‘Pemenang Awards Artis Terpopuler tahun ini jatuh kepada…’ host di atas panggung mulai membawa perhatian semua orang semakin fokus padanya.
Wajah-wajah para nominator yang kesemuanya adalah artis papan atas yang digandrungi semua orang terlihat menegang. Tentu saja di benak masing-masing ingin sekali menerima piala yang terbuat dari emas murni tersebut sebagai artis terpopuler di Mine City tahun ini. ‘Pemenangnya adalah… Ruby Moon!’ Bersamaan dengan diumumkannya sang pemenang, musik kemenangan disuarakan menggelegar di panggung. Beriringan juga dengan riuh tepuk tangan dan sorakan selamat untuk wanita bergaun putih bak bidadari yang saat ini menjadi sorotan lampu utama. Ruby Moon, artis wanita yang duduk di barisan belakang menutup bibirnya karena kaget. Jantungnya berdebar kencang tanpa bisa dihentikan, seolah mengiringi air mata yang melapisi pupil kecoklatannya. Ruby memandangi sekelilingnya sebelum berjalan sambil memberi anggukan hormat pada para seniornya di dunia keartisan. Wanita itu semakin bercahaya saat tersenyum melihat layar besar yang menampilkan deretan film dan iklan yang pernah dibintanginya. ‘Selamat, Nona Ruby,’ host memberi selamat bersamaan dengan pemberian piala emas yang diidamkan semua artis di sana. ‘Terima kasih…’ jawab Ruby ramah, dan sesaat kemudian tepuk tangan semakin meriah saat pialanya diangkat ke atas dengan kebanggan besar. ‘Tanpa mengurangi rasa hormat, saya ucapkan pada para senior yang sudah masuk dalam nominasi. Kalian semua hebat. Saya merasa terhormat bisa berada di jajaran idola saya yang sangat hebat. Saya sangat berterima kasih pada Tuhan untuk kesempatan ini. Saya juga ingin mengucapkan banyak terima kasih untuk orang-orang yang sudah mendukung dan percaya pada saya.’ Penonton yang sebagian besar merupakan artis terpandang terus tersenyum pada Ruby, meski sebagian besar adalah senior seperti yang Ruby sampaikan, tapi mereka menerima kekalahan dari pendatang baru itu tanpa berkecil hati. Itu karena Ruby si artis muda yang terkenal lewat film pertamanya merupakan artis yang rendah hati dan berbakat. Ruby bahkan pernah membintangi banyak iklan dan beberapa film dari sutradara pendatang baru dengan bayaran murah. Tapi siapa sangka aktingnya sebagai istri yang dibuang ternyata sukses dan menembus target pasar. ‘Dan yang terakhir saya ucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya pada ayah saya yang saat ini sedang berada di rumah sakit. Saya tahu dia sedang menonton saya malam ini dari sana,’ ‘Ayah, terima kasih untuk kehidupan dan pengajaran berharga yang kau ajarkan untukku. Penghargaan ini untukmu, Ayah. Aku menyayangi Ayah…’ Sekali lagi riuh tepuk tangan dan sorakan bahagia diterima Ruby dengan kebanggan. Lebih dari siapapun, dirinya begitu mengharapkan kalau momentum kemenangan seperti ini akan terus dirasakannya setiap tahun dalam karirnya yang gemilang. Namun ternyata, penghargaan itu adalah satu-satunya penghargaan yang ia terima sebelum hidupnya hancur dalam satu malam sial berujung penyesalan sampai detik ini. Itu adalah kenangan indah sekaligus pahit di ingatannya. “Ayah, aku rindu Ayah. Maafkan anakmu yang bodoh ini,” ucapnya lirih pada bingkai foto di tangannya. Ingatannya tentang momen penghargaan lima tahun lalu itu kembali menenggelamkan hatinya dalam rasa