Hari berganti menjadi malam, pesta pernikahan yang melelahkan telah usai. Saka membawa perempuan yang kini baru saja menjadi istrinya pulang ke rumah baru mereka. Setelah membersihkan diri, Arum masuk ke kamar utama. Ia menghembuskan napas lega karena akan segera beristirahat. Langsung saja, ia merebahkan tubuhnya di kasur tanpa menunggu Saka yang masih berada di kamar mandi.
Pintu kamar mandi terbuka, sosok Saka yang sudah mengenakan piyama mengerutkan keningnya, lalu berjalan cepat menuju kasur. Saka menarik pergelangan tangan Arum membuat perempuan itu membuka matanya dan terduduk. “K-kenapa, tuan?” tanya Arum takut-takut. “Kenapa? Kenapa, kamu bilang? Berani-beraninya kamu tidur di kasur! Siapa yang mengizinkan kamu tidur di kasur?!” bentak Saka membuat Arum tertegun, masih tak mengerti dengan perlakuan Saka yang jadi kasar seperti ini. “Saya ga sudi tidur di bekas kamu! Ganti sprei sama bedcovernya, sekarang! Ambil yang baru di lemari.” Saka mendorong Arum menuju lemari, membuat perempuan itu terhuyung dan hampir terjatuh. Mematuhi perkataan Saka, Arum segera mengambil sprei dan bedcover baru lalu mengganti yang lama dengan yang baru. “Bagus. Sekarang kamu keluar, terserah mau tidur di mana. Ah, tapi... Saya ga mau kamu tidur di kamar tamu, atau di sofa, karena saya ga mau tamu saya gatel-gatel nanti. Kamu paham, kan?” Arum diam dengan kepalanya yang menunduk, membuat Saka geram dan menoyor kepalanya. “Kamu punya kuping ga, sih? Ngerti, ga?!” tanya Saka sekali lagi. Arum mengangkat kepalanya lalu mengangguk. “Bagus. Keluar sana!” Tanpa mengatakan apapun, Arum berbalik dan keluar dari kamar utama. “Kalau ga boleh tidur di sofa, terus di mana?? Di lantai?” gerutu Arum dengan langkah kakinya yang berat. Karena sudah lelah dan malas untuk memikirkan tempat untuk tidur, Arum merebahkan tubuhnya di karpet yang ada di ruang keluarga. Besok ia akan pikirkan lagi tempat yang lebih nyaman. Matanya perlahan terpejam lalu tertidur. Waktu berlalu dengan cepat, matahari mulai naik menandakan hari berganti menjadi pagi. Mata Arum perlahan terbuka ketika merasakan sesuatu mengenai kakinya, rupanya itu adalah kaki Saka yang menendang-nendangnya. “Heh, bangun!” “Bisa cepet, ga?!” bentak Saka membuat Arum segera berdiri dan berhadapan dengannya. “Dasar pemalas! Udah jam setengah enam dan kamu masih tidur dengan nyenyak? Perempuan macam apa kamu?” omel Saka seraya berjalan menuju dapur, Arum dengan wajah cemberutnya mengekor di belakang Saka. “Memangnya tuan sudah kerja? Ga ada cuti nikah?” tanya Arum. “Kerja! Buat apa juga saya di rumah sama kamu?” balas Saka segera, membuat Arum semakin heran dan bertanya, apakah selama ini sifat suaminya memang kasar. “Yasudah aku buatin sarapan dulu, sebentar ya.” Arum berjalan cepat mendului Saka, ingin segera melihat isi kulkas. “Ga perlu! Saya ga mau makan masakan kamu,” cegah Saka membuat Arum menatapnya dengan bingung. Arum mengikuti langkah kaki Saka menuju meja dapur, memperhatikan tangan lelaki itu yang mengambil gelas dan bubuk susu dari dalam toples. “.. Tuan mau buat apa?” tanya Arum membuat tatapan dingin Saka kembali tertuju padanya. “Punya mata ga? Kamu ga liat saya lagi bikin apa?” balas Saka ketus. “Kenapa ga minta dibikin aja, tuan? Maaf kalau saya telat bangun,” ucap Arum, suaranya merendah takut akan dimarahi lagi. “Biar saya aja tuan, ah-“ Arum meringis ketika Saka menumpahkan air panas pada tangannya yang hendak meraih gelas susu milik lelaki itu. “Saya ga minta kamu buat bikinin susu, kan?” ucap Saka acuh, tak peduli dengan Arum yang sedang meniup-niupi tangannya, Saka kembali membuat susu. “Ngapain masih di sini? Sana!” usir Saka membuat Arum segera berbalik dan kembali ke ruang keluarga. Setelah selesai membuat susu, Saka kembali masuk ke kamarnya dan keluar saat jam sudah menunjukkan pukul setengah tujuh untuk berangkat ke kantor. Suasana ini benar-benar membuat Arum bingung, ada apa sebenarnya, kenapa Saka terlihat begitu membencinya. Membuang semua pikiran itu, Arum menutup pintu depan dan bersiap untuk berangkat kuliah. Setibanya di kelas dan memulai pelajaran, Arum kehilangan fokusnya karena bayang-bayang Saka yang terus terlintas di pikirannya, berulang kali ia mencoba untuk tidak memikirkannya, namun sia-sia, Saka selalu saja mengganggu pikirannya. Dan itu sangat mengganggu dirinya. Tanpa terasa, waktu telah menunjukkan jam pulang, dan semua kegiatan panjang di kampus hari ini selesai. Arum mengeluarkan ponselnya dan segera memesan ojek online, untuk mengantarnya pulang ke rumah. Setibanya di rumah, Arum berjalan lesu menuju pintu masuk, tenaganya terkuras cukup banyak hari ini. Ketika hendak pergi ke dapur, langkah Arum terhenti ketika menyadari ada seseorang di ruang keluarga, ia menoleh dan mendapati sosok Saka yang sedang duduk santai di sofa, bersama seorang wanita yang tengah merangkul lengan lelaki tampan itu. “Akhirnya datang juga, sini!” panggil Saka membuat Arum yang masih tertegun berjalan perlahan mendekatinya. “Beliin saya makanan, saya mau ayam sama burger. Kamu mau apa, sayang?” tanya Saka pada perempuan di pelukannya, membuat Arum membelalakkan matanya, merasa ada yang janggal. “Pizza!” sahut perempuan di samping Saka dengan senang. “Kamu dengar, kan? Jangan lupa beli pizza. Ayo cepet beli, kasihan pacar saya udah lapar,” titah Saka, kali ini entah mengapa air mata jatuh begitu saja dari pelupuk mata Arum. “Malah nangis... Ayo cepet berangkat!” bentak Saka membuat Arum segera berbalik dan berjalan cepat menuju pintu keluar. Arum mengeluarkan ponselnya dan memesan apa yang Saka perintahkan tadi, supaya ia tidak perlu jauh-jauh pergi ke restoran. Ia akan menunggu di depan rumah. Belum sempat meraih pegangan pintu, Arum tersentak ketika seseorang mengetuk pintu. Setelah menghapus air mata di pipinya, Arum segera membuka pintu dan mendapati sosok Bima dan Dewi berdiri di depan pintu. “Malam Arum, maaf ya papah sama mamah datang malam-malam. Boleh papah masuk?” Bima melenggang masuk ketika Arum menganggukkan kepalanya. “Arum, kamu nangis? Kenapa? Kamu diapain sama Saka?” Arum menoleh dengan cepat ketika Dewi menyentuh lengannya, ia menggeleng tak ingin mertuanya tahu apa yang terjadi. Seketika Arum teringat pada Saka yang ada di ruang keluarga, bagaimana jika papah melihatnya sedang bersama dengan seorang perempuan. Arum menggandeng lengan Dewi dan berjalan menuju ruang keluarga dengan perasaan gelisah. Dan benar saja, Saka dan kekasihnya yang masih sibuk bermesraan terkejut bukan main ketika Bima tiba-tiba memasuki ruangan. Keduanya dengan cepat duduk dengan tegak dan berjauhan. Tak lama, keduanya berdiri dan berjalan menghampiri Bima. “Ada apa, pah? Tumben malam-malam ke rumah,” tanya Saka lalu menyengir, jujur saja saat ini jantungnya berdegup dengan kencang, takut dengan ekspresi Bima yang sedang menatapnya dengan curiga. “Kalian abis ngapain? Kenapa panik gitu papah ke sini?” tanya Bima curiga. “Panik? Hahaha, siapa yang panik pah? Aku cuma kaget aja papah tiba-tiba masuk. Biasalah, aku lagi bahas kerjaan sama sekretaris aku. Ya kan, Clar?” Saka berbalik dan menatap Clara, setelah saling bertukar pandang, Clara menatap Bima lalu mengangguk setuju. “Ngapain sampai datang ke rumah? Ga bisa dibahas besok saja di kantor? Ini juga sudah malam,” cecar Bima. “Ga bisa pah, ini penting buat meeting besok,” sahut Saka. Mata laki-laki itu naik menatap Arum yang baru saja memasuki ruangan dengan kesal. “Saka, siapa yang kamu lihat dengan tatapan seperti itu? Kamu ga boleh seperti itu,” tegur Bima membuat Saka memutar mata malas dan menatap lantai. “Clara, saya rasa kamu bisa pulang, hari sudah semakin malam, berbahaya kalau terlalu larut.” Mendengar ucapan Bima, Clara mengangguk lalu berpamitan pada yang ada di ruangan, perempuan itu melenggang keluar dari rumah. Arum yang sedang membuatkan minuman merintih kesakitan ketika Saka tiba-tiba datang dan mencengkeram pergelangan tangannya dengan kuat. “Kenapa kamu ga cepet-cepet nyamperin saya waktu papah datang? Sengaja biar saya ketahuan sama papah? Iya?” bisik Saka. Cengkeramannya pada kedua tangan Arum menguat, membuat perempuan itu kembali merintih kesakitan. Fokus Arum kini bukan pada Saka, melainkan pada orang tua Saka yang sedang berjalan menuju dapur. Tak ingin mertuanya berpikir macam-macam, Arum memutar otak dan berpikir, bagaimana caranya agar mertuanya berpikir ini adalah pernikahan yang harmonis. Arum berjinjit dan mengecup bibir Saka, membuat laki-laki itu membelalak dan menatapnya tak santai. “Maaf... Ada papah sama mamah,” bisik Arum membuat Saka segera menoleh, menatap orang tuanya yang tersipu malu melihat keduanya. Keheningan yang ada di ruangan itu berakhir ketika seseorang tiba-tiba menekan bel, membuat semua menoleh ke arah pintu depan. “Biar papah yang buka,” ucap Bima seraya melangkah untuk membukakan pintu. Tak lama, papah kembali dengan makanan yang Arum pesan tadi. “Kalian pesan makanan?” tanya Bima seraya meletakkan makanan di meja makan. “Ah, iya... Itu, Arum ga sempet masak, terus Arum lagi kepengen banget makan ayam katanya. Karena aku ga bisa masak, jadi kita pesen,” sahut Saka membuat Bima dan Dewi saling menatap sebentar, lalu kembali menatap Saka dan Arum. “Jangan-jangan.. Arum udah isi?? Wah, cepet banget! Kamu langsung gaspoll? Kasian Arum nya, Ka,” celetuk Bima membuat Saka menaikkan satu alisnya. “Dulu mamah ngidam waktu hamil tua sih, kamu langsung ngidam ya, hihi,” tambah Dewi seraya tertawa kecil. “Engga, engga... Bukan begitu.” Saka mengangkat kedua tangannya di depan dada, tidak ingin orang tuanya salah paham. “Ah, jangan malu-malu! Kabar baik itu harus segera diberitahukan,” sahut papah. “Tapi memang engga, pah! Hentikan. Lagian nikah juga belum tiga hari.” Saka melenggang melewati orang tuanya dan masuk ke kamar, enggan mendengar apa yang akan dikatakan selanjutnya oleh Bima dan Dewi.Sudah tiga hari berlalu sejak malam itu, malam di mana Arum hampir pergi meninggalkan Saka. Meski berkata akan tetap berada di rumah, Arum nyaris tak berkata apa-apa pada Saka. Di tengah amarahnya yang masih menumpuk pada Saka, Arum tetap menyempatkan untuk menyiapkan sarapan serta keperluan Saka di pagi hari. Meski dengan wajah ketus, ia tetap mencium punggung tangan Saka sebelum lelaki itu berangkat ke kantor.Sore ini, Saka yang baru saja tiba di rumah berjalan cepat menuju pintu utama. Begitu menginjakkan kaki di rumahnya, ia berjalan cepat sembari menoleh ke sana kemari mencari sosok Arum. Langkahnya terhenti di dapur ketika melihat sosok yang ia cari sedang mencuci piring-piring kotor. Saka menatap punggung istrinya yang sibuk mencuci piring dengan tatapan yang perlahan melembut, ada kesedihan dari raut wajah lelaki itu. Ia kembali menegakkan tubuhnya ketika Arum mulai menyadari kehadirannya dan perlahan berbalik menatap dirinya.Saka menggaruk tengkuknya dan menyengir dengan
Nico berdiri kaku dalam suasana hening yang tak mengenakkan itu. Tegangan antara dirinya dan Saka terasa begitu menyesakkan. "Kamu suka sama istri saya?" Pertanyaan itu terlontar tajam, suara Saka meninggi membuat Nico tersentak.Nico menghela napas perlahan, lalu menggeleng. "Engga, Sa. Jangan salah paham. Maaf, aku minta maaf karena udah lancang pegang tangan Arum.""Itu tau lancang, kenapa masih kamu lakuin? Awas ya, kalau sampai saya liat lagi kamu pegang-pegang istri saya, saya pecat kamu!" hardik Saka seraya menatap garang pada Nico, napasnya memburu menahan emosi.Berbeda dengan Nico yang menurut dan menganggukkan kepalanya, Arum kini menatap Saka dengan tatapan sangat kesal. "Kenapa sih selalu kayak gitu? Kenapa selalu seenaknya sama orang? Punya hati ga sih?!" Usah mengatakan itu dengan lantang, Arum berjalan cepat masuk ke dalam rumah. Saka memijat pelipisnya yang terasa sakit lalu berdecak kesal, pandangannya beralih menatap genangan air kolam sembari memikirkan apa yang
Saka diam, sesekali menatap arah lain dan memikirkan jawaban apa yang harus ia berikan pada Arum. Pandangannya kembali tertuju pada Arum ketika perempuan itu memegang lengannya dan mengulangi pertanyaan yang sama. "Tuan, jawab saya! Apa maksudnya perkataan tuan tadi?!" Saka mengembuskan napas berat, lalu dengan ragu menjawab pertanyaan Arum. ".. Semua yang kamu dengar barusan, itu benar." ".. Maksud tuan, tuan yang menyebabkan masalah yang menimpa ayah saya sampai ayah saya masuk ke rumah sakit jiwa? Dan tuan juga berencana untuk menghancurkan hidup Sarah??" Saka diam sebentar, lalu mengangguk mengiyakan dugaan Arum. Arum menggigit bibirnya, jantungnya berdegup kencang. Saka yang mulai bisa ia percayai, Saka yang mulai bisa mengambil perhatian serta hatinya, serta Saka yang ia anggap sebagai orang yang bisa melindunginya, ternyata adalah orang yang telah menghancurkan keluarganya. Rasanya seperti dunia tiba-tiba runtuh di hadapannya. "Kenapa?? Kenapa tuan ngelakuin itu sama kel
