Sesal!Satu kata yang bisa menggambarkan hancurnya aku sekarang. Aku menyesal telah menyia-nyiakan seorang Anita Kumalasari. Gadis desa dengan segala tawa dan kasih sayangnya.Sekarang aku harus merasakan hukuman atas apa yang kulakukan selama ini terhadap Nita.****Kami sampai di rumah larut malam. Sama seperti saat sampai di rumah Ibu, hanya saja lebih lambat sampai ke kota karena kendala saat di perjalanan tadi. "Aduh, pinggang gua rasanya encok banget," ujar Aryo padaku. Aku tertawa melihatnya, kek dia aja yang paling capek "Sama aja sih sebenarnya, Yo, kelamaan duduk emang bikin pinggang terasa encok," tuturku singkat."Gelap banget rumah lu, kayak nggak ada orangnya. Mpok Wati ke mana?" tanya Aryo."Gua suruh libur selama gua pergi, mungkin besok beliau udah ke sini. Ya udah ayo masuk, gue mau cepat-cepat istirahat." Aku meregangkan otot-otot yang terasa kencang. Lalu mengambil kunci dari dalam tas dan langsung membuka rumah.Perutku sudah terasa kenyang karena makan masakan
Aku menoleh jam di dinding, ternyata sudah jam 7 pagi.Perasaanku mulai tak enak. Mimpi itu terus membayangiku, bahkan sekarang aku takut terjadi sesuatu padanya."Apa yang terjadi dengan Nita. Apa dia baik-baik saja," gumamku.Aku semakin merasa khawatir dengannya.Bergegas melangkahkan kaki untuk pergi mandi dan rencananya akan menghampiri Nita ke tokonya. Walaupun sebenarnya, aku yakin bahwa Nita tak ada di sana.Namun untuk memastikannya, aku harus menengok toko kue Nita terlebih dahulu. Siapa tau ada keajaiban di sana, dan aku tidak akan begitu khawatir lagi seperti saat ini."Damar!" teriak Aryo dari luar.Setelah selesai memakai pakaian, aku lalu membuka pintu kamar."Ada apa?" tanyaku padanya."Gua yang harusnya nanya. Lu kenapa teriak-teriak, gua sampai kaget dengarnya di kamar sebelah." Aryo menatapku dengan raut wajah khawatir. Layaknya kekhawatiran terhadap seorang adik."Nggak papa, gua tadi liat ... kecoa. Ya liat kecoa," ucapku sambil nyengir. Aku tak ingin menceritaka
Drrt ... drrt ... drrt!!!Ponselku berdering di sela-sela kami makan."Siapa?" tanya Aryo."Putri," jawabku singkat. Aku lalu mengangkat panggilannya.'Halo.' Terdengar suara dari seberang sana."Halo, apa benar ini nomor Putri, temannya Nita?" tanyaku.Hening beberapa saat, terdengar suara ribut di sana.'Ya, ini siapa, ya?' tanyanya lagi."Aku Damar, suami Nita. Boleh kita bertemu, ini tentang Nita," ucapku padanya.'Nita, kenapa Nita? Lu suami bia**b itu, 'kan. Lu apain lagi sahabat gue, hah!' teriaknya dari seberang sana. Teriakannya benar-benar memekakkan telinga, dia cewek tapi kok suaranya sangat bersemangat sekali."Justru itu, saya pengen ngajak kamu bertemu. Ini tentang Nita, aku perlu bantuanmu, bisa?" tanyaku lemah lembut.'Oke, kapan?' tanyanya."Kapan kamu tidak sibuk?" tanyaku lagi.'Nanti jam dua sore kita ketemu. Gue bakal kirim alamatnya ke nomor lu.'"Ok--"Tut!Ponsel dimatikan secara sepihak. Belum selesai aku berbicara, ia sudah lebih dahulu memutuskan panggilann
Aku melangkah mendekati ranjang, lalu merebahkan diri di atasnya.Kutatap langit-langit kamar dengan tatapan kosong.Kadang aku sering bertanya di pikiran, benarkah yang kurasakan saat aku memikirkannya itu adalah cinta?Aku kadang tak bisa membedakan antara cinta dan juga hanya rasa simpati saja.Tapi jika hanya bersimpati, mengapa saat dia pergi terasa ada ruang hampa yang singgah di dalam sana.Ada sesuatu yang menghilang begitu saja.Bahkan sekarang aku takut, takut tiba-tiba rasaku kian mendalam. Sedangkan yang di sana perlahan semakin menghilang. Hingga membuatku hancur berkeping-keping tak dapat lagi tertahankan.Mimpi itu.Mimpi itu juga sering singgah menghampiri. Menambah suasana negatif dalam setia rasa. Mengacaukan pikiran yang sempat kubaluri dengan rasa percaya, bahwa dia pasti berada dalam keadaan yang baik-baik saja.Mimpi itu benar-benar mengganggu jalan pikirku. Dan aku berharap semua itu hanya bunga tidur saja, tak lebih.Aku memejamkan mata sejenak, lalu teringat s