bersalah. Air mata pun rasanya sudah dihabiskan selama lima tahun kelamnya itu. Seperti memakan kotorannya sendiri, Ruby lah yang paling tahu seperti apa rasanya penyesalan. Lima tahun lalu setelah acara awards usai, produser dan kru mengajaknya merayakan pesta kemenangan mereka. Ruby awalnya menolak, mengingat ayahnya butuh teman di rumah sakit. Akan tetapi euforia kemenangan membuatnya terlena hingga mabuk. Pagi itu rasa nyaris membuatnya terasa berdiri di atas danau beku yang jika ia melangkah maka permukaan danau itu akan hancur dan membuatnya tenggelam. Bagaimana tidak seperti itu ketika dirinya bangun dan tersadar sedang berada di pelukan seorang pria yang dikenal sebagai CEO dan miliarder sukses di Mine City. Dan ketika ia membuka ponselnya, kabar duka dari rumah sakit sukses membuatnya tenggelam dalam kehancuran. Belum kering tanah pemakaman sang ayah, sebulan kemudian dirinya dinyatakan hamil, dan itu jelas anak sang CEO. Dalam keputusan singkat, keduanya melangsungkan pernikahan bersyarat demi kebaikan bersama. Namun, bahkan setelah lima tahun pernikahan mereka, hubungan itu ibarat tali neraka yang seolah terus menariknya ke kematian. Karirnya sebagai artis hancur dan berakhir dengan harus di rumah saja. Alih-alih menjadi ibu dan istri yang baik di keluarga O’Neil, Ruby malah terus terpuruk karena merasa menjadi anak dan manusia yang gagal. Sejak melahirkan putranya bahkan sampai lima tahun pernikahannya, terhitung puluhan kali Ruby melakukan hal konyol dengan meminum obat tidur dengan dosis berlebih, berharap mendapatkan ketenangan saat matanya tertutup. “Aku sudah bertahan selama lima tahun, tapi kenapa aku tidak bisa bangkit dan terus merasa gagal, Ayah?” Lirihnya berucap sambil melirik botol obat tidur di tangan satunya, “Aku sudah lelah, Ayah,” sambungnya lalu meletakkan bingkai foto sang ayah. Ruby membuka tutup botol lalu menuangkan sembarang butir obat tidur ke telapak tangannya. Setelah itu, seperti orang kerasukan setan, Ruby menelan belasan pil di tangannya sambil menangis. “Juan, Leo, maafkan aku…” Hidup terasa berat dan menyakitkan baginya sampai hal bodoh seperti itu terus menerus dilakukan dan membuat tubuhnya lemah lalu rentan sakit. Alih-alih mati, dia sendiri juga tidak tahu kenapa Tuhan belum mengambil nyawanya. Namun, malam ini seperti berbeda. Belasan menit berlalu, dadanya terasa ngilu dan sesak, jantungnya berdebar kencang dan panas, perutnya bereaksi hebat dan menyakitkan, membuatnya seperti merasa kematian begitu dekat. Nyatanya, kematian tidak seindah yang selalu dibayangkannya. Itu sangat sakit. Ruby mengalami kejang dengan mulut berbusa sebelum akhirnya tidak sadarkan diri. Hidup yang seharusnya sempurna malah terasa menyedihkan. *** Fajar menyingsing, wanita itu mulai sadar saat suara seorang wanita lain terdengar memanggil nama orang lain yang sepertinya pernah ia dengar. “Nyonya Ruby, bangunlah. Kau harus segera bersiap, Nyonya,” suara itu terdengar lagi tapi mata Ruby tak kunjung membuka. Jantungnya masih terasa begitu nyeri dan kepalanya pusing. “Nyonya, kumohon bangunlah atau kau akan terkena masalah karena Tuan Besar marah lagi,” panggilan itu terdengar lagi, dan karena Ruby tidak merasa bukan dirinya yang dipanggil, jadi ia tetap mengabaikan suara itu. ‘Nyonya Ruby siapa? Tuan Besar