Ghiana turun dari mobilnya dan memasuki rumah salah satu temannya, Nat yang sedang merayakan ulang tahun anak ke tiganya. Di sampingnya sang supir sembawa satu bungkusan besar, hadiah untuk si empunya acara.
“Oh liat siapa yang udah dateng, aunty Ghiana.” Nat melambaikan tangan balita yang masih berusia dua tahun kepadanya.
“Hai Gio, selamat ulang tahun ya.”
“Makasih aunty, oh liat. Astaga, besar sekali kadonya.” Seolah mengerti, balita yang ada di dalam dekapan ibunya itu juga melonjak kegirangan.
“Thank you loh Ghi, udah mau dateng. Apa lagi hadiahnya ini wah, besar banget.”
“It’s ok, ini bukan apa-apa.”
“Ghiana! Ya ampun.” Ghiana tersenyum menyambut pelukan dari teman-temannya, ini memang pertemuan pertama mereka setelah tragedy lima tahun lalu. Ghiana memilih mengurung diri, tidak berani menanggung malu karena keguguran.
“Sasa, bilang halo ke aunty
“Bunda, Rama main ya.”“Bima juga!” Pandu melihat ke dua anak kembar yang menyebut diri mereka sebagai Rama dan Bima mengeluarkan mainan mobil-mobilan yang di lihatnya di dalam foto dengan tidak sabaran. Anak-anak itu dengan antusias bergabung bersama anak-anak komplek lainnya di lapangan yang tidak jauh dari rumah mereka.“Om Sam!”“Om Sam, bawa ice cream?” Pandu mengepalkan tangan geram begitu melihat asisten pribadinya itu merendahkan tubuh dan bersiap menerima pelukan dari anak-anaknya yang ia kira sudah mati.“Bawa dong, kan hari ini abang sama mas udah jadi anak baik.”“Aku, aku tadi bantu bunda beresin kamar om.”“Rama bantu bunda cuci piring.”“Pintarnya, nanti makan ice creamnya di dalem ya.”“Oke!” Sam menunggu anak-anak itu memakirkan mobil-mobilan mereka kemudian masuk ke dalam rumah. Asisten pribadinya itu benar-benar kelihatan sangat sudah terbiasa berada di sekitar anak-anaknya.“Sialan!” Udin sama sekali tidak ber
Pandu duduk di ruang makan rumah Maira dengan canggung, di hadapannya Bima dan Rama terus saja memberikan tatapan sebal yang justru membuat Pandu merasa gemas alih-alih ketakutan.“Bunda, abang mau ayam!” Pandu menghentikan gerakan tangannya yang ingin mengambil ayam goreng dari mangkuk.“Bunda, mau tempe! Mau tempe.” Kali ini Bima yang merengek, lagi-lagi Pandu mengurungkan uluran tangannya yang hendak mengambil tempe karena anak-anaknya merengek tidak sabaran.“Bunda -"“Abang, itu piringnya udah penuh. Di habiskan dulu baru ambil lauk lain kalau kurang ya. Mas Bima juga.” Sela Maira ketika anak-anaknya kembali akan menghalangi Pandu mengambil lauk makan malam.“Enggak boleh iseng begitu ah, sekarang makan yang bener ya. Sayang lauknya.” Sam mengucapkan kalimat itu sembari mengusap-usap kepala anak-anak, Pandu meringis iri. Ia juga ingin bisa seakrab itu dengan Rama dan Bima.“Udah abis, boleh minta ice cream bunda?”“Boleh, sebentar ya bu
Ini hari libur, sejak pagi Pandu sudah bersiap mengemas beberapa mainan dari kamar khusus untuk di bawa ke rumah Maira, laki-laki itu sudah bertekad untuk menjaga anak-anak dan juga Maira dengan baik. Untuk itu Pandu perlu menjadi lebih dekat dengan keluarganya itu.“Jia, kamu pesenin mainan yang gambarnya saya kirim tadi ya. Kirim ke alamat yang barusan saya kirim juga, saya enggak mau tau pokoknya kamu harus dapet mainannya.” tidak pernah ada hari libur bagi sekretari ataupun asisten pribadi Pandu, yah kecuali untuk Sam. Laki-laki itu sedang Pandu ungsikan ke jepang demi kelancaran proses pendekatannya dengan Maira dan anak-anaknya.“Din! Bantu saya bawa ini semua.”“Mau kamu bawa kemana ini barang-barang?” Ghiana muncul dari ujung pintu.“Ck, bukan urusan kamu. Udin! Mana sih itu orang, lama banget.”“Oh, karena mereka hidup jadi kamu mau ngasih ini semua ke mereka?” Ghiana bertanya den