****"Ruangannya di mana?" tanya Putri mengikutiku.Kami baru saja sampai di rumah. Ternyata Mpok Wati juga sudah sampai di rumah ini. Aku lalu menyapanya terlebih dahulu."Mpok!" sapaku padanya.Mpok Wati menatap Putri dari atas hingga bawah."Ini Putri, Mpok. Sahabatnya Nita," ucapku padanya sebelum dia berpikir negatif."Owalah, baru lihat saya. Maaf ya, Neng," ucap Mpok Wati pada Putri."Eh, iya, nggak papa. Saya orangnya nggak baperan kok," jawab Putri sopan sambil terkekeh pelan."Mpok saya ada urusan dengan mereka, minta tolong buatkan minuman untuk kami ya. Taruh saja nanti di atas meja," pintaku padanya."Baik, Tuan," jawab Mpok Wati. Aku lalu mengajak mereka berdua untuk mengikuti langkah kaki ini.Setelah beberapa menit, akhirnya kami sampai di depan ruangan yang kumaksudkan."Lu punya ruangan tersembunyi, Mar," ucap Aryo padaku."Bukan, ini mah ruangan udah lama. Cuman jarang dipake, " ucapku sambil membuka pintu ruangan ini."Oh gitu, hebat ya, bahkan gue yang dekat bang
Sedangkan Putri, dia masih menangis sambil terduduk lemas di kursi sebelahku."Sudahlah, Put. Kau pikir hanya kau yang khawatir di sini! Tidak! Aku juga khawatir dengan keadaan istriku. Bahkan aku sangat-sangat mengkhawatirkannya." Aku berusaha menenangkannya.Isak tangis Putri perlahan mulai mereda. Ia lalu menatapku tajam."Ini semua salah lu!" teriaknya setelah berdiri dan menunjuk wajahku."Kok jadi salah gue?" tanyaku tak terima."Seandainya lu jadi suami yang peka, nggak nyakitin dia. Nggak bentak-bentak dia! Mungkin kejadian ini nggak bakalan terjadi!" teriak Putri lagi penuh emosi."Gue juga nggak tau bakal kayak gini! Lu pikir, ini semua kehendak gue. Gue yang nyiptain alurnya, hah!" bentakku padanya.Hilang sudah rasa sabarku saat Putri tiba-tiba menyalahkan aku atas kepergian Nita."Sudah jangan saling menyalahkan! Semuanya berjalan karena takdir yang mengaturnya, toh semua sudah terjadi apalagi yang perlu disalahkan. Lebih baik sekarang fokus saja terhadap Nita, jangan sa
***"Damar, kita harus tetap waspada. Sepertinya jumlah mereka lebih banyak." Aryo berbisik. Kuperhatikan mereka yang berada di deanp dari jarak jauh. Ya, memenag benar jumlah mereka lebih banyak dari kami, tapi itu tak akan menyurutkan rasa emosiku yang sudah membakar jiwa. Rasa keberanianku begitu tinggi, melihat wajah mereka hanyalah sampahnkecil yang harus segera dimusnahkan menurutku."Ya, gue tau. Anak buah lu udah di mana?" tanyaku padanya. Kulihat-lihat dari tadi, tak ada anak buah Aryo di belakangku."Masih dalam perjalanan, sebaiknya kita undur waktu perlahan!" perintah Aryo. Aku hanya mengangguk sambil berjalan mengendap-endap."Baiklah, kalo begitu cukup kau siap-siap saja dengan apa yang akan kita lakukan selanjutnya." Aku memberikan perintah pada Aryo."Lelaki itu bagianku, akanku buat dia tersiksa perlahan," gumamku sambil menatap dari jauh pria yang masih tertawa tanpa merasa berdosa."Suruh orang-orangmu bertindak lebih cepat. Aku sudah tak sabar untuk memberikan pela
"Dari mana kalian mendapatkannya?!" teriak lelaki itu terlihat khawatir akan terjadi sesuatu pada keluarganya."Jika kau masih tetap tak mau memberitahukan di mana istri temanku, jangan salahkan aku jika terjadi sesuatu pada keluargamu!" ancam Aryo terdengar mematikan.Wajah pria itu terlihat pias, ia lalu bergegas duduk sambil sesekali terbatuk."Bagaimana? Kau mau memberitahukan, atau keluargamu dalam bahaya," ujar Aryo."S-saya ... tolong jangan sakiti keluarga saya!" ucapnya terdengar memohon."Cepatlah katakan! Orang-orangku sudah bersiap menuju rumahmu. Kau tau, aku bisa saja melenyapkan mereka tanpa diketahui sedikitpun.""Iya, Bos! Mereka datang ke sini," Tak sengaja telingaku mendengar suara seseorang yang sedang menelepon.Aku lalu berbalik dan melihat musuhku itu menelepon secara diam-diam.Aku bergerak maju dan langsung merampas handphonenya, lalu kumatikan begitu saja."Cepat katakan, di mana kau sembunyikan istriku! Kau tau istriku saat ini sedang dalam bahaya?!" bentakk