apa? Memangnya siapa yang berani memarahiku? Aku adalah Maia, tahu?’ dalam hatinya ia menertawakan suara wanita yang didengarkannya sejak tadi. Namun ketenangan Ruby dalam pejaman matanya terusik saat tubuhnya seperti disentuh dan sedikit diguncang bersamaan dengan suara wanita yang kini berada di sampingnya. “Nyonya, bangunlah. Kau harus bangun dan membersihkan tubuhmu. Aku juga akan membereskan kekacauan ini,” kali ini suara wanita itu terdengar lebih mendesak. Ruby yang mulai merasa aneh mencoba membuka mata. Perlahan cahaya mulai terlihat meskipun samar. ‘Di mana aku? Kenapa aku di sini?’ Ruby bergumam heran dalam hati ketika pandangannya yang mulai jelas melihat langit-langit ruangan tempatnya berada, berbeda dengan ingatannya terakhir kali yang berada di gudang tua berkarat. Ruangan penuh nuansa putih-kuning keemasan yang cerah memanjakan matanya. Jarang sekali ia melihat suasana gemerlapan seperti itu sebelumnya. Itu seperti kamar seorang princess. “Nyonya Ruby, kau mendengarku? Kau sudah bangun, kan? Kalau begitu mari ikut aku, aku sudah siapkan air untuk mandi, Nyonya. Mari kubantu agar lebih cepat,” ucapan wanita yang sejak tadi memanggil langsung membuat mata malas Ruby terbuka lebar. Ia tidak lagi menyusuri keindahan ruangan di tempatnya berada melainkan langsung menoleh pada wanita yang ada di dekatnya. “Kau mau memandikanku?!” satu kalimat spontan keluar dari bibir Ruby bersamaan dengan gerakan tubuhnya yang refleks duduk karena kaget. ‘Sebenarnya apa yang terjadi?’Setelah beberapa saat bercengkrama dalam pelukan, Maia perlahan bangkit dari pelukan Juan. Rambutnya masih berantakan, matanya sembab manis karena baru bangun, tapi sorotnya berbeda. Ada sesuatu yang menyala di sana. Sesuatu yang belum pernah Juan lihat sebelumnya.Tanpa berkata-kata, Maia menyibak selimut dan duduk perlahan di atas tubuh Juan. Gerakannya mantap, percaya diri, dan sangat memikat.Juan menatapnya dengan mata membelalak kecil. “Wah, ini pemandangan paling sakral yang pernah aku lihat di pagi hari.”Maia tersenyum miring, “Sudah cukup semalaman kau menunggangiku. Sekarang sudah pagi waktunya wanita yang ambil kendali.”Juan tertawa pelan, tapi tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya.“Jangan bilang kau nonton film dewasa diam-diam di ponselmu,” godanya, separuh bercanda.Maia menaikkan alis, “Kau pikir aku belajar dari mana?”Juan mengangkat tangannya, menyerah total.“Baiklah, baiklah... aku res
Malam itu mobil berhenti di depan hotel kecil bergaya vintage yang tenang dan jauh dari keramaian. Juan turun lebih dulu, lalu membukakan pintu untuk Maia. Ia mengulurkan tangan, dan Maia menyambutnya hangat.“Ini bukan hotel mewah. Tapi aku ingin malam ini hanya jadi milik kita. Tanpa gangguan, tanpa peran, tanpa nama. Hanya kau dan aku,” ucap Juan pelan.Maia menatap mata pria itu, merasa dadanya sesak oleh sesuatu yang indah, "Tanpa pura-pura," balasnya.Mereka masuk. Ruangan kamar hotel itu sederhana, tapi bersih dan hangat. Ada aroma bunga sedap malam dari lilin aroma terapi yang dinyalakan petugas sebelumnya. Di sudut meja, terdapat dua gelas teh melati yang masih mengepul.Sambil melepas jasnya, Juan mengambil ponsel. Dengan jemari lembut, ia mengetik sesuatu dan menunjukkannya pada Maia sebelum mengirim.“Kami sedang dalam perjalanan menjemput adik baru. Jangan tunggu kami malam ini, oke?”Pe
