, Tuan? Tangan ini mengusap perut yang masih datar. Senyum ini sedkit terkembang membayangkan akan hadirnya buah hati kami. Air mata berjatuhan tanpa diundang. Memeluk Bi Asih, orang yang paling dekat saat ini untuk berbagi haru."Selamat ya, Nya. Tuan pasti bahagia."Sekedar mengangguk, mulut sulit berkata, dibungkam bahagia yang membuncah.Selamat datang, Sayang.***Yaa Allah, bagaimana kabar bahagia ini kusampaikan pada Tuan. Nomor telponnya saja aku tidak tahu, tuan sengaja tidak meninggalkan kontaknya.Untuk apa tuan memberiku benda komunikasi ini, jika tak ada yang bisa kuhubungi. Teronggok seperti bangkai.Menangis, hanya itu yang bisa kulakukan. Kehamilan ini membuat tubuhku terkulai tak bertulang. Tak ada asupan apapun untuk menguatkan badan.Apa yang kumakan termuntahkan kembali. Ingin memakan sesuatu yang sulit dijangkau olehku maupun Bi Asih atau siapapun penghuni di is
SAFNA"Maksud Abah, ikut ke mana?" tanyaku seakan linglung."Pulang ke kampung, ke rumah kita, ke mana lagi!" sentak Abah. Melototkan mata, seraya berkacak pinggang."Tapi, Abah. Neng gak mau meninggalkan Tuan," kataku, keberatan dengan keinginan Abah membawaku pulang ke kampung.Bagaimana nanti kalau tuan mencari, tak mendapati diri berada di istana ini. Tak dapat kubayangkan perasaannya.Dalam keadaan seperti ini, aku tetap harus menghormati suamiku. Menunggu di sini adalah perintahnya yang tak bisa kubantah.Benih di rahim ini harus kusampaikan pada tuan dari mulutku sendiri."Mak, cepat kemas barang si Neng. Sekarang juga bawa pulang anak kita!" perintah Abah.Tanpa menunggu perintah kedua kali, emak bergegas membuka koper kosong dan mengisinya dengan pakaian yang di raup dari lemari. Mulutnya entah meracaukan apa."Abah, Emak, jangan! Neng akan tetap di sini. Menunggu Tuan," kataku di tengah rintihan."Kamu pikir, setelah melihat kamu dalam keadaan hamil, tersiksa lahir batin, Ab
ROGER "Sayang, jangan pergi. Aku lemas banget." Kali kesekian aku harus memenuhi keinginan Arsela. Entah mengapa aku amat lemah terhadapnya sejak tahu ia mengandung. Kekhawatiran terjadi apa-apa dengan anak yang dikandung Arsela amat besar. Kudekap kembali tubuh itu, mencoba memberinya kekuatan. Malam berganti pagi, kesempatanku menemui Safna benar-benar tak ada. Satu sisi hatiku menjerit. Ada sesal juga rindu di sana. Hanya saja, Arsela amat menguasaiku kini. Sore menjelang pulang kantor, istri pertamaku itu sudah menelpon, mengingatkan untuk segera pulang. *** "Sayang, aku mau nginep di rumah Papa, boleh, ya?" Apa katanya? Oh, Tuhan! Ini luar biasa, artinya aku bisa menemui Safna. "Tentu, Arsela. Berapa lama pun kau mau, boleh." "Makasih, Sayang." Seperti biasa, Arsela akan mulai membangkitkan gairahku. Tentu saja tak kusia-siakan kesempatan ini. Menikmati permainan di tiap malam membawa pada suatu kesimpulan jika saja dari dulu begini, takkan sampai aku menduakanmu. Terla