LOGINRuby melambaikan tangan ke depan wajah Mariana yang masih termangu menatapnya, “Halo, aku sudah mengatakan aku siap. Itu artinya jangan hanya diam di sini dan cepat buatkan sarapanku. Aku akan berdandan dan melihat orang gila mana yang menyakiti putraku,”
Mariana memandang wanita yang kini tersenyum cantik padanya. Wanita paruh baya itu selalu yakin kalau Ruby adalah wanita baik yang selalu menyimpan rahasia dalam diam, termasuk kasih sayangnya pada Leo. Akan tetapi masalahnya saat ini adalah…
“Tapi, Nyonya. Pertemuan orang tua jam delapan pagi tadi dan ini sudah hampir jam makan siang,” dengan ragu Mariana harus menyampaikan ini.
‘Brengsek. Padahal aku ingin mematahkan leher orang tua mana yang memarahi anakku,’ gumamnya kesal, tapi ia harus menyimpan itu di hadapan Mariana, “Kalau begitu tolong siapkan makanan, aku lapar,” ujarnya pada sang pelayan yang segera beranjak dari sana.
Ruby melangkah keluar dari bathup menuju kamar pakaian. Bibirnya tertarik lebar melihat banyak deretan pakaian bagus, aksesoris mahal, permata berkilauan, dan tas juga sepatu branded. Ia senang melihat kemewahan itu.
Bukannya mata duitan, tapi Maia Queen bukalah gangster miskin. Harta dunia seperti itu bukan hal asing baginya, dan saat melihat semua kemewahan ini ada di hidup keduanya, Maia kembali berterima kasih. Setidaknya dia tidak perlu belajar menjadi orang miskin tanpa apapun.
Dalam ingatan Ruby, suaminya selalu mengganti pakaian lama dengan edisi terbaru ketika setiap kali melihat istrinya berdandan. Ruby tahu akan hal itu, tapi tetap saja kebenciannya pada Juan membuatnya acuh dengan semua pelayan, perhatian, dan kasih sayang padanya.
“Suami yang menyayangi dan juga kaya. It’s perfect! Dan sekarang, semua ini milikku,” gumam Ruby senang. Tapi beberapa detik kemudian dahinya berkerut, “Tidak ada hitam?”
Seperti dunia dan hidupnya, warna hitam sudah seperti bagian darinya. Nyaris seumur hidupnya sampai meninggal, Maia selalu menghiasi tubuhnya dengan serba hitam. Karena apa? Karena hitam mengalahkan semua warna termasuk darah. Darah yang tidak terlihat menutupi kelemahannya.
“Tapi baiklah, ayo coba lebih ceria,” ucapnya lagi tanpa memusingkan apapun. Ruby meraih beberapa baju dengan warna soft. Memakainya dan dipadukan dengan beberapa aksesoris cantik. Ruby berkaca, meliuk-liukkan tubuhnya lalu tersenyum lebar.
“Ternyata kau cantik sekali… Meski tidak secantik Maia, tapi ini juga boleh,” sambungnya memuji sambil memegangi wajahnya, “Tapi sekarang semuanya milikku, jadi mari tinggalkan style lama Ruby menjadi style keren Maia,”
Ruby mulai berdandan, mulai mewarnai wajah dan merias rambutnya dengan gaya baru, jauh dari yang biasa si pemilik tubuh tunjukkan pada orang rumah. Definisi cantik setelah bangun dari kematian, penampilan Ruby sekarang adalah kecantikan yang tegas dan berani.
“Semuanya sempurna, Ruby. Wajah cantik, popularitas, suami dan anak yang sempurna. Mungkin kemalangan-mu ini adalah berkah untukku. Aku tidak perlu bersusah payah memanjat karir, mencari cinta pria kaya, atau melahirkan anak. Semua sudah lengkap, aku hanya harus memperbaiki lubang yang selalu kau gali dan menutupnya dengan hal baik,”
Ruby tersenyum penuh arti memandangi keseluruhan penampilannya yang baru. Bersamaan dengan bagian-bagian ingatan tentang masa lalu si pemilik tubuh yang otomatis muncul saat Ruby melakukan setiap hal. Ingatan itu terhenti pada Leo yang malang, membuat senyum Ruby surut.
“Anak yang malang. Bagaimana bisa ada anak yang terlahir dengan alasan pernikahan konyol itu? Ayahnya terobsesi cinta sang ibu tapi ibunya lebih memilih reputasi. Sial. Ayah dan ibumu sangat egois, Nak,”
Kemirisan dirasakan Maia untuk putranya Ruby, “Tapi sekarang semuanya akan berubah, Leo. Ibumu akan berubah karena akulah orangnya,” gumamnya lagi, “Dan hal pertama yang akan kulakukan adalah… ke dapur!”
***
“Apa-apaan ini? Apa yang kalian lakukan di depan sini?” seorang pelayan tua berdiri dari kejauhan, mengerutkan dahi saat melihat beberapa koki dapur malah berdiri di luar dapur seperti menonton sesuatu dari tempat mereka biasa bekerja.
“Anu, Madam…” salah seorang koki menggaruk kepalanya saat wanita tua yang dipanggil Madam Brenda mendekatinya, “I-tu karena ada Nyonya di dapur. Nyonya sedang memasak,”
“Apa?!” Madam Brenda terkejut. Wanita yang lebih tua dari Mariana itu adalah kepala pelayan di rumah ini. Semua pelayan tunduk atas perintahnya, setidaknya selama lima tahun terakhir, saat Ruby tidak peduli apapun tentang keadaan rumah tangganya.
Mendengar sang nyonya memasak seperti mendengar kabar matahari terbit dari Barat. Ekspresi wanita itu mengundang para koki membuka jalan untuknya, menunjukkan situasi dapur di mana hanya ada Ruby di dalam sana.
Madam Brenda masih belum percaya, jadi dia menggosok matanya, berharap apa yang dilihatnya adalah salah. Tapi setelah itu, nyatanya sang nyonya masih sibuk di depan kompor bahkan sambil menyanyi.
Madam Brenda menoleh pada para koki, “Ini bukan lelucon?” tanyanya konyol dan tentu saja semua koki menggeleng cepat dengan keheranan yang sama.
Lipatan kerutan di dahinya semakin bertambah saat memikirkan sesuatu, “Apa yang sedang dipikirkannya? Apa dia sudah gila karena terus gagal mati?”
Gumaman pedas itu bukan hal aneh lagi, mengingat perangai Ruby yang memang tidak pernah melakukan apapun di dapur. Jangankan untuk anak dan suaminya, bahkan untuk makanannya saja harus Mariana yang mengantarkan ke kamar lalu membujuk sang nyonya makan.
‘Dia pasti merencanakan sesuatu,’ batin Madam Brenda yang masih curiga. Kepala pelayan itu mulai berjalan pelan mendekati Ruby. Dia harus benar-benar tahu apa yang sang nyonya lakukan.
Dengan nada dingin mendominasi, Madam Brenda bertanya, “Nyonya Muda, kau sedang apa di sini?” tanyanya, yang membuat Ruby menghentikan gerakannya mengaduk tepung dan daging ayam di mangkuk.
‘Lalu kau siapa? Berani sekali kau bertanya padaku dengan nada seperti bos?’ gumam kesal Maia saat menatap tajam Madam Brenda. Melihat wanita tua itu membuat ingatan Ruby tentangnya muncul.
‘Statusmu sama dengan Mariana, hanya berbeda tugas. Tapi kau lebih sombong, seolah kau adalah penguasa rumah,’ Bibir Ruby sedikit tertarik memandangi Madam Brenda, ‘Orang sepertimu memang pintar, tapi kau licik dan licin seperti belut.’ sambungnya mencibir dalam hati.
“Apa matamu perlu kutambahkan dua lagi? Kau tidak lihat aku sedang apa?” tanya Ruby sambil memicingkan matanya, “Aku sedang membuat makanan untuk putra dan suamiku,” ucapnya dengan percaya diri.
Tidak hanya Madam Brenda yang kaget mendengar ucapan pedas Ruby, tapi koki di luar dapur juga. Bagaimana mungkin nyonya yang seperti intan permata, dingin, dan tidak peduli apapun bisa bicara sepanjang itu dan terdengar menusuk telinga.
Namun, bagi Madam Brenda kalimat Ruby adalah penghinaan untuk statusnya sebagai pengatur rumah itu. Wajahnya menegang menahan kesal, “Tapi, Nyonya. Tuan dan Tuan Muda tidak makan sembarangan. Jadi, biarkan koki saja yang memasak,” ujarnya tegas.
‘Katakan itu untuk Ruby, bukan padaku!’ kesal Maia dalam hati. Ia meletakkan spatulanya sampai berdenting ke mangkuk, “Baiklah,” ucapnya singkat.
‘Semudah itu?’ tanya bingung Nyonya Brenda dalam hati, ‘Ya, kau memang seperti itu. Kau itu hanya permata mahal tanpa guna,’ sambungnya mencibir. Tapi, cibiran itu akan berubah setelah mendengar kalimat majikannya.
