‘Semoga di kehidupanmu mendatang, kau ditakdirkan menjadi makhluk hina melebihi hewan menjijikkan karena balasan dari kehidupanmu yang sekarang. Matilah kau dalam penderitaan!’
Itu adalah ucapan terakhir Maia untuk musuhnya yang tengah terlihat menjemput ajal dengan kesakitan yang menyiksa. Tembakan beruntun sebelumnya jelas menjadi perantara Malaikat Maut bagi pria menyedihkan itu.
Maia meninggalkan pria yang nyaris menjadi bangkai itu dan bergegas membopong Mike untuk berdiri.
‘Mike, are you okay?’ tanya Rose pada orang kepercayaannya yang sudah menemaninya selama sepuluh tahun ini.
‘Thank you, Boss. Karenamu aku masih bernapas,’ ucap syukur Mike diiringi tawa ringan.
‘Kau terlalu meremehkanku. Bangunlah, ayo kita pulang sekarang!’ balas Maia sambil mengulurkan tangannya untuk menarik Mike dari tanah.
Namun, saat ia mendongak dan melihat kebelakang, ternyata musuh belum sepenuhnya mati. Pria itu terlihat kesulitan mengarahkan pucuk senjata api ke arah punggung Maia yang membelakanginya.
‘Bos, awas!’ teriak Mike, membuat keduanya berbalik badan, menoleh ke arah musuh.
Namun, terlambat. Peluru musuh sudah menembus dada Maia, membuat bos gangster itu terjatuh ke belakang, tapi Mike menangkapnya.
‘Bos!’ teriak Mike seketika. Pria berusia sepantaran Maia itu berang dan langsung mengarahkan ujung pistol miliknya tepat terarah ke dahi musuh.
‘Argh!’ teriak Mike marah tidak terkendali, menembaki kepala musuh membabi buta hingga tidak lagi utuh berbentuk.
Sampai pistol miliknya tidak bisa lagi menembakkan pelurunya, barulah Mike menurunkan tangannya, beralih memapah tubuh lemah Maia yang tidak berdaya.
‘Bos, bangun. Buka matamu! Lihat aku, Bos!’ Mike mencoba membangunkan Maia yang nyaris memejamkan mata.
‘Jangan berteriak terus, Kau membuatku tuli,’ jawab Maia pelan dan tercekat. Namun, senyumnya masih terukir walau dari bibirnya itu mengeluarkan banyak darah.
Masih sempat ia tersenyum pada Mike yang amat hancur melihatnya seperti itu. Sebelum kalimat terakhir ia loloskan dengan susah payah.
‘Terima kasih telah menjagaku sampai sekarang, Mike. Selamat tinggal…’
Itu kalimat terakhir yang diucapkan Maia bersamaan dengan tubuhnya yang tadi meregang kini tidak lagi menunjukkan pergerakan, saat nafas terakhirnya terhembus hilang dari raganya, membuat kisah Sang Ratu Kematian berakhir.
‘Bos!!!’ Mike semakin menangis hebat sambil memeluk tubuh Maia di pangkuannya.
Suara tangisan Mike menggelegar ke segala penjuru hutan yang menjadi saksi bisu kematian Maia Queen.
Gaung kesedihan orang kepercayaannya itu menembus ruang dan waktu, membuat Ruby terbangun kala tubuhnya sedang merasakan ketenangan air panas dalam bathtub.
Dalam pejaman matanya, semua hal di masa lalu terpampang jelas. Baik itu tentang Maia Queen ataupun Ruby Moon.
‘Seharusnya aku sudah tewas karena tertembak, tapi kenapa saat aku membuka mata, aku malah terbangun di tempat ini?’
Ruby mengepal tangannya kuat. Kulit telapak tangan yang putih mengerut kini berangsur memerah karena nyeri. Ia melakukan itu hanya untuk memastikan kalau yang dirasakannya ini memang nyata. Ya, dia hidup kembali.
“Bukankah ini lelucon, ketika aku terbangun dan menjalani hidup wanita lain?” Ruby bergumam. Matanya kosong saat mengingat hari-hari kelamnya sebagai wanita gangster sampai mati sebagai Maia Queen,.
“Persetan dengan semuanya. Yang penting… aku sudah hidup lagi,”
“Nyonya!”
Ruby terkaget, tangannya refleks bersilang menutupi dada saat seseorang memanggilnya tiba-tiba.
Di ambang pintu berdiri seorang wanita paruh baya, mengenakan seragam pelayan dengan ekspresi terkejut di wajahnya, “Kenapa masih belum selesai, Nyonya? Aku bahkan sudah membereskan pil tidur yang berserakan di lantai,” Mariana bertanya sambil mengomel.
Mariana adalah adalah seorang pelayan yang melayani Keluarga O’Neil selama puluhan tahun. Dia menghabiskan waktu mudanya sebagai pengasuh Juan O’Neil, suami Ruby. Bahkan sampai Juan sudah memiliki putranya sendiri, wanita itu masih setia melayani keluarga itu, tapi kini tugasnya sebagai pelayan Ruby dan pengasuh Leo.
Menurut ingatan Ruby, Mariana adalah satu-satunya orang yang benar merawatnya dengan baik di rumah ini. Meski begitu, sikap Ruby yang angkuh tidak berarti dia membuka hati untuk Mariana. Dibandingkan semua orang, hanya Mariana yang dibiarkan mendekatinya.
“Nyonya, aku ingin bertanya. Apa kau mencoba bunuh diri lagi?”
Ruby makin membisu saat Mariana yang mendekat seolah meminta jawaban pasti. Raut wajah pelayan itu berangsur sayu, kekhawatiran jelas terlukis di wajahnya untuk sang majikan.
Mariana seperti kehilangan kata-kata. Dirinya sudah mencoba yang terbaik untuk menjaga Ruby, memberikan masukan positif dan nasehat tentang kehidupan pada nyonya muda itu. Tapi sayangnya, Ruby terus saja depresi, menyalahkan takdir gila yang terus berputar di benaknya.
“Mariana,” sebut Ruby sambil menyunggingkan senyuman tipis.
Dari memori yang tertinggal, ia tahu tadi malam si pemilik tubuh memang melakukan percobaan bunuh diri lagi, tapi sama seperti sebelumnya, nyawa Ruby masih tertolong. Ia hanya tidak sadarkan diri dengan mulut berbusa.
Lalu, bagaimana Ruby bisa mati dan tubuhnya kini sudah menjadi milik Maia?
Itu karena di ambang kesadarannya, Ruby didatangi satu tamu tidak diundang. Ada seseorang berpakaian serba hitam masuk ke kamarnya lalu menutup wajah Ruby dengan bantal sekuat mungkin, menyebabkan nyawa sang selebriti melayang dengan pasti.
Namun, bagaimana Maia bisa menceritakan kematian Ruby pada orang lain? Apa ada yang akan mempercayainya? Pasti itu akan menimbulkan kecurigaan.
Dahi Ruby berkerut. Jiwa Maia tertekan hidup di tubuh sang selebritis. Sekalipun ingatan Ruby lengkap sampai detik ia meninggal, tapi Maia bisa apa? Maia menyebut situasinya adalah Neraka.
“Nyonya, aku tahu aku sudah melewati batas dengan menanyakan ini. Tapi kumohon, apa memang tidak ada secuilpun sayang untuk Tuan dan Tuan Muda? Biar bagaimanapun, dia hidup dan terlahir dari rahimmu, Nyonya,”
“Terus mencoba bunuh diri tidak hanya menghancurkanmu, tapi juga mereka. Tuan Muda masih terlalu kecil untuk menghadapi dunia yang kejam ini,”
Mariana menangis mengatakan itu, membuat tatapan Ruby mulai intens ke arahnya. Dalam ingatan yang tertinggal, baru kali ini Mariana berani menyebutkan dan mengingatkan tentang anak pada Ruby. Itu karena bukan rahasia lagi di keluarga itu kalau Ruby membenci bayi yang sudah menghancurkan karirnya.
“Aku tahu Nyonya tidak bahagia, tapi apa salahnya Tuan Muda? Dia juga tidak bisa memilih akan dilahirkan oleh ibu yang mana,” Mariana menyambung kesedihan, “Anak sekecil itu bahkan harus menyelesaikan masalahnya sendiri di sekolah tanpa ayah dan ibunya. Bukankah ini begitu berat bagi Tuan Muda Leo, Nyonya?”
Mariana yang tadinya bicara sambil menangis dengan kepala tertunduk, kini memberanikan diri menatap nyonya-nya, “Kumohon, cobalah untuk peduli pada anakmu. Itu akan membuat hatimu lebih baik dan Tuan Muda Leo juga pasti akan bahagia, Nyonya. Cobalah, setidaknya untuk yang pertama dan terakhir kalinya,”
“Tuan Muda berkelahi di sekolahnya. Biasanya tidak begitu. Tuan Muda selalu meminta maaf untuk kesalahan yang dibuatnya, tapi hari ini tidak. Dia sangat marah dan memukul temannya. Aku baru menerima panggilan dari sekolah, tapi aku tidak berani mengatakan ini pada Tuan yang baru pulang, jadi… Kumohon padamu, Nyonya. Cobalah dulu,”
Setelah mengatakan permohonannya, Mariana menunduk. Seolah siap mendengarkan penghakiman berujung hukuman dari Ruby, seorang istri dan ibu yang buruk bagi keluarganya.
