RESTI
Akhirnya aku bisa memiliki mas Andra. Perjuangan panjang meraih hatinya tak sia-sia. Meski jadi yang kedua tak masalah. Toh, ini sementara. Aku yakin tak lama lagi akan jadi satu-satunya.Dari dulu, aku selalu ingin jadi nomor satu. Baik di rumah, di sekolah juga kantor. Maka dari itu dalam urusan cinta, Resti tak boleh ada di bawah Armila.Lihat saja, aku akan mendepak Armila dari jabatannya sebagai ratu di istana mas Andra. Pastinya tak lama lagi. Hanya perlu bersabar menunggu sedikit waktu. Harapanku akan segera terwujud nyata.Laki-laki mana yang bisa dipercaya. Ketika terpanah hatinya pada seorang wanita, rayuannya sampai berbuih-buih. Sesudah bosan, wanita itu dilupakan.Aku pun melihat itu pada mas Andra. Selama seminggu menikmati madu pengantin baru, ia seperti lupa daratan, lautan dan udara. Nama Armila yang dulu dipuja seakan terhapus oleh pesona yang kutawarkan.Kurang cantik bagaimana Armila? Bintang kampus, inceran banyak lelaki. Tapi, hari ini terbukti 'kan cantiknya Armila tak mampu menahan mas Andra untuk setia padanya.Cinta laki-laki itu omong kosong! Bualan dan angan semata!*"Aku sedihlah, masa baru nikah seminggu sudah ditinggal pergi?" rajukku sekali lagi pada lelaki yang sedang bersiap-siap menjemput istri pertamanya."Sayang, 'kan kita sudah sepakat untuk tak mempermasalahkan ini. Kau pun tahu istrku tak cuma dirimu. Ada Armila yang juga punya hak atas diriku."Aku memajukan bibir, lalu membalikkan badan sebab sebal sekali mendengar kata-kata itu. Inginnya dia merasa berat meninggalkanku. Lebih baik tak jadi pergi juga.Tangan mas Andra detik berikutnya melingkar di pinggang ini. Ia pun membisikkan seribu rayuan yang membuat hatiku meleleh pelan-pelan."Andra dan Resti adalah satu jiwa. Meski aku tak di sini, hatinya tak dibawa. Sebab apa? Sebab sudah kutitipkan di sini," bisiknya sambil meletakkan telapak tangan di dada ini.Manisnya rayuan itu membuatku sedkit bertoleransi. Ya, sudah biar saja dia pergi, nanti aku akan telpon dan kirim pesan terus. Kan kalau mas Andra sibuk telponan, dia gak bisa bermesraan sama Armila.Sebelum mas Andra pergi kuingatkan lagi agar cepat pulang. Dengan gaya manja aku katakan tak tahan lama-lama sendirian. Jelas saja suamiku itu langsung melayang-layang.Selepas kepergiannya, aku bersiap untuk keluar. Bosanlah harus di rumah sendirian. Mending cari hiburan sama teman-teman. Sekaligus pamer kehidupan baru.*Ternyata berbagi suami itu tak enak. Apalagi membayangkan mas Andra sedang bermesraan dengan istri pertamanya, sedangkan aku di sini berteman angin malam.Rasanya ingin teriak dan marah pada keadaan. Kalau bukan karena cinta buta, aku tak mau jadi yang kedua. Sialnya perasaanku yang telah tumbuh sejak SMU, tak pernah punah meski waktu telah memisahkan kami cukup lama.Resti memang bodoh. Masih mencintai Andra meski tahu ia sudah menikah dengan Armila. Obsesiku untuk memilikinya tak pernah padam ternyata.Sekarang, setelah tercapai cita-cita, tetap saja tak puas.. Wajarlah sebab aku belum bisa menguasai dia seutuhnya."Kamu jahat, Mas. Kamu tega bermesraan sama Armila, sementara aku sepi sendiri. Aku benciiii. Aku harus memisahkan mereka!"Aku melemparkan bantal dan guling ke sembarang arah. Sprei pun kurenggut paksa dan sekarang sudah terserak di lantai.Biar saja semua berantakan aku tak peduli.. malah aku ingin mas Andra tahu agar dia paham bawa istrinya marah dan sakit