“Aku tahu anak dan suamiku tidak makan sembarangan, untuk itulah Juan membayar koki mahal seperti kalian. Tapi katakan di mana salahku kalau aku ingin membuat makanan untuk anak dan suamiku sendiri? Siapa yang paling mengerti tentang Juan dan Leo selain aku?” tanya Ruby dengan lantang.
Wajah semua orang pucat karena takut. Bagaimana mungkin wanita yang diam selama lima tahun belakangan bisa seperti ini sekarang? Itulah yang ada di benak semua orang termasuk Madam Brenda.
“Anda-lah yang paling mengerti Tuan dan Tuan Muda, Nyonya,” jawabnya mencari aman, sekalipun wajahnya yang memerah menahan kesal bisa dilihat Ruby dengan jelas, “Tapi aku hanya takut kalau Nyonya akan melukai tangan Nyonya yang lembut. Sejak tiba di rumah ini, Nyonya tidak pernah ke dapur, kan?” sambungnya yang berbau cibiran.
“Itu rasa peduli atau sedang mencibirku?”
‘Boom!’
Satu kalimat lagi dari Ruby membuat semuanya semakin takut. Seperti lemparan bom kemarahan, semua orang berharap bisa lolos dari situasi ini. Madam Brenda terbungkam tanpa bisa menjawab. Kini wanita tua itu menunduk.
“Baiklah, aku selesai di sini. Kalian buang saja makanan yang sudah kubuat untuk Juan dan Leo,” ucapnya sambil berjalan melewati Madan Brenda, “Tapi nanti aku akan membuat keluhan tentang siang ini pada suamiku,” sambungnya lagi keluar dari dapur dengan langkah santai.
Nyonya rumah itu bisa merasakan tatapan sinis dan kebencian Madam Brenda di belakangnya, tapi sekali lagi, dia tidak peduli.
Maia Queen sudah hidup selama tiga puluh tahun dengan banyak kebencian musuh sampai akhir hidupnya. Jadi, apa yang Ruby hadapi dalam hidupnya itu hanya sepotong roti bagi Maia.
Setelah pemotongan kue selesai dan para tamu mulai larut dalam musik serta jamuan malam, Ruby menyelinap keluar dari kerumunan. Di balkon samping aula, ia menemukan Maia berdiri seorang diri, memandang lampu-lampu kota yang berkilauan di bawah langit malam.Ruby melangkah pelan mendekat, ujung gaunnya bergemerisik lembut, “Aku tahu kau akan sembunyi sebentar,” katanya pelan, menyandarkan diri di pagar balkon, “Pasti kurang nyaman ketika kau berada di tengah banyak orang yang bukan musuh yang harus dibunuh, melainkan tamu undangan pernikahanmu sendiri.”“Itu pujian atau ejekan?” Maia menoleh dan tersenyum kecil, “Kau hafal kebiasaanku dari ingatanku sendiri. Itu curang namanya.”“Bukan curang. Anggap saja aku mantan ‘rekan kerja’ sekaligus sahabat setengah gilamu, haha. Tentu saja aku akan tahu,” Ruby menimpali sambil tertawa ringan.Untuk sesaat keduanya terdiam, menikmati semilir angin malam. Suasana terasa hangat meski kata-kata tak banyak terucap.“Ruby,” Maia membuka suara lagi, na
Setelah tepuk tangan mereda, MC kembali maju dan mengangkat mikrofon.“Baiklah, sebelum kita memotong kue, mari kita dengarkan ucapan dari orang-orang terdekat kedua mempelai. Keluarga, sahabat, atau siapa pun yang merasa punya pesan khusus, silakan maju ke depan!”Seketika suasana menjadi riuh. Semua mata tertuju pada deretan meja tempat para sahabat dan keluarga inti duduk.Ruby, yang sejak tadi duduk tenang dengan senyum menawan, berdiri pertama kali. Gaun anggunnya berkilau di bawah lampu kristal.Ruby melangkah ke panggung dengan langkah pasti, mengambil mikrofon dari MC.“Pertama-tama, selamat untuk kalian berdua,” ucapnya, menatap Maia dengan tatapan yang hanya bisa dimengerti oleh dua wanita yang pernah berbagi rahasia besar.“Maia, aku tahu betapa sulit perjalananmu sampai di sini. Dan Juan…” Ruby menoleh pada Juan, bibirnya melengkung nakal, “…terima kasih sudah mendenga
Hari ini di Aurum Royale Hotel sedang diadakan sebuah acara yang begitu meriah. Pasalnya, hari ini merupakan hari pernikahan putra sulung keluarga O’Neil dengan seorang wanita yang kisah hidupnya telah mengguncang dunia.Tentu saja, itu adalah Juan O’Neil dan Maia Queen.Sejak pagi, aula megah hotel telah dipenuhi tamu undangan yang datang dari berbagai kalangan. Bukan hanya para pebisnis ternama, tetapi juga tokoh-tokoh penting keamanan negara, serta beberapa kolega Blood Lotus yang secara mengejutkan hadir dengan senyum tulus.Hari bahagia ini menjadi bukti bahwa semua luka dan rahasia kelam yang pernah mengitari hidup mereka perlahan menemukan tempat untuk disembuhkan.‘Ya! Sebelum kue pernikahan kita potong, izinkan aku mengajak seluruh tamu undangan untuk bersama-sama mendengarkan doa terbaik untuk kedua mempelai yang berbahagia ini!’MC acara itu berhasil membuat suasana aula semakin riuh oleh tepuk tangan.
"Kenapa kau datang?" Maia langsung bertanya pada Juan. Kini mereka duduk berdua di tempat sebelumnya, di mana Juan mendapati Maia dan Isac tadi.Maia berbohong, ia tidak mengajak Juan ke kamarnya untuk menemui Maia, tapi mengajak Juan untuk bicara berdua."Pertanyaan apa itu? Setelah berbulan-bulan lamanya hanya kalimat itu yang kau tanyakan padaku?" Juan memprotes, "Maia, kau kenapa? Apa kau tidak merindukanku?" sambungnya berucap lembut sambil menarik tangan Maia untuk digenggam."Kenapa kau selalu menghindariku saat menelepon Leo? Salahku apa, Maia?" Juan kembali bertanya."Bukan kau yang salah, tapi aku," Maia menjawab dan membalas tatapan Juan, "Aku yang salah karena sebelumnya berharap banyak darimu." Sambungnya."Apa maksudmu?""Aku salah karena berharap banyak darimu. Aku terlalu besar kepala dan percaya diri kalau kau mengerti perasaanku.""Aku memang mencintaimu, walaupun perasaan itu kusadari lambat dan aku belum mengucapka
"Ini semua karena kau yang membuat rumit Bos. Untuk apa kau mengatakan pada Luca kalau Bos bisa didekati?” Mike menjawab sambil terkekeh, “Tunggulah kemarahan Bos. Aku tidak ikut-ikutan.” Ejeknya.“Aku juga.” Sylas menambahkan.“Apalagi aku. Aku mau pergi, ada urusan. Bye, Axel.” Icarus lebih memilih menghindar dari sana daripada ikut menjadi sasaran Maia.“Aku tamat." Axel menepuk jidadnya sendiri menyesali kebodohannya."Tuan Mike, siapa pria itu?" ayah Luca bertanya heran."Dia–," ucapan Mike terhenti, tapi kali ini bukan karena Axel, melainkan Juan sendiri."Aku Juan O'Neil, pemilik O'Neil Corporations dan The Galaxy dari MineTown. Pasti nama perusahaan kami masih asing terdengar di Semenanjung Thai, khusunya Distrik Tujuh," Juan menjawab dengan bangga, "...dan aku datang untuk membawa pulang calon istriku." sambungnya lagi.Senyuman simpul terlihat di bibir Mike dan rasa tenang terlihat sekali dari wajahnya."Tuan O’Neil, duduklah. Kau pasti lelah," Mike menyambut Juan, “Di mana
Luca mendengkus napas kasar sambil tersenyum miris, "Itu alasan kuno, Maia. Mana mungkin perempuan muda sepertimu memiliki anak yang usianya lima tahun. Kenapa tidak sekalian saja kau mengatakan kalau kau sudah memiliki suami? Kau konyol." sambungnya berucap miris."Aku–,""Dia memang sudah punya anak berusia lima tahun. Dia bahkan sudah memiliki calon suami yang akan menjemputnya kembali ke MineTown."Ucapan Maia terpotong dengan suara berat pria yang sepertinya ia kenal. Maia menoleh ke belakang, tempat di mana sumber suara berasal."J-Juan? Kau di sini?" sebutnya gagap. Luca ikut menoleh ke belakang dan mendapati ada seorang pria yang berdiri sambil menggendong seorang anak laki-laki yang tertidur di pelukannya."Sedang apa kau di situ? Bangunlah dan bawa anak kita ke dalam. Pinggangku hampir patah karena sepanjang jalan menggendong Leo yang tertidur." pria yang memang benar adalah Juan menyambung kalimatnya dengan omelan khasnya.Mendengar omelan itu membuat Maia langsung bangkit