"Dokter, istri saya?? Istri saya ga papa, kan??" Saka hampir berlari mendekati dokter, bertanya dengan penuh harap. Dokter itu mengangguk pelan, lalu memberikan senyuman tipis. "Syukurlah operasi berjalan dengan lancar. Luka tusukan ibu sangat dalam, namun kami berhasil mengatasi semuanya. Ibu sekarang sudah bisa dipindahkan ke ruang rawat intensif. Namun, karena anestesi dan kondisi tubuhnya yang masih lemah, ibu mungkin akan membutuhkan waktu untuk sepenuhnya sadar." Meski rasa cemas belum sepenuhnya menghilang, Saka dan Nico menghela napas lega, merasa akhirnya semua akan baik-baik saja. "Terima kasih, Dokter. Tolong pastikan istri saya baik-baik saja." "Tenang, kami akan terus memantau kondisi pasien. Yang terpenting adalah ibu sudah melewati masa kritis. Sebentar lagi ibu akan dibawa menuju ruang rawat intensif, dan bapak sudah boleh untuk membesuk ibu," jawab dokter itu sambil memberi anggukan, lalu berjalan pergi. Setelah menunggu sebentar, Saka kembali memandang Arum yang
Nico tiba di hadapan Saka, wajahnya panik menatap kondisi Arum yang tak baik-baik saja. "Kamu cari orang yang udah berani nusuk istri saya, Nic! Dia lari ke arah sana!" Titah Saka seraya menunjuk arah lari pelaku. Segera, Nico mengangguk dan berlari ke arah yang Saka tunjuk. Saka mengangkat tubuh Arum yang terhuyung lemah dan berlari menuju jalan utama. Ia berlari menuju kumpulan taksi yang menunggu pelanggan, lalu segera masuk ke dalam salah satu taksi. "Rumah sakit, cepet!" teriaknya panik. Di dalam taksi, Saka menggenggam tangan Arum yang semakin dingin dengan cemas, ia tak tahu harus berbuat apa. Semua perasaan takut, khawatir, dan panik bercampur menjadi satu ketika memandang wajah Arum yang semakin pucat. Sesampainya di rumah sakit, Saka segera membawa Arum menuju ruang gawat darurat. Dengan napasnya yang masih terengah-engah, Saka berdiri di luar ruangan dengan wajah penuh kecemasan. Lelaki itu berjalan mondar-mandir sembari sesekali melirik ke arah pintu ruangan deng
Saka menggeleng-gelengkan kepalanya seraya tersenyum simpul, tak habis pikir dengan tingkah Sarah yang jauh berbeda dengan kakaknya, Arum. Sudah beberapa hari ini, Sarah terus-menerus mengirim pesan padanya, berharap bisa bertemu lagi, berharap bisa melanjutkan apa yang sudah mereka mulai. Senyum itu perlahan memudar, tergantikan tatapan datar yang saat ini tengah menatap layar ponsel. Perasaannya mulai lelah dengan permainan ini. Di layar itu, tertera nama Sarah yang tercatat di daftar kontaknya. Dengan mantap, jari-jarinya bergerak, dengan sekali ketukan ia memblokir nomor Sarah. Ponsel di tangannya kini terasa lebih ringan, seolah sebuah beban telah hilang begitu saja. Saka menghela napas, menatap layar ponselnya yang gelap. Tidak ada lagi pesan masuk dari Sarah yang mengganggu. Pandangan Saka kini tertuju pada Arum yang terbangun, perempuan itu mengucek matanya lalu menguap dengan tangan yang menutupi mulutnya. Matanya yang masih setengah terbuka melirik ke arah Saka dan te