hati*Hari ini aku bersiap-siap menyambut kepulangan mas Andra dengan pakaian super seksi. Aku harus memikat hatinya sekencang-kencangnya agak dia tak terbawa lagi oleh pesona Armila.Ketika suara mobilnya terdengar telinga, aku segera berlari menyambutnya. Kala pintu terbuka, aku langsung menghambur dan memeluk suami tercinta.Eh, tapi kenapa? Apa yang terjadi dengan mas Andra. Pelukannya tidak erat. Ia pun tidak melancarkan sentuhan liar yang biasa dilakukan.Perilaku mas Andra tak biasa. Ia tak antusias berpelukan. Bukan seperti pria yang tengah dilanda rindu padaku. Lingkaran tangannya di pinggang ini pun terlepas."Mas kamu kenapa?" tanyaku setelah melepas pelukan."Aku cape, mau istirahat!"Apa ini, apa yang terjadi dengan suamiku? Mengapa ia tidak seperti sebelumnya? Tak ada gejolak cinta dan gebuan rindu. Masa iya baru seminggu di sana sudah lupa padaku?Gaya jalan suamiku pun tak tegak, cenderung lunglai dan menunduk. Apakah dia bertengkar dengan Armila? Bagus kalau begitu, tapi mengapa kegalauannya ditampakkan padaku?Ini tak adil, tak boleh dibiarkan!"Mas, kamu kenapa? Kalau bertengkar dengan Armila jangan bawa di hadapanku. Itu urusan rumah tangga kalian, bukan urusanku!"Mas Andra menghentikan langkah ia membalikkan badan. Lalu menatapku tajam."Aku tak mau ribut, tolong jangan memancing keributan. Aku cape, mau istirahat itu saja, paham?"Mas Andra? Kenapa harus semarah itu?ANDRA. Sangat beruntung lelaki yang memiliki Istri baik. Mereka siap membersamai dalam suka dan duka. Tak menuntut di luar kemampuan suami. Akan selalu berusaha menciptakan kenyamanan di rumahnya. Siap mengingatkan saat lelaki tersesat.Pantaslah menikah disebut sebagai ibadah sepanjang masa. Banyak pengorbanan yang dibutuhkan demi kelanggengannya. Kadang air mata terkuras di dalamnya. Menikah adalah menitipkan hidup pada pasangan. Sekaligus dititipkan kehidupan lain. Harus saling menjaga hingga raga bercerai dari nyawa.Setelah bertukar pendapat, kami sepakat untuk liburan ke Yogyakarta dan beberapa kota lain sekitarnya. Dirasa seminggu cukup menghabiskan waktu di sana. Untuk perjalanan jauh pun tak khawatir sebab anak-anak sudah bisa diajak jauh.Ketika diinfokan akan liburan, mama dan papa antusias untuk ikut. Mereka mengatakan pasti ikut. Baguslah, makin rame, makin seru.Kasihan juga kalau tak diajak. Para orang tua juga butuh hiburan di tengah kesuntukan. Mereka pasti akan se
ANDRASebelum Resti menyabetkan pisau, satu tembakan menembus tangannya. Ia histeris hingga seperti orang kesurupan. Pastilah tembusan peluru itu sangat menyakitkan. Aku dan Armila mundur. Dan, polisi pun melaksanakan tugasnya. Jeritan Resti hilang sama sekali setelah kami berhasil keluar dari gudang ini. Mungkin pingsan akibat sakit dahsyat. "Kalian tak apa?" tanya Reiga. Ia bicara berlomba dengan napas tersengal-sengal. "Tidak, kami selamat. Ide dokter Reiga memang top!" pujiku.Kami saling menepukkan tangan, lalu tertawa bersama. Sepertinya kemenangan ini harus dirayakan. Juga disyukuri sebab ini semata-mata berkat pertolongan Allah. *Di tempat persembuyian Rafael dan Resti, ditemukan narkoba. Dari penelusuran polisi mereka diketahui bukan hanya pemakai, tapi pengedar.Lepas dari penjara keduanya tak punya apa-apa. Mereka melakukan apapun demi bertahan hidup hingga bertemu gembong narkoba. Darisanalah berlanjut kejahatannya. Hukuman Rafael dan Resti kali ini takkan sebentar.