‘Aku tidak bisa menyalahkan si pemilik tubuh. Kebahagiaan dan impian yang dikejarnya hancur seketika ketika dia hamil. Lantas, apa alasannya dia tidak membenci suami dan putranya sendiri?’
‘Tapi, sebagai wanita yang menjadi ibu, di mana letak rasa keibuannya? Cih, kau memang wanita menyedihkan sekaligus kejam. Jika kau masih bisa mendengar suara hatiku, dengarkanlah. Hidupmu yang nyaris sempurna ini adalah sebuah impian yang terlalu mahal untuk seorang Maia,’
Tanpa sadar, air mata meleleh di wajah Ruby. Kemarahan Maia atas pilihan hidup yang salah dari Ruby membuatnya kesal setengah mati, memikirkan mengapa ada wanita sebodoh Ruby yang menyiakan hidup yang didambakan Maia.
‘Karena ini adalah hadiah dari Tuhan, maka aku tidak mungkin menyiakannya. Tenanglah kau di atas sana, Ruby. Lihatlah aku yang akan menjadi istri sempurna di hidup kedua ini,’ Maia mengakhiri gumamannya dalam hati.
Kini ia tersenyum lembut sambil meraih tangan Mariana, “Baiklah,” ucapnya singkat.
“B-baik?”
“Ya, aku akan mencoba yang terbaik untuk keluarga ini. Lagipula jiwaku terlalu pahit untuk Malaikat Maut,” ucapnya enteng.
Brenda menatap lurus dengan suaranya yang serak dan lemas, “Aku melahirkannya di usia muda. Aku bukan siapa-siapa waktu itu karena baru diterima sebagai pembantu di keluarga O’Neil,”“Kupikir, menyerahkannya untuk diadopsi adalah yang terbaik, tapi aku terus mencarinya diam-diam. Sampai bertahun-tahun kemudian, aku tahu, di panti asuhan mana anakku dirawat,”“Intinya… Rose White itu anakku,” Ia menunduk dalam, “Aku kira aku bisa memperbaiki semuanya. Tapi aku salah. Dia tumbuh dengan luka, dendam, dan rasa kasihan. Dan aku hanya bisa melakukan sebisaku sebagai ibunya,”“Aku berjanji, akan membawa putriku menjadi Nyonya Muda keluarga O’Neil. Menjadikan dia ratu di keluarga kaya raya itu. Mendekatkannya pada pria impiannya. Meskipun, aku harus membunuh iblis bernama Ruby!”Maia menggenggam tangan Juan erat-erat, seolah tidak ingin ada celah yang membuat Juan diambil siapapun.Jane yang juga hadir di sana sampai menutup mulutnya karena terlalu terkejut mendengar kesaksian ibu tua itu.Br
Senja belum sepenuhnya hilang ketika suara sirine membelah keheningan di kawasan elite tempat tinggal Rose White. Lima mobil polisi berhenti nyaris serempak. Beberapa detektif bersenjata turun dengan sigap, menyebar ke segala arah.Pintu apartemen mewah itu didobrak keras, membuat para penghuni dalamnya terperanjat.“Apa yang kalian lakukan? Ini kediaman pribadi!” jerit Rose dari tangga, mengenakan gaun tidur mewah dan riasan tipis yang belum sempat ia hapus sejak sesi foto siangnya.Tapi para petugas tidak peduli.“Rose White, Anda ditahan atas tuduhan konspirasi penculikan, percobaan pembunuhan, penyalahgunaan obat-obatan dan penyiksaan terhadap saksi kunci. Anda berhak untuk—”“Diam!? Tidak! Kalian tidak punya bukti apa pun!” Rose menggertak, namun suaranya gemetar.Asistennya, Clarissa, mencoba lari lewat pintu samping tapi langsung dihadang. Petugas lain juga berhasil menyergap Jason, sopir pribadi yang ternyata juga mata-mata Rose, dan Benny, mantan satpam rumah Juan O’Neil yang
