Sedangkan Putri, dia masih menangis sambil terduduk lemas di kursi sebelahku."Sudahlah, Put. Kau pikir hanya kau yang khawatir di sini! Tidak! Aku juga khawatir dengan keadaan istriku. Bahkan aku sangat-sangat mengkhawatirkannya." Aku berusaha menenangkannya.Isak tangis Putri perlahan mulai mereda. Ia lalu menatapku tajam."Ini semua salah lu!" teriaknya setelah berdiri dan menunjuk wajahku."Kok jadi salah gue?" tanyaku tak terima."Seandainya lu jadi suami yang peka, nggak nyakitin dia. Nggak bentak-bentak dia! Mungkin kejadian ini nggak bakalan terjadi!" teriak Putri lagi penuh emosi."Gue juga nggak tau bakal kayak gini! Lu pikir, ini semua kehendak gue. Gue yang nyiptain alurnya, hah!" bentakku padanya.Hilang sudah rasa sabarku saat Putri tiba-tiba menyalahkan aku atas kepergian Nita."Sudah jangan saling menyalahkan! Semuanya berjalan karena takdir yang mengaturnya, toh semua sudah terjadi apalagi yang perlu disalahkan. Lebih baik sekarang fokus saja terhadap Nita, jangan sa
***"Damar, kita harus tetap waspada. Sepertinya jumlah mereka lebih banyak." Aryo berbisik. Kuperhatikan mereka yang berada di deanp dari jarak jauh. Ya, memenag benar jumlah mereka lebih banyak dari kami, tapi itu tak akan menyurutkan rasa emosiku yang sudah membakar jiwa. Rasa keberanianku begitu tinggi, melihat wajah mereka hanyalah sampahnkecil yang harus segera dimusnahkan menurutku."Ya, gue tau. Anak buah lu udah di mana?" tanyaku padanya. Kulihat-lihat dari tadi, tak ada anak buah Aryo di belakangku."Masih dalam perjalanan, sebaiknya kita undur waktu perlahan!" perintah Aryo. Aku hanya mengangguk sambil berjalan mengendap-endap."Baiklah, kalo begitu cukup kau siap-siap saja dengan apa yang akan kita lakukan selanjutnya." Aku memberikan perintah pada Aryo."Lelaki itu bagianku, akanku buat dia tersiksa perlahan," gumamku sambil menatap dari jauh pria yang masih tertawa tanpa merasa berdosa."Suruh orang-orangmu bertindak lebih cepat. Aku sudah tak sabar untuk memberikan pela
"Dari mana kalian mendapatkannya?!" teriak lelaki itu terlihat khawatir akan terjadi sesuatu pada keluarganya."Jika kau masih tetap tak mau memberitahukan di mana istri temanku, jangan salahkan aku jika terjadi sesuatu pada keluargamu!" ancam Aryo terdengar mematikan.Wajah pria itu terlihat pias, ia lalu bergegas duduk sambil sesekali terbatuk."Bagaimana? Kau mau memberitahukan, atau keluargamu dalam bahaya," ujar Aryo."S-saya ... tolong jangan sakiti keluarga saya!" ucapnya terdengar memohon."Cepatlah katakan! Orang-orangku sudah bersiap menuju rumahmu. Kau tau, aku bisa saja melenyapkan mereka tanpa diketahui sedikitpun.""Iya, Bos! Mereka datang ke sini," Tak sengaja telingaku mendengar suara seseorang yang sedang menelepon.Aku lalu berbalik dan melihat musuhku itu menelepon secara diam-diam.Aku bergerak maju dan langsung merampas handphonenya, lalu kumatikan begitu saja."Cepat katakan, di mana kau sembunyikan istriku! Kau tau istriku saat ini sedang dalam bahaya?!" bentakk
****"Ini tempatnya," ujar Pria itu. Setelah beberapa jam perjalanan menuju ke kontrakan Sarah."Kau tunggu di sini, jangan harap kau akan lepas setelah melakukan hal buruk pada istriku!" tekanku padanya."Tapi saya sudah memberitahukan tempatnya!""Itu tidak akan memastikan bahwa istri dan anakku akan dalam keadaan yang baik-baik saja!" bentakku padanya.Ia langsung terdiam dan tidak menjawab apapun, rencananya setelah itu. Aku akan membawa mereka ke kantor polisi, jika Nita sudah bisa kutemukan.Aku bergegas turun dan berusaha mendobrak kontrakannya.Tempat ini terlihat sepi. Seperti sudah lama tak ada yang menghuninya. Aneh!Dengan rasa gugup, aku terus mencoba membuka pintu kontrakan Sarah.Brak!Pintu terbuka, bergegas aku masuk. Mataku membulat sempurna saat tatapan ini langsung terarah melihat Nita dalam keadaan pingsan dan dengan darah yang ke luar dari kakinya."Nita!" teriakku lantang. Aku langsung buru-buru menggendongnya dan lari membawanya masuk ke dalam mobil."Ada ap
Jantungku rasanya berhenti berdetak. Bicara dokter pun sudah tak jelas terdengar di telingaku."Kamu banyak utang penjelasan sama Papa dan Mama," bisik Mama sebelum masuk ke dalam ruangan Nita.Aku bersandar pada dinding rumah sakit."Sabar, Bro," ucap Aryo menepuk bahuku. "Gue tau apa yang lu rasain sekarang. Gue harap lu tetap semangat melalui cobaan ini.""Anak gue, Yo," ujarku dengan penyesalan penuh."Gimana perasaan Nita kalo dia udah sadar," ucapku pada Aryo. Aku tak sanggup membayangkan bagaimana hancurnya Nita, anak yang ditunggunya selama beberapa bulan harus tiada begitu saja."Sabar, Bro." Lagi kata itu yang diucapkan Aryo.Aku terduduk dan mengusap wajah dengan kasar. Argh!"Ini semua salah gue!" ucapku penuh penekanan dan memukul kepala berkali-kali."Udah, Mar, ingat ada orang tua lu di sini," tegurnya dan menghentikan kelakuanku yang berada di luar kendali.****Aku duduk di samping brankar milik Nita, menatap wajahnya yang sangat pucat."Apa yang kulakukan, andai aku
"Nita harus banyak sabar, Sayang. Ini bukan kehendak kita, tapi Tuhan yang merencanakan semua." Mama mendekat setelah tak kuasa menahan tangisnya."Nggak! Nggak mungkin!" teriaknya sambil menutup telinga.Aku semakin merasa bersalah dan tak kuat mendengar tangisan Nita yang semakin terdengar menyakitkan.~Nita melamun menatap langit-langit rumah sakit dengan perasaan hampa.Sudah semalaman, sejak kepergian Damar untuk bekerja. Tak ada makanan yang masuk ke perutnya. Setiap di suruh makan, Nita selalu menolak dengan alasan tak berselera. Bahkan yang berada di dalam ruangan pun bingung tak tau bagaimana cara agar Nita mau makan.Katakanlah Damar tega karena meninggalkan Nita yang masih terbaring sakit. Mau bagaimana lagi, jika tak dikendalikan, bisa saja perusahaannya hancur berantakan."Nita, ayo dimakan dulu buburnya, Sayang," ucap Aida, mertua Nita."Nita nggak lapar, Ma. Nita pengen ikut anak Nita aja," ucap Nita tanpa sadar."Nggak boleh, Mama nggak mau menantu kesayangan Mama men
"Hm, lagipula Nita juga masih tidur," ujar Aida. Ia lalu menatap Imah. "Ya sudah, kami pulang dulu ya, Bu. Besok kami ke sini lagi, jika tak ada kesibukan," sambungnya.Imah hanya mengangguk dan tersenyum. Setelahnya mereka pergi meninggalkan ruangan tempat Nