"Ayo duduk dulu aja di depan, biar enak ngomongnya," sahut Kak Tuti. Ia berusaha membawaku ke depan.
Kami akhirnya duduk, tak kecuali Lusi ia juga ikut duduk di sampingku walau kedua tangannya tak mau lepas dari lenganku."Jadi gini San, sebetulnya istri kamu itu mulai gila sejak anakmu meninggal." Kak Tuti mulai bicara lagi.Teg. Bagai ditebas parang tajam, hati dan persendianku langsung lemas dan ngilu, sejurus kemudian detak jantungku langsung naik frekuensinya."Apa? Anakku meninggal? Yassir maksud Kakak?" Setengah tak percaya aku bertanya.Kak Tuti menganggukkan kepala, wajah dan sorotnya kini terlihat sangat sedih, sementara itu ibuku yang bicara."Iya Sandi, Yassir udah meninggal, maaf kami gak kasih kamu kabar soal ini karena kami takut kamu syok dan malah gak fokus kerja di sana, karena Ibu pikir kamu masih akan 3 tahun lagi kerja di Taiwan."Aku menggeleng tak percaya, bisa-bisanya ibuku berpikir demikian."Ibu ini ngomong apa? Mungkin Ibu juga tahu gak ada yang lebih penting bagi seorang ayah selain hidup anaknya. Dan harusnya kalian juga tetep beritahu Sandi soal kabar duka ini," ujarku menatap mereka serius.Ibu dan kak Tuti tak bicara lagi, mereka saling diam menundukan kepala."Emangnya kenapa Yassir meninggal? Apa dia sakit?" Aku bertanya lagi meski persendianku masih terasa lemas mendengar kabar meninggalnya anakku.Ibuku meremas jari-jemarinya, di samping beliau kak Tuti seperti memberi ibuku kode, entah apa yang sedang mereka maksudkan aku juga tidak paham."Kenapa diem, Bu?""Dia tenggelam saat mandi di sungai," jawab Kak Tuti tanpa ragu."Apa? Tenggelam?" Mataku membulat. Rasa syok memenuhi rongga dadaku hingga aku merasakan sesak yang teramat.Kupegangi dadaku untuk sedikit meredakan rasa nyeri ini.Jauh-jauh aku pulang ingin bertemu anakku dan ingin menghabiskan banyak waktu dengannya, sekarang mereka bilang anakku tenggelam dan sudah meninggal? Ya Allah bagaimana bisa semua itu terjadi.Dan istriku? Sekarang istriku juga gila, ada apa ini? Kenapa semuanya terjadi secepat ini?Kugosok kepalaku dengan kasar, kini pandanganku juga berkabut karena genangan air mata yang tak bisa kutumpahkan di depan mereka.Sementara di sampingku Lusi terus saja menggeleng-gelengkan kepalanya, entah apa yang ia maksudkan tapi besar dugaanku sepertinya ia sedang menyangkal kesaksian ibu dan kak Tuti, entahlah."Iya bener, Yassir tenggelam saat sedang main, saat kami mencarinya tahu-tahu dia sudah ditemukan mengambang di sungai," ucap Kak Tuti lagi."Eng--gak, enggak," sahut Lusi pelan dengan suara bergetar dan kaku.Mendengar Lusi bicara ibu dan kak Tuti menatap istriku tajam, tapi tak lama raut wajah mereka berubah manis saat mereka menyadari aku tengah memperhatikan gerak-gerik mereka.Ibuku lalu bangkit dan mengambil tempat duduk di kursi dekat Lusi."Udahlah Lusi, yang sudah terjadi biarkanlah terjadi, ikhlaskan saja, gak usah dipikirin lagi, kamu jadi stres begini 'kan akhirnya?" kata beliau lembut seraya mengelus rambut Lusi yang ikal dan acak-acakan."Iya kasihan Lusi, kami udah coba kasih dia pengertian tapi ya gimana? Namanya juga seorang ibu mungkin jiwanya sangat terguncang." Kak Tuti menimbrung lagi dengan nada suara sama lembutnya."Eng--gak, enggak," bisik Lusi pelan, dapat kurasakan ia amat ketakutan saat berada di dekat ibuku."Lusi ini emang begini, kadang-kadang dia ketakutan, kadang-kadang dia ceria senyum-senyum sendiri, ya--begitulah gak salah 'kan kalau kami bilang dia gila?" kata Ibuku lagi.Aku diam saja, aku ingin tahu sebetulnya ada apa di balik kabar berita yang membuatku syok ini.Anakku meninggal mendadak, sementara Lusi tiba-tiba terguncang jiwanya, saat aku baru saja datang kulihat ibu dan kakakku tengah menyiksa istriku tapi sekarang mereka terlihat sangat baik dan lembut, entahlah ada apa di balik semua ini."Sebetulnya Ibu juga mau marah, siapa sih yang gak merasakan sakit saat cucu nya kecelakaan sampai meninggal begitu? Entah ini keteledoran Lusi sebagai ibunya atau bahkan kami sebagai keluarganya, tapi yang jelas kami sangat sedih dan menyesal atas kepergian Yassir," ujar Ibuku lagi.Aku masih tetap diam menyimak. Tapi tak lama kuputuskan untuk membawa Lusi beristirahat saja karena kulihat istriku sudah benar-benar ketakutan di dekat ibu."Udah sekarang Sandi mau istirahat dulu, kasihan Lusi, tolong beresin kamarnya dan balikin lagi kasurnya kayak dulu," titahku sambil memijit kening.Ibu dan kak Tuti tak segera beranjak."Kenapa diem?" tanyaku lagi."Anu itu loh San, kasur kamunya itu loh udah rusak, waktu itu disobek-sobek sama Lusi waktu dia lagi ngamuk," jawab Ibu.Aku menyeringai lalu melirik ke arah Lusi. "Enggak enggak," katanya. Hanya itu yang sejak tadi ia ucapkan padaku, entah maksudnya apa."Ya udah Sandi tidur di kamar Lula aja."Aku akhirnya bangkit membawa istriku ke kamar Lula--adik bungsuku.Di kamar itu, kutenangkan Lusi, kuberi dia minum, kusisir rambutnya dan kugantikan bajunya."Nanti kita mandi ya, sekarang kita ngobrol dulu," ucapku seraya membetulkan anak rambut yang menghalamgi mata Lusi.Lusi mengangguk, sementara air matanya terus saja bercucuran membasahi pipinya yang dekil."Kenapa bisa begini sih Lus? Kenapa Lusi gak pernah cerita sama Abang kalau Yassir meninggal? Seminggu lalu kita masih teleponan kan?" ucapku pelan, amat pelan agar Lusi tidak merasa ketakutan.Tapi Lusi hanya diam, ia tak menjawab atau pun bicara dan yang lebih membuatku tak tega itu kadang-kadang sorot matanya kosong, kadang-kadang ia juga menangis.Padahal aku sudah ada di sini, apa sebegitu beratnya beban pikiran Lusi sampai ia tak fokus begini?"Lusi udah makan belum?" tanyaku.Ia menggeleng pelan. "Pagi udah makan belum?" Aku memastikan lagi.lagi-lagi ia menggelengkan kepala. "Belum dapat jatah," jawabnya pelan nyaris tak terdengar.Aku terhenyak, belum dapat jatah? Ya Allah kasihan istriku, sudah sore masa iya dia belum juga diberi makan sama ibu.Atau apa jangan-jangan selama ini keluargaku memang memperlakukan Lusi seperti ini? Pantas saja badannya sampai kurus kering begini."Kenapa gak minta sama ibu?"Lusi menggeleng lagi. "Takut, Bang," jawabnya lagi dengan air mata yang kembali mengaliri pipi."Takut kenapa? Selama ini Abang kirim uang buat kamu dan Yassir makan, kenapa kamu harus takut? Minta saja." Lusi diam, aku pun bangkit."Sebentar Abang ambilkan makan
"Iya ini Kakak, kenapa kamu? Kaget? Hah?"Lula menggelengkan kepala, wajahnya cemas karena perlakuannya yang kasar pada istriku sudah kupergoki."Dia ini Kakak iparmu, gimana bisa kamu bersikap begini? Atau apa jangan-jangan selama ini kamu memang bersikap begini?" ujarku lagi seraya menatapnya tajam."M--maaf Kak, tadi Lula kaget kenapa Kak Lusi ada di kamar Lula," katanya tergagap."Kaget katamu? Tapi apa perlu kamu bersikap begini? Sekolah kan kamu?"Aku terus menyentaknya, rasanya kesal sekali aku melihat anak SMA sudah berani main kasar sama orang yang lebih tua, mau jadi apa dia nantinya kalau lagi sekolah aja dia gak ada takutnya begini.Sementara itu ibu dan Kak Tuti datang menghampiri."Ada apa ini ribut-ribut?" tanya Ibu."Ajarin nih si Lula, anak sekolah sikapnya kasar begitu, mau jadi apa dia nanti?" ujarku kesal."Tap--pi Bu si gi--."Ibu menarik lengan Lula sebelum anak itu selesai bicara, akhirnya Lula diam."Mulai sekarang kamar ini akan jadi kamar kami, biar si Lula t
Tatapannya kembali kosong, seperti sedang menerawang sangat jauh."Semuanya? Jadi semua orang suka pukulin kamu?" Aku memastikan lagi.Lusi kembali menatapku, ia lalu mengangguk, air matanya kemudian jatuh mengaliri pipinya yang dekil.Aku paham bagaimana perasaanya jika memang benar semua orang melakukan kekerasan sama Lusi aku bersumpah akan membuat mereka semua bersujud di kaki Lusi.Tak kecuali ibu, entah kenapa ibuku sekejam itu pada Lusi? Apa karena Lusi bukanlah anak orang kaya seperti yang beliau harapkan begitu?Lusi menangis lagi kali ini semakin kencang, jujur saja semua itu membuatku semakin kesulitan saat aku mengintrogasinya.Tapi aku tak menyerah, kebenaran harus kuketahui dengan jelas. "Lusi Lusi tenanglah, sekarang katakan sama Abang, kenapa kamu dipukul?" Aku kembali mengguncang kedua bahunya.Untuk sesaat ia kembali diam dan kembali berpikir."Gak mau mandi," jawabnya seraya kembali menangis dan sibuk menyeka air matanya.Aku menyipitkan mata. "Gak mau mandi saja sa
"Lusi, Abang kirim uang buat kamu tiap bulan, kamu ambil tidak?" Aku kembali bertanya walau Lusi sedang menangis.Ia lalu menggelengkan kepalanya lagi, dipeluknya kedua lutut itu dengan tangannya."Jadi selama 5 tahun Abang kirim uang kamu gak pernah dikasih? Tapi kamu bilang ditelep--." Hampir saja aku ikut terbawa emosi andai aku tidak cepat melihat istriku yang semakin ketakutan di tempatnya."Eh enggak maaf maksud Abang, Abang bukan mau sentak Lusi, Abang cuma--kesel sama keluarga Abang."Keterlaluan! Bener-bener keterlaluan! Jadi bener selama ini aku kirim uang dan Lusi gak pernah dikasih, pantas saja jika sekarang istriku stres bisa jadi penyebabnya karena dari sana juga.Lusi kemudian mengangkat wajah dan menatapku pilu. "Lusi gak gila Bang, Lusi gak gila," katanya dengan suara serak dan pelan, digeleng-gelengkan kepalanya itu seperti sedang menolak sesuatu dengan cepat.Aku berusaha menenangkannya, kupeluk ia, kuciumi keningnya juga."Iya iya Abang percaya kok Lusi gak gila, L
Tanpa bantahan ia mengangguk. Kami pun kembali berjalan pulang meninggalkan rumah terakhir Yassir.Di tengah jalan langkah Lusi terhenti tatkala kami melewati sebuah warung bakso."Bang itu." Ia menunjuk ke arah bakso yang dijejerkan dalam gerobak."Bakso? Lusi mau bakso?" Lusi mengangguk. Kasihan, padahal tadi dia baru makan banyak tapi mungkin masih belum kenyang juga.Akhirnya kubawa ia masuk ke dalam kios bakso itu, kupesan dua mangkok bakso urat seperti kesukaannya."Nah makanlah," titahku ketika dua mangkok bakso ada di hadapannya.Dan hap hap hap. Tak ada sisa, semangkok bakso yang kuahnya masih panas itu berhasil ia habiskan dengan cepat, aku sampai harus meminjam satu mangkok kosong untuk memisahkan air dengan baksonya karena takut melukai mulut Lusi."Pelan aja Lus, masih banyak, nanti Abang beliin lagi.""Enak Bang, Lusi suka bakso."Hatiku kembali nyeri, jauh-jauh aku kerja ke luar negeri semua itu hanya untuk membuatnya bahagia dan mencukupi semua kebutuhannya agar ia ti
"Bisa gak pelan-pelan aja ngomongnya? Tadi mereka lagi keluar, gak tahu mereka ada di kamar atau enggak sekarang.""Kamu gak kabari Kakak si Sandi udah balik." "Salah siapa teleponnya gak aktif terus."Setelah itu mereka terdengar pergi dari ruangan depan.Setelah rumah kembali sepi karena mungkin mereka sedang mengobrol di belakang atau di kamar ibu, aku kembali menatap istriku yang tengah terlelap.Kasihan dia, tubuhnya kurus kering, mata hitam dan kulitnya kusam.Jika memang Lusi mulai mengalami gangguan jiwa sejak anakku meninggal tapi kenapa tubuhnya sampai terlihat mengenaskan begini? Makam Yassir bahkan masih terlihat baru itu artinya harusnya Lusi belum separah ini juga.Sungguh tak masuk di akal.Atau jangan-jangan sebetulnya Lusi gila itu bukan karena anakku meninggal tapi karena selama ini mereka memperlakukannya seperti binatang.Diberi nasi sisa, disuruh kerja terus menerus, dan--mungkin masih banyak hal lainnya yang belum kuketahui. Ya benar, karena itu aku harus mencari
Aku menyipitkan mata."Kenapa harus kakak saya yang bawa?Emang gak ada Pak RT atau siapa gitu, Bu?"Bu Lastri diam sebentar."Enggak tahu juga kenapa harus si Tuti yang bawa, padahal para tetangga laki-laki juga ada kok pada menawarkan diri tapi keluargamu malah menolak."Aku berpikir sebentar, aneh juga, kenapa keluargaku maksa membawa jenazah Yassir sendiri? Maksudnya kalau ada laki-laki kan lebih baik dibawa sama laki-laki saja."Kamu jadi kurus banget Lus, baru aja ditinggal seminggu lebih sama Yassir," ucap Bu Lastri lagi seraya duduk di dekat Lusi."Tapi istrimu ini kok jarang kelihatannya udah lama ya San?" imbuh beliau terheran-heran.Tepat dugaanku, Bu Lastri bilang beliau juga tak melihat Lusi sudah sejak lama, jelasnya dari sebelum Yassir meninggal itu artinya Lusi sudah dipasung sejak lama oleh keluargaku.Tapi kenapa ibuku bilang Lusi gila saat Yassir udah meninggal? Berarti mereka bohong dan aku yakin mereka sedang menutupi sesuatu."Ya udah Bu, kami pamit ya, mau sarapa
"Ambil aja istri gila mu itu bawa dia pergi dari rumah ini, itu akan jauh lebih baik," ucap Kak Tuti sama tegasnya denganku.Wanita yang usianya tak jauh beda dari aku dan Lusi itu lalu pergi dari hadapan kami."Kamu lihat 'kan Sandi? Karena ulahmu sodaramu itu jadi marah." Ibu menyahut lagi seraya meluruskan jari telunjuknya."Dasar anak gak tahu diuntung," dengus beliau kemudian seraya berpaling muka dariku.Tapi tak kupedulikan, kubiarkan saja walau ibu marah bahkan tak lagi menganggapku anak, aku sudah tak peduli."Hari ini Sandi dan Lusi mau pindah ke rumah sodara Bu Lastri, kami mau ngontrak di sana sampai kami punya rumah baru." Aku memecah hening yang menjeda beberapa detik.Ibu kembali menoleh dengan mulut menganga. "Kok kamu jadi seenaknya gini Sandi? Mau pindah rumah gak bilang-bilang dulu, terus nanti Ibu sama siapa?""Di sini kan ada Kak Tuti dan Kak Yogi, Lula juga udah dewasa, mereka bisa kok jagain Ibu," jawabku tanpa ragu.Ibu terkatup-katup sementara Kak Noni sama ke