"Melody?" Wajah itu tampak kaget, karena memang aku tak bilang jika hari ini aku datang."Assalamualaikum, Wa." ulangku mengucapkan salam."Eh, sampai lupa balas salam. Wa'alaykumussalam warahmatullah ...Hayo, Mel masuk." ajaknya.Aku pun masuk ke rumah dimana dulu aku sering main ke sini sepulang kuliah. Banyak kenangan yang begitu manis disini. Masa-masa menjadi Mahasiswi yang tak akan terulang lagi. Dulu sewaktu Ibunya Salwa masih hidup, dia sangat senang saat aku datang."Ibu kepengen kamu jadi mantu Ibu lho, Nak." aku hanya menanggapi dengan senyum malu. Secara Ka Hamzah, anaknya yang merupakan Abang dari Salwa juga ada disana."Ih, Ibu, orang masih kuliah kok!" sahut Salwa."Tapi, kalau Melody mau sama Kak Hamzah, sih. Salwa seneng banget. Iparku adalah temanku." lanjutnya sambil cengengesan dengan mata melirik ke arahku. Bisa dibayangkan wajahku memerah malu, saat itu. Lelaki didepanku juga tak membantah, malah ikut melebarkan senyuman."Heh! ngelamun!" Salwa menepuk pundakku.
Aku dan Salwa saling pandang. Rasanya malu jika masalah rumah tanggaku diketahui oleh Kak Hamzah yang lamarannya pernah ditolak Ayah karena Ayah sudah terlanjur menyetujui perjodohanku dengan Mas Hendra."Nanti aku ceritakan, Kak."sahut Salwa yang membuat laki-laki itu mengangguk-anggukkan kepala."Baiklah, silahkan. Nanti, Kakak akan tidur di mesjid sekalian bantuin Mang Eman disana.""Maafkan saya, Kak." lirihku."Tak apa-apa. Nikmati pertemuan kalian." sahutnya kemudian berlalu ke kamarnya.Salwa melempar senyum padaku, seolah berkata semua baik-baik saja. ***Aku sudah rebahan di kamar Salwa. Kamar yang begitu mengundang kenangan."Mel, kamu sudah ngasih tau Ayahmu?"Salwa memang sudah kenal dekat dengan Ayah."Jangan dulu lah, Mel. Aku ingin menenangkan diri sejenak."Salwa pun mengangguk lalu tersenyum. Tak lama dia keluar, sedangkan aku memejamkan mata. Lelah sekali rasanya.Aku terbangun ketika matahari sudah terbenam."Mel, bangun dulu, yuk udah adzan. Nanti kita makan baren
POV Hendra"Dek ...! tunggu! Mas bisa jelaskan." Melody tak menghiraukan panggilanku. Perempuan yang telah kunikahi selama setahun itu terus berlari keluar kamar hotel, jelas kulihat matanya penuh luka. Air mata juga deras mengalir di pipi. Ya Allah, apa yang telah aku lakukan. Seharusnya aku punya keberanian untuk berterus terang pada Melody. Tapi, rasa malu lebih mendominasi. "Kamu kemana, Ndra?" tanya Ata dengan wajah cemas, wajar saja proses pengobatan baru saja akan dilakukan. Tapi, aku sudah bersiap hendak pergi.Merapikan baju yang tadi sempat dibuka. Melody pasti berpikiran aneh-aneh melihat keadaan ini."Aku mau menyusul Melody?" jawabku singkat."Lalu gimana dengan Ki Ageng?" Aku tak menjawab. Dengan cepat mengemas semua barang-barang milikku. Tak banyak, hanya tas kerja berisi satu stel baju ganti dan ponsel yang masih terhubung ke charger-nya."Jangan terburu nafsu, Nak. Selesaikan dulu semuanya. Nanti jika jin jahat yang telah masuk ke dalam tubuhmu saya musnahkan. Bar
"Saranku lebih baik kamu berterus terang. Jangan sampai Melody melihat sendiri apa yang kamu lakukan dikamar itu.""Tak mungkin Ras, kuncinya selalu aku bawa. Melody tak akan pernah bisa masuk ke sana."Rasti tertawa mengejek."Kamu kira Melody wanita bod*h? seorang wanita bisa melakukan apa saja ketika dia merasa dirinya teracam, atau merasa ada sesuatu yang harus dia ketahui." tuturnya."Gampang mencari tukang kunci lalu memasang kamera di rumah yang sudah menjadi daerah kekuasaannya itu, Ndra!" lanjut Rasti.Aku memijit kening. Kepalaku mulai terasa sakit. Sangat sakit, hingga aku berjalan sempoyongan dan akhirnya muntah di toilet. Saat itulah aku diberikan sapu tangan oleh Yogi, kain segi empat milik Rasti yang kemudian membuat Melody menaruh curiga pada Rasti. Sejak perkataan Rasti itu aku mulai menelisik setiap sudut, aku melihat sebuah benda aneh menempel di plafon. Sekilas tak akan tampak, tapi jika diperhatikan dengan seksama, sangat jelas itu sebuah kamera mini.***Semua b
"Benar apa yang dikatakan Widya, Hendra!" bentak Papa ketika aku baru saja menjatuhkan bobot tubuh di sofa. Mama tampak tersedu. Ada Mbak Widya disamping Mama.Aku memilin jari jemari, mengusir takut dan malu yang saling tumpang tindih."Jawab!" teriak Papa lantang.Terkaget, mataku mengarah tepat pada mata Papa. Lalu kembali menunduk, menetralkan detak jantung yang sudah tak karuan."Iy-iya, Pa." desisku."Astaghfirullah, Hendra ..." raungan Mama terdengar menyayat hati."Siapa yang mengajak kamu seperti itu, Ha!" lantang suara Papa membahana.Aku menatap Mbak Widya, ragu. Tapi Mbak Widya justru buang muka, seakan jijik melihatku."Dulu waktu Hendra masih duduk dikelas dua SD, Hendra melihat Mama dan Papa, melakukan aktivitas malam." lirihku."Ya Allah ..." Mama makin tergugu.Sedangkan Papa mengusap wajahnya kasar, lalu terduduk lemas di sofa. Memang tak ada yang salah, saat itu kami tak se-berjaya seperti sekarang ini. Hidup di sebuah petakan. Rumah dengan tiga sekat, yang digunaka
"Hendra yang salah, Pa." sahutku."Sekiranya Papa dari dahulu becus menjadi seorang Ayah, tentu kalian tak akan hidup susah. Dan ini semua tak akan terjadi." suara Papa bergetar,Seumur-umur baru kali ini aku melihat air mata Papa mengalir deras."Papa memang payah!" rutuk Papa sambil menutup wajahnya dengan kedua tangan. Begitu pun Mama, tangisnya kian kencang."Sudah, Pa. Semua sudah berlalu, kini gimana caraagar rumah tangga Hendra bisa kembali utuh." ujar Mbak Widya menenangkan Papa."Utuh? memang apa yang terjadi?" tanya Papa kaget.Mbak Widya menatapku cemas. Sepertinya dia belum cerita jika Melody kabur dari rumah."Melody pergi, Pa." cicit Mbak Widya kemudian."Ya Allah ..." Suara Papa bergetar pilu."Ya Allah, Ndra, kamu sudah cari Melody, Nak? kamu harus mendapatkan dia kembali. Mama banyak salah. Mama berdosa pada Melody." Mama terisak.Melihat air mata dari orang-orang yang kusayangi, hati ini terasa ditusuk ratusan pisau, sakit."Iya, Ma. Hendra akan mencari Melody.""Ap
Aku menajamkan penglihatan, foto yang di kirim Ata, berulangkali aku zoom. Dari sisi mana pun perempuan itu sangat mirip dengan Melody. Tanganku gemetaran.Ya Allah, apa Melody tertekan, stres lalu berubah menjadi perempuan seperti itu?"Ta, kamu masih di sana? tolong ikuti perempuan itu." Aku langsung melakukan panggilan telepon kepada Ata. Ga ada waktu lagi untuk berkirim pesan."Ga, Ndra. Dia sudah naik sebuah mobil mewah dan meluncur cepat. Aku ga sempat memperhatikan karena keberadaannya ada diseberang jalan."Aku mendengkus. Gimana cara menyelidikinya kalau begini?"Jadi, hanya foto itu aja, Ta?" "Iya, sorry, Bro. Aku juga ga nyangka istri kamu yang berkerudung itu nekat mengubah penampilan seperti itu.""Bukan, Ta! itu bukan Melody! Melody tak mungkin menjadi wanita ga bener! dia wanita yang tau agama." kilahku. Tak terima Ata menghakimi Melody seperti itu."Maaf, Ndra. Aku pikir setahun kamu abaikan dia, membuat jiwanya sakit. Apalagi setelah kesalahanpahaman yang terjadi di
Setengah jam berlalu, rasa sakit sudah mulai hilang, walau berat dibagian tengkuk masih aku rasakan. Jam ditangan menunjukkan angka dua. Aku belum sholat. Gegas aku menyalakan mobil dan meninggalkan tempat itu. Tak jauh dari rumah Ayah Melody, ada mesjid. Aku akan sholat dulu disana. Walau sudah lewat waktunya. Mesjid sudah sepi, hanya beberapa driver ojek online yang rebahan di pelataran bangunan suci itu. Tak apa yang penting berniat untuk beribadah. Tak lupa berdoa agar masalah ini cepat teratasi.Usai sholat aku kembali melanjutkan perjalanan. Tinggal beberapa jarak lagi aku akan sampai dirumah mertuaku. Ingin kesana, tapi takut jika Ayah Melody akan terpancing emosinya. Tapi, aku penasaran apakah Melody ada disana atau tidak. Khawatir jika Ayah menyembunyikan anak perempuannya itu karena kecewa padaku. Mengingat itu aku melajukan mobil ke sana, mengintai dari jauh.Rumah minimalis itu tampak sepi, tapi pintunya terbuka lebar. Dua buah mobil parkir di depan rumah Ayah Dahlan. Yang