“Mau teh atau kopi?” Maira bertanya begitu Pandu keluar dari kamar anak-anaknya, perempuan itu seharian ini mengamati setiap interaksi Pandu dan juga anak-anaknya dalam diam.“Kopi aja, aku masih harus nyetir nanti.” Maira mengangguk, Pandu memang sudah meminta supir pribadinya untuk pergi siang tadi.“Kalau memang enggak kuat nyetir, bapak tidur di rumah samping aja.”“Aku kira kamu mau nawarin tidur di sini.”“Boleh, di ruang tamu tapi. Pake karpet.”“Tega.” Maira mengabaikan rengekan manja itu, ia berusaha fokus menjerang air panas untuk menyeduh kopi.“Maira..” Perempuan itu nyaris menumpahkan air di dalam panci kareng terkejut dengan pelukan Pandu yang tiba-tiba.“Ternyata, aku bukan cuma kangen sama anak-anak. Tapi sama kamu juga.”“Pak, apaan sih. Lepas ah.”“Kamu harus tau gimana hidup saya selama lim
Sam terus merutuki kebodohannya satu minggu yang lalu, hingga saat Ini ia bahkan tidak berani muncul di rumah Maira pun bekerja dan bertemu dengan Pandu. Jika bisa, Sam ingin mengambil cuti lebih banyak lagi. Sayangnya hari ini dia sudah harus mulai bekerja.“Saya tunggu surat pengunduran diri kamu, kalau kamu memang udah enggak lagi mau kerja sama saya Sam.” Pandu berkata dengan tenang, laki-laki itu masih sibuk memeriksa laporan yang Jia bawakan pagi tadi.“Kalau kamu mulai enggak bisa professional, lebih baik kamu berhenti sekarang. Saya masih bisa keluarin surat rekomdasi untuk semua performa baik kamu selama ini.” Pandu menutup laporannya untuk bisa menatap Sam dengan tajam.“Gimana?”“Akan saya pertimbangkan pak.”“Setelah itu jangan ganggu Maira dan anak-anak lagi Sam, kemaren saya masih nahan diri karena ada anak-anak. Tapi kalau kamu masih enggak tau batas, saya enggak akan segan-segan.
Pandu berlari di lorong rumah sakit bersama dengan Maira yang sejak tadi tidak bisa berhenti menangis. Perempuan itu di kabari oleh salah satu tetangganya soal kecelakaan yang menimpa Bima.“Bunda!” Rama langsung mengehambur, tangisnya pecah di dalam gendongan bundanya yang juga sama gemetarnya dengan anak itu.“Gimana bisa sampe kayak gini pak RT?” Pandu yang bertanya, karena Maira jelas masih tidak bisa mengontrol diri.“Saya cuma denger sekilas dari Adi pak Pandu, katanya ada perempuan yang ngaku-ngaku istrinya pak Pandu dateng terus nanyain rumah bu Maira. Terus Adi bilang kalau bu Maira pelakor, Bima mungkin enggak terima terus mereka berantem sampe ke jalan terus kejadian lah ini.”“Astaga..”“Terus gimana sama penabraknya?”“Maaf pak, tapi dia berhasil kabur.” Pandu mengumpat, ia tidak akan tinggal diam. Laki-laki itu bersumpah akan menemukan keparat yang sudah me
“Bunda, kok Bima manggilnya mama ke tante Ghiana?” Rama bertanya sembari memakan makan siangnya, sudah satu bulan Bima sadar dari komanya. Dokter bilang, anak itu mengalami cidera kepala yang membuat Bima tidak bisa mengingat semua kenangan di masa lalunya.“Kan tante Ghiana istri ayah juga, jadi memang bisa di panggi mama.”“Rama mau punya bunda aja, enggak mau ada mama.” Maira tersenyum miris, jika bisa memilih ia juga ingin anak-anaknya merasa cukup hanya dengan memilikinya.“Pa, ngapain di situ!” Bima berseru heboh begitu Pandu datang dan lansung mengecup kening Maira.“Sebentar ya mas, ayah kangen sama abang ini.”“Pa!”“Iya..iya..” banyak hal yang berubah dari diri Bima. ia tidak lagi mengingat Rama saudara kembarnya dan menolak memanggil Pandu dengan sebutan ayah. Ghiana bilang, Bima harus memanggil Pandu dengan sebutan papa.“Apa ka
Maira membelai rambut Bima dengan perasaan haru, anak bungsunya itu sekarang kembali tertidur dengan nyaman di ranjang kamarnya yang sederhana. Perempuan itu kemudian menghela napas, mengingat kembali ke jadian beberapa jam yang lalu di rumah keluarga Sore.Maira kira ia terlambat, ia sudah khawatir terjadi sesuatu yang buruk terhadap Bima. untungnya ke khawatirannya tidak terjadi, karena begitu memasuki rumah besar terdebut dengan paksa Maira melihat Bima sudah berada di dalam pelukan Pandu.“Bima, astaga. Kenapa nak?” Maira langsung mengambil anak itu cepat, di peluknya bocah laki-laki yang sebentar lagi akan berusia enam tahun itu dengan erat.“Din, bawa Maira dan anak-anak ke mobil. Tunggu saya di sana.”“Baik pak, Mari bu. Ikut saya dulu sebentar.” Maira sama sekali tidak membantah, ia tidak ingin terlibat dengan masalah rumah tangga Pandu karena yang terpenting baginya anak-anaknya aman.Maira tidak tau ber