47 SIARAN LANGSUNG UNGKAPAN CINTAStudio TV Nasional dalam acara “Inspire Us Tonight”Lampu sorot menyinari panggung megah. Juan duduk gagah dengan senyum tenang, mengenakan jas navy elegan yang mempertegas pesonanya sebagai pimpinan tertinggi The Galaxy. Di hadapannya, sang host, Lauren, pembawa acara muda yang energik, memandu acara dengan antusiasme tinggi.“Pemirsa, malam ini kita kedatangan seorang pria luar biasa. Bukan hanya sukses di dunia bisnis di dunia entertainment, tapi juga dikenal sebagai pribadi rendah hati dan penuh inspirasi. Please welcome… Juan O’Neil!”Sorak penonton bergema. Juan membungkuk sedikit, menyapa dengan anggukan.Sete
Ia berjalan ke arah kulkas, membuka pintu dan mengambil sebotol air. Tapi pikirannya sudah melayang jauh, tentang gerakan spiral khas Maia.Tentang snack yang selalu ia dapat sebelum tugas.Tentang tatapan tajam yang bisa membuat anak buah paling liar sekalipun tiarap.Mike meneguk air dan berbisik dalam hati, ‘Kalau itu kau, Bos... apa yang kau lakukan di sini, menyamar jadi penyanyi dan tinggal di rumah pria berhati lembut seperti Juan?’Dan lebih dari itu, ‘Apa aku harus membiarkan kau tenggelam dalam dunia baru itu atau menarikmu kembali ke dunia lama yang pernah kita kuasai bersama?’
“Coba rapikan rambutmu dan kau akan kelihatan lebih muda 10 tahun,” setelah berucap itu, Maia pergi dari hadapannya.Snack rendah kalori dan pangkas rambut. Bukan hal besar, seharusnya.Tapi dulu, hanya satu orang yang tahu dia tidak suka sarapan berat. Hanya satu orang yang pernah menyuruh anak buahnya selalu sedia snack darurat sebelum penyergapan. Lalu, untuk penampilan, hanya satu wanita yang berani mengomentarinya, dan itu adalah Maia.Tangannya yang memegang bungkus snack itu sempat menegang.Ia mendongak, menatap Ruby yang sekarang tengah membetulkan dasi kecil Leo sambil tersenyum lembut. Terlalu lembut dan aneh menurut mata Mike.Mike mencoba membuang pikiran itu. Jangan halusinasi, itu mungkin hanya kebetulan.Tapi saat Ruby menoleh ke arahnya dan mengangguk kecil, dengan sorot mata yang entah kenapa terasa terlalu akrab, Mike merasa dadanya ditusuk pelan.Dia pernah melihat tatapan itu. Tatapan yang tak berbunyi, tapi memerintah. Tatapan seorang pemimpin yang tidak butuh be
Maia tak berkedip. Tapi jantungnya berdetak dua kali lebih cepat.Mike bersandar di kursinya, “Dulu ada seseorang yang selalu bilang seperti ini… Harga bisa disesuaikan, asal resiko dan kendali tetap di tanganku. Dan kau baru saja bilang hal serupa.”Maia berpura-pura tidak mengerti, “Mungkin itu pemikiran umum bagi perempuan yang sering dikelilingi orang licik, kan?”Jane tertawa, “Wah, benar juga. Sekarang perempuan pintar-pintar. Nyonya, jangan terlalu sensitif dengan gaya negosiasi orang, ya.”Tapi Mike masih menatap Ruby, dengan sorot mata yang tidak biasa.Ada jeda sunyi yang panjang. Lalu Mike berkata pelan, tapi jelas.“Baik. Kami akan cari personil wanita terbaik. Tapi kalau dalam sebulan tidak ada yang lolos standar, silahkan batalkan kontrak ini.”Maia mengangguk pelan, “Deal.”Mereka berdiri, dan Jane menjabat tangan Maia dengan antusias. Tapi Mike... tidak menjabat tangan itu.Ia hanya menatap Ruby satu kali lagi, seolah mencoba menembus sesuatu yang tak terlihat.Dan unt