Pagi itu, seluruh rumah O’Neil seperti ditampar petir.Bukan karena alarm kebakaran. Bukan pula karena Leo mogok sekolah.Tapi karena satu berita yang muncul di seluruh saluran televisi, media sosial, hingga koran pagi…“Terungkap! Karier Rose White Dibangun dari Luka Orang Lain.” “Jejak Kelam, Penyiksaan, dan Rencana Pembunuhan Muncul ke Permukaan!”Semua orang terpaku. Mariana sampai menumpahkan teh yang baru ia tuang.Jane juga menjatuhkan selai stroberi ke rok putihnya.Di layar besar ruang keluarga, ditampilkan potongan video dari sumber anonim yang memperlihatkan Rose White sedang memberikan instruksi kepada seorang pria berhoodie—sosok yang diduga dalang penculikan Leo.Ada juga tangkapan layar pesan-pesan suara yang menyinggung percobaan pembakaran studio, serta transaksi mencurigakan atas nama asisten pribadinya yang kini menghilang.Dunia seperti berhenti, dan di tengah semua itu, sosok yang mendadak panik bukan siapa-siapa selain—Madam Brenda.Wanita besar itu muncul dari
Maia menarik napas dalam."Aku akan diam di rumah, seperti biasa. Tapi aku mau semua sudut rumah Juan dipasangi kamera thermal, motion detector, dan alat penyadap suara micro,”“Sekali saja mereka bicara dengan Rose atau menjawab pesan sandi, kita punya bukti. Kita kirim langsung ke polisi dan media," ucap Maia dingin.Mike menyeringai tipis, "Pola lama, ya? Merebut kepercayaan, lalu menjebak balik."Maia mengangguk, "Tapi bukan itu balasan pamungkasnya."Mike mengangkat alis, "Lalu?"Maia menatap keluar jendela. Angin sore menggoyangkan tirai."Aku ingin dia hidup cukup lama untuk melihat semua orang yang mendukungnya membelot satu per satu. Aku ingin dia menyaksikan kehancuran dari dalam.""Dia akan mencicipi rasanya dijauhi oleh orangnya sendiri, dan untuk itu aku akan mulai dengan satu nama," lanjut Maia sambil menyodorkan secarik kertas kecil berisi nama dan nomor.
Juan masih diam. Tatapannya kosong menembus dinding, seperti sedang mencoba mencernakan semua yang baru saja didengarnya.Pelan-pelan, ia berdiri dari sisi ranjang, berjalan beberapa langkah, lalu membalik badan dan menatap Maia.“Kau sadar tidak…” suaranya berat, nyaris serak, “Dalam waktu singkat, ini sudah kali kedua kau nyaris mati?”Maia menatapnya, tapi tak menjawab.“Pertama kali saat penculikan di wahana permainan. Kau diikat dan disekap, bruntungnya kau bisa kabur dari tempat itu. Lalu, kejadian saat ini.”Dia menggeleng pelan, bahunya turun. Juan lelah dan merasa terpukul, “Sekarang, Leo diculik, kau disandera, lalu gudang meledak, dan aku… baru tahu semuanya setelah kejadian. Lagi-lagi aku datang terlambat. Keduanya, aku tidak bisa berbuat apa-apa.”Suara Juan serak, matanya berkaca-kaca, tapi masih mencoba menahan air mata agar tak tumpah, “Aku suamimu, Ruby. Tapi kenapa aku selalu jadi orang terakhir yang tahu semua ini?”Maia tercekat. Ia tahu kalimat itu berasal dari l
Lorong rumah sakit malam itu riuh. Bukan karena pasien darurat, melainkan karena seorang pria tinggi besar berjas lengkap berlari sambil menjinjing jaket setengah jatuh, ponselnya menempel di telinga, dan wajahnya merah padam.“Di mana anak kesayanganku dirawat?!” teriak Jackson, adik Juan, dengan suara menggelegar.Perawat yang baru saja menaruh berkas langsung gemetar kaget dan menjatuhkan mapnya, “Maaf, Tuan. Anda siapa dan mencari siapa?” tanya perawat itu gugup.“Aku Jackson O’Neil. Keponakanku, Leo, dan istrinya Juan—Ruby—dirawat di sini katanya. Yang katanya hampir meledak! Atau diculik! Atau apalah tadi?!”Perawat itu buru-buru menunjuk lorong sebelah kiri, lalu Jackson langsung melesat ke sana dan hampir menabrak Mike yang baru saja keluar dari ruang rawat sambil membawa segelas air putih.“Hei, kau?!” seru Jackson, menahan langkah, “Kau… bodyguard itu, kan?”Mike menoleh, “Aku punya nama, bro.”Jackson menyipitkan mata. “Aku juga punya pertanyaan. Sejak kapan kau terus lengk