ANDRASungguh aku berat melepas Armila sebagai umpan. Tapi, hanya dia yang saat ini bisa menjadi pemancing Resti dan Rafael keluar dari sarang. Kalau tak dihentikan segerq, dua penjahat itu akan terus berkeliaran. Meneror kami kapan dan di mana pun. Orang yang sudah biasa berbuat jahat, sulit diluruskan. Hanya hukuman badan yang bisa menghentikannyq. Kali ini mereka akan lama masuk penjaranya.Dengan sangat terpaksa kuizinkan Armila jadi umpan. Karena tahu keraguanku, Reiga terus meyakinkan bahwa Armila akan baik-baik saja. Ia pun terus bilang bahwa kami harus berani agar masalah selesai. Wanita itu memang pemberani. Tak takut meski nyawa taruhannya. "Resti dan Rafael sudah tak waras. Kalau tak dihentikan mereka bisa membunuh kita semua!" jelas Reiga. Ia pantang menyerah melemoar argumen agar izinku keluar. "Oke, penjagaan pada Armila harus berlapis. Aku tak mau ambik resiko." tekanku pada Reiga. Aku tak mau spekulasi pada keselamatan nyawanya. Bisa merasa bersalah seumur hidup kala
ARMILAAku setuju sebab kelakuan sejoli jahat itu sudah keterlaluan. Mereka memang niat balas dendam dengan cara menimpakan keburukan pada kami.Seminggu setelah mas Andra pulang, barulah Reiga mengajak kami diskusi. Katanya dia sudah punya ide untuk menjebak mereka.Reiga juga minta bantuan sepupunya yang memang bekerja sebagai polisi. Ternyata Rafael dan Resti memang sedang dalam incaran. Mereka terindikasi kuat sebagaipemakai sekaligus pengedar narkoba.Baguslah, kalau nanti dipenjara akan lebih lama lagi sebab deliknya bukan hanya penganiayaan pada manusia. Tapi ada juga delik pengedaran narkoba. Pasti hukumannya berlipat-lipat.Aksi akan dimulai. Yang jadi pancingan adalah aku. Awalnya mas Andra tak setuju, tapi Reiga akan menjamin keselamatan. Masalahnya kondisi mas Andra belum mungkin bepergian. Karena tangan dan kakinya masih belum pulih utuh.Hari ini aku mengendarai mobil sendiri. Tapi di radius tertentu sudah ada yang mengawal. Reiga bahkan membayar preman untuk jadi bodyg
ARMILAMendengar itu aku langsung menengok ke belakang. Ternyata benar ada mobil yng mencurigakan.Mobil itu ikut ngebut saat mang Dadang ngebut. Lambat kalau kami melambat. Bahkan ikut berhenti kala berhenti.Irna langsung menghubungi suaminya dan suami bu Erni untuk mengantisipasi kemungkinan buruk. Aku tak mungkin menelpon mas Andra sebab bisa syok berat.Kubilang pada Irna agar Reiga minta bantuan pada orang lain. Aku takut ada sesuatu yang buruk menimpa kami.Karena takut kecelakaan seperti mas Andra, mang Dadang menghentikan mobil. Katanya mereka berusaha menghancurkan konsentrasi hingga nanti gagal fokus dan celaka di jalan.Kami menunggu apa yang akan dilakukan pengemudinya. Kami bertiga sudah siap dengan segala kemungkinan."Semprotannya siapin, kalau emang orang jahat nanti kita kasih cairan ini."Ini adalah cairan berisi merica dan cabe. Lumayan perih kalau disemprotkan pada mata. Mang Dadang juga sudah siap dengan pentungan kayu yang memang dipersiapkan dari rumah.Syukurl
ARMILAAku histeris mendengar mas Andra dan anak-anak kecelakaan. Kanaya yang ada di pangkuan jadi terbawa ibunya. Ia pun menjerit dan menangis.Untung bi Enah cepat tanggap. Wanita paruh baya ini mengambil Kanaya dan berusaha menenangkannya."Ibu jangan panik, ayo siap-siap ke rumah sakit!"Kata-kata bi Enah membuatku sadar bahwa harus segera pergi ke rumah sakit. Tak perlu dandan lama. Cukup baju sopan, tas, dompet plus HP.Aku pergi bersama Irna yang sama syoknya sebab Devan pun ikut dalam kendaraan itu. Di mobil, kami hanya bisa menangis sambil berpelukan. Ketakutan benar-benar mencengkram jiwa.Mobil yang dikemudikan mang Dadang terasa lambat. Padahal katanya sudah ngebut. Mungkin ini karena perasaan tak sabar ingin segera sampai."Mang, cepetan, Mang!""Gak bisa lagi, Bu, Nanti ditilang polisi!"Terpaksa aku dan Irna harus menambah stok sabar. Untunglah Reiga sudah ada di sana. Jadi kami percayakan dulu padanya.Akhirnya kami sampai di rumah sakit tempat mas Andra dan anak-anak