"Keadaan tuan Jafran sangat parah, organ hati Tuan Jafran tertusuk besi dari mobil. Lalu dua rusuk tuan Jafran juga patah, yang satu mengenai sisi jantungnya dan yang satu mengenai paru-parunya. Kepalanyapun terluka cukup parah, keadaan Tuan Jafran benar-benar memprihatinkan."
"Astagfitulloh Jafran...."
Raungan Bunda Ayu terdengar pilu mendengar keadaan Jafran yang begitu parah. Jefri dan Ayah Danupun tak bisa berkata apapun saat ini.
"Kami tidak tahu apakah ini keajaiban atau memang tekad tuan Jafran yang tinggi. Biasanya keadaan separah itu banyak pasien yang tak bertahan lama, tapi Tuan Jafran masih cukup sadar. Kami pun tak bisa berbuat banyak saat ini."
"Apa maksud dokter? Adik saya pasti baik-baik saja. Jangan hanya bicara sembarangan. Lakukan apapun untuk adik saya, lakukan operasi sekarang."
Bentak Jefri yang muak mendengar perkataan Dokter tentang pendeknya harapan hidup seseorang. Mengingatkannya pada masa lalu, saat istrinya divonis hal yang sama.
"Kami memang bisa melakukan operasi, tapi banyak risiko dan kami harus meminta persetujuan sebagai perjanjian keluarga siap menerima hasil apapun dari operasi ini. Karna operasi ini tak main-main, apalagi dengan kondisi rusuk yang dekat dengan jantung, yang bahkan jika salah bergerak sedikit bisa melukai jantung tuan Jafran. Dan kita tak akan bisa mempunyai harapan lagi."
"Lakukan sekarang, lakukan apapun demi adik saya sembuh,” pinta Jefri.
Dia bahkan belum bertegur sapa lagi dengan adiknya saat mereka ribut minggu lalu dan sekarang keadaan adiknya seperti ini.
"Lakukan operasinya dok,” pinta Ayah Danu akhirnya setuju, bagaimanapun sekecil apapun harapan hidup anaknya. Setidaknya mereka sudah berusaha.
"Baiklah kalau begitu,” ucap dokter akhirnya.
"Dok, pasien sudah siuman dan meminta bertemu dengan keluarganya,” beritahu Suster keluar dari ruang ICU
"Saya akan mempersiapkan ruang operasi, silahkan keluarga untuk bertemu tuan Jafran sebelum dilakukan operasi,” titah Dokter.
Bunda Ayu mencoba menguatkan hatinya dan masuk ke ruangan ICU bersama sang suami yang terus menguatkannya.
Perban melilit di banyak tubuh anaknya. Kaki, perut, dada bahkan kepalanya dan bahkan perban itu penuh dengan darah, membuat Bunda Ayu rasanya tak sanggup melihat keadaan putranya.
"Jafran,” panggil Bunda Ayu dengan suara yang serak dan akhirnya air matanya luruh kembali.
"Bunda, jangan nangis,” cicit Jafran, dia paling tak suka melihat air mata Bundanya luruh.
"Kamu pasti bisa bertahan sayang,” ucap Bunda Ayu sambil menggenggam tangan Jafran dengan lembut.
"Anak Ayah pasti kuat,” ucap Ayah Danu mencoba tak ikut menangis.
"Maaf, belum bisa membanggakan kalian. Jafran sayang Ayah dan Bunda,” cicit Jafran dengan suara lemahnya.
Tubuhnya begitu terasa linu, walaupun rasa sakitnya tak terlalu terasa. Karna Jafran yakin obat penahan rasa sakit pasti diberikan padanya dengan dosis tinggi.
Dia ingat kalau dia bahkan telah melaju pelan saat dalam perjalanan pulang karna hujan deras, tapi truk di depannya menabrak mobil lain dan dia sudah berusaha mengelak tapi mobil dibelakangnya menabrak mobilnya dan membuat bagian depan mobilnya menabrak belakang truk besar itu.
"Jangan ngomong gitu, kamu kebanggaan kami Jafran, kamu lebih dari membuat kami bangga,” ucap Bunda Ayu sambil mencium tangan sang putra sayang.
"Bunda, Ayah, Jafran punya permintaan, boleh?" tanya Jafran dengan suaranya yang tercekat.
"Apa, Nak?” tanya Ayah Danu dan Jafran dengan perlahan memberitahukan apa permintaannya kepada kedua orang tuanya.
Bunda Ayu terus menangis saat keluar dari ruangan ICU, permintaan anaknya malah membuatnya semakin ketakutan saat ini.
"Jef, adik kamu pengen ngomong. Kamu masuk sekarang, sana,” titah Ayah Danu dan Jefripun masuk ke ruangan Jafran.
"Bang.” panggil Jafran dengan suara mencicit.
"Kamu pasti bakal sembuh dek,” ucap Jafran.
Jafran tersenyum, dia sangat rindu panggilan 'Dek' dari Kakaknya itu.
"Rasanya sakit banget, gak sanggup,” cicit Jafran, karena rasa sakit itu perlahan mulai Jafran rasakan, bahkan menggerakan tangannya sedikitpun dia butuh perjuangan.
“Bentar lagi kamu dioperasi, nanti pasti gak sakit lagi, kuat,” pinta Jefri, menggenggam tangan Jafran.
"Bang, boleh aku minta sesuatu dari abang?" tanya Jafran.
"Apa? Minta apa? Pasti abang kabulin."
Jefri tak akan mengecewakan adiknya lagi, Jefri janji akan mengabulakan keinginan adiknya.
"Tolong nikahi Hanna kalau aku——sampai meninggal."
Jafri seketika tertegun, kenapa harus permintaan seperti itu yang diminta adiknya.
"Kamu pasti sembuh, kamu yang bakal nikah sama dia."
Tapi gelengan kecil kepala adiknya membuat Jefri tertegun takut.
"Tolong gantiin aku buat jaga dan sayangin dia, Hanna gak punya siapa-siapa lagi. Zey juga butuh sosok ibu dan Hanna adalah wanita yang tepat menjadi ibu Zey dan dia juga pasti bisa jadi istri yang baik,” jelas Jafran susah payah.
Tapi keterdiaman Kakanya yang Jafran dapatkan sekarang, Jafran juga sadar kalau permintaannya ini pasti hal yang sulit Jefri kabulkan.
Jafran jadi ingat ,semalam tiba-tiba Zeyva datang ke kamarnya. Meminta untuk tidur bersamanya dan permintaan Zey semalam yang tak dapat dijawabnya dapat dia jawab sekarang.
"Om Jafran kenapa mau nikah cama Bunda Hanna?" tanya Zey tiba-tiba saat Jafran sedang mencoba menidurkannya.
"Bunda Hanna kamu itu baik, cantik dan Sholehah. Jadi Om mau nikah sama dia,” jawab Jafran.
"Ohh, Om ghimana kalau cali lagi adjah yah talon istli yang lain,” ucap Zeyva tiba-tiba.
"Eh, kok gitu?"
"Zey mo'on, bialin Bunda Hanna jadi Bunda Zey benelan,” pinta Zeyva pada Jafran.
"Hey, walaupun Bunda Hanna nikah sama Om. Kamu tetep bisa anggap Bunda Hanna Bunda kamu, nanti kamu tinggal sama Om sama Bunda Hanna,” bujuk Jafran pada ponakannya itu.
"Ndak mau, kacian Ayah. Ayah nanti cendilian, telus nangis diem-diem cambil liat foto Mama Zili."
Jafran tak tahu jika Kakanya masih menangisi Kakak iparnya sampai sekarang, memang secinta itu Kakaknya pada Kak Zilia, wanita cantik dan lembut yang mampu menaklukan hati dingin Kakaknya.
"Om kan ganteng, pasti banak yang cuka. Jadi boleh yah Bunda Hanna jadi Bunda Zey benelan. Bialin Bunda Hanna nya nikah cama Ayah, ya Om ya? Om Cali aja Tante yang yain, pleace,” pinta Zeyva dengan penuh harapan menatap Jafran dengan pandangan polosnya dan saat itu Jafran jelas tak bisa menjawab permintaan keponakannya itu.
Tapi sekarang Jafran akan mengabulkan keinginan Zeyva, karna Jafran merasa waktunya di dunia ini tak akan lama lagi dan dia akan memberikan apa yang keponakannya inginkan.
“Tolong, nikahi Hanna,” pinta Jafran sekali lagi membuat Jefri tertegun.
Dia ingin memastikan ada yang melindungi Hanna dan menjaganya, juga memberikan kebahagiaan pada keponakannya. Mau bagaimanapun nantinya hubungan Kakaknya dan Hanna, semoga mereka mendapatkan sebuah kebahagiaan, hanya itu harapan Jafran saat ini.
*
*
*
*
“Iya, Hanna istri saya,” beritahu Jefri."Tunggu, maksud bapak Hanna Kintara? Bukanya Hanna calon istri almarhum pak Jafran?" tanya Juna bingung."Ini urusan pribadi keluarga saya, tak bisa saya jelaskan kenapa saya menikahi Hanna. Saya hanya dengar bahwa kamu teman Hanna saat kuliah dulu, mungkin kamu masih berhubungan baik dengan Hanna. Karena itu saya mau bertanya, apa kamu tahu keberadaan Hanna atau tahu siapa teman perempuan Hanna yang lain?" tanya Jefri tanpa mau repot-repot menjelaskan semuanya pada Juna.Saat itu Juna masih kaget dengan informasi ini, tapi dia jelas tak bisa ikut campur masalah keluarga Kusuma ini, keluarga yang memberikannya pekerjaan."Setahu saya Hanna tak mempunyai teman dekat perempuan satupun, saya dulu telat kuliah karena itu satu angkatan dengan Hanna. Saya ingat dia dulu fokus belajar agar nilainya tak jatuh dan beasiswanya di cabut, karena itu Hanna juga lebih sering mengambil kerja part time bila mempunyai waktu kosong jadwal kuliahnya, beberapa kali
“Jangan-jangan Hanna sudah kembali ke rumahnya, aku coba ke sana lagi kalau begitu.”Jefri segera saja pergi meninggalkan makam, tapi baru saja masuk ke dalam mobil tiba-tiba saja ponselnya berdering dan ternyata itu dari ibunya.“Assalamualaikum, Bun.”“Waalaikumsalam, Jef tolong kamu cepat pulang sekarang juga,” pinta Bunda Ayu.“Kenapa Bun?”“Zeyva sakit, badannya panas karena dia nangis terus dan gak mau makan,” beritahu Bunda Ayu membuat Jefri kaget.“Terus sekarang gimana Bun?”“Nangis terus nanyain Hanna dan kamu? Apa Hanna sudah ketemu?” tanya Bunda Ayu.“Belum Bun.”“Hah.” Bunda Ayu terdengar menghela nafas.“Ya sudah kamu pulang dulu saja, siapa tahu Zeyva bisa tenang sama kamu,” pinta Bunda Ayu.“Iya Bun, Jefri ke sana juga sekarang,” ucap Jefri yang akhirnya membatalkan niatnya ke rumah Hanna lagi karena berbeda arah dan segera pulang ke rumah.Putrinya lagi-lagi sakit karena merindukan Hanna, dan sekarang Hanna pergi karena dirinya. Jefri semakin merasa bersalah, karena s
Jefri pagi itu sudah pergi ke rumah Hanna, tapi karena hari Senin otomatis Jefri kembali terjebak macet, sedangkan dia tetap harus ke kantor, walau sudah meminta jadwal paginya dikosongkan pada sekretarisnya.Karena sekarang Ayahnya sudah lepas tangan dengan perusahaan, beliau memilih kembali mengelola restoran bersama Bunda Ayu, setelah kepergian Jafran.Saat dia sampai di depan rumah Hanna, suasana terlihat sepi dan Jefri segera saja turun dan mengetuk pintu rumah Hanna.“Hanna, apa kamu di dalam? Hanna ini aku Jefri, suami kamu,” teriak Jefri di depan pintu karena tak dibukakan juga, bahkan saat Hanna mencoba membuka pintu ternyata terkunci.“Apa mungkin Hanna gak pulang ke sini?”Jefri jelas kebingungan, akan ke mana Hanna jika bukan ke sini, karena ini rumahnya satu-satunya.“Eh tong Lu, cari siapa?” tanya seorang Ibu-ibu.“Saya sedang mencari istri saya Bu, Hanna. Pemilik rumah ini,” jelas Jefri.“Oh, Elu ternyata suaminya si Hanna, tapi perasaan agak beda sama yang dulu suka da
“Ya Allah, apakah aku hanya beban? Hiks, hiks,” isak Hanna, mengadu pada pemilik-Nya.Air mata itu terus berlomba keluar dari matanya, walaupun Hanna terus menyekanya, bahkan dadanya terasa begitu sakit dan sesak.Dia hanya beban bukan dan beban sudah harusnya pergi dari kehidupan Jefri.Dengan tangan bergetar Hanna melepaskan pecahan kaca yang tertancap cukup dalam di kakinya.Hanna berdiri dengan tertatih lalu pergi ke arah kamarnya, memesan taksi lalu membawa tas yang berisi barang pentingnya dan tak lupa dia meninggalkan kartu ATM pemberian Jefri diatas nakas dekat tempat tidur.Dia hanya ingin menenangkan hatinya, dia perlu waktu sendirian, dia masih bisa hidup tanpa Jefri dan kekuasaan juga uangnya.Setelah membalut kakinya dengan tisu dan memakai sepatunya, Hanna meninggalkan kamar yang dia tempati selama satu bulan ini.Rumah sedang sepi karna pembantu yang memang berada di paviliun belakang jika siang hari. Zeyva juga sedang jalan-jalan bersama kakek neneknya dan Hanna bersy
Hanna masih duduk termenung di atas kasur, terus melirik ke arah pintu penghubung ke ruang kerja Jefri. Ini sudah pukul setengah dua belas, tapi suaminya belum keluar juga keluar dari ruang kerjanya.“Mas Jefri mungkin marah dan memilih tidur di sana, tapi di sana tak ada sofa panjang, hanya ada kursi kerja tak mungkin dia di sana terus, kan?” gumam Hanna kebingungan.Sampai tiba-tiba saja terdengar suara pintu dibuka dan ternyata Jefri keluar dari ruang kerjanya dan dia kaget melihat Hanna belum tidur."Kamu belum tidur?” tanya Jefri kaget."Mas, maaf soal kata-kataku tadi. Bukan aku mau menyinggung soal statusku, tapi memang aku ngerasa gak layak buat kamu kasih kartu itu, karna aku bahkan gak melayani kamu sebagai istri yang baik, bukan karena mau diakui atau bagaimana,” jelas Hanna, dia tak mau Jefri terus marah padanya.Jefri saat itu menghela nafasnya, dia tadi pergi untuk berpikir dengan tenang. Memang dia sadar apa yang Hanna katakan benar soal statusnya yang sebagai istri yan
Hanna dan Zeyva sedang menunggu kedatangan Jefri yang berjanji akan menjemput mereka dari sekolah saat ini, tapi sudah setengah jam sejak sekolah Zeyva selesai Jefri belum juga menjemput. Untung Zeyva masih betah bermain dengan teman-temannya, bermain dengan penuh gembira walau satu persatu dari mereka telah pulang.Tapi Hanna agak merasa risi dengan tatapan para ibu-ibu yang juga menemani anaknya karna tahu Hanna menantu baru keluarga Kusuma saat keluarga itu baru kehilangan anggota keluarganya. Apalagi jika mereka tahu seharusnya Hanna menikah dengan Jafran, mungkin mereka akan semakin ribu membicarakannyat.Saat itu satu jam berlalu dan teman Zeyva terlihat sudah pulang semua, hingga kini Zeyva berlari ke arahnya."Bunda, Ayah mana?" tanya Zeyva merengek kesal."Sabar sayang,” ucap Hanna lalu membawa Zeyva ke pangkuannya."Biasanya supir yang jemput Zeyva, Bu Hanna. Yakin pak Jefri yang sibuk bisa jemput, saya bahkan hanya pernah melihatnya sekali ke sekolah ini,” ucap salah satu
Malam sudah larut, tapi suaminya itu belum juga kembali ke rumah, Ayah mertuanya yang pulang lebih dulu bilang suaminya sedang lembur. Walau Hanna sadar dia tak dianggap sebagai istri oleh Jefri, tapi tetap saja ada rasa khawatir dalam hatinya. Karena dalam pandangan hukum dan agama, dia adalah istri Jefri walau suaminya tak mengakuinya.Bahkan kini Hanna sudah bersiap untuk tidur dengan Zeyva, putri sambungnya ini ingin selalu bersamanya dan Hanna jelas tak keberatan, malah sangat bersyukur dengan begini dia tak perlu berduaan hanya dengan suaminya di kamar ini.“Bunda, Ayah kenyapa belum pulang?” tanya Zeyva.“Mungkin Ayah masih lembur, Zey tidur ya sama Bunda, besok kan sekolah,” pinta Hanna.“Iya. Bunda.”Saat itu baru saja Hanna membaringkan Zeyva, saat pintu kamar akhirnya terdengar dibuka dan Zeyva bahkan langsung duduk kembali.“Ayah,” teriak Zeyva senang melihat Jefri yang akhirnya pulang.“Hai, putri Ayah, belum tidur?” tanya Jefri, menyimpan tasnya di atas nakas.“Beyum, ak
Jefri saat itu sadar dengan apa yang dia katakan, karena memang kenyataannya Zilia adalah istrinya dan Ibu dari Zeyva. Bagi Jefri istrinya tetaplah Zilia, walau dia telah meninggal dan kini menikah dengan Hanna. Karena baginya Hanna bukanlah istri yang dia inginkan, dia hanya mau Hanna untuk bisa menjadi Ibu Zeyva.“Iya, dia memang istriku. Zilia, Ibu kandung Zeyva,” tegas Jefri.“Lalu aku apa?” cicit Hanna, bertanya pada dirinya sendiri lebih tepatnya tapi Jefri masih bisa mendengar yang Hanna katakan.“Kita memang belum membicarakan soal pernikahan ini berdua dan mungkin ini kesempatan aku mengatakan yang sesungguhnya,” ucap Jefri.“Maksud Mas apa? Membicarakan apa?” tanya Hanna bingung.“Jangan pernah berharap lebih Hanna,” ucap Jefri membuat Hanna kaget, tapi dia mulai mengerti maksud Jefri sekarang.“Kamu jelas tahu kenapa kita bisa menikah, ini bukan keinginanku. Aku hanya melakukan permintaan adikku dan semuanya demi Zeyva, karena dia menginginkan kamu jadi ibunya. Karena itu ja
Gaun pengantin yang harusnya dia kenakan untuk pernikahannya dan Jafran sekarang telah dia gunakan tapi untuk menikah dengan orang lain, yakni dengan Kakak calon suaminya yang telah meninggal, Narendra Jefri Kusuma tepat 2 minggu setelah kepergian Jafran.Matahari pagi sudah mulai meninggi, Hanna dengar penghulunya sudah datang. Dia kembali menarik nafas dalam, menghalau air mata yang ingin terjatuh, tapi akhirnya air mata itu tetap mengalir karena rasa sesak dalam dada yang tak bisa hilang.“Jafran, hari ini aku akan menikah sesuai dengan wasiat yang kamu tinggalkan. Aku akan menikah dengan Mas Jefri dan menjadi Ibu untuk Zeyva, seperti keinginan kamu. Aku harap kamu tenang di sana, jangan mengkhawatirkan aku lagi,” ucap Hanna menatap bayangannya di cermin."Bunda,” panggil Zeyva yang datang ke kamarnya.Calon putri sambungnya begitu cantik, mengenakan gaun putih dengan rambut yang digerai setengahnya. Hanna segera menghapus air matanya, lalu mendekat pada Zeyva."Ada apa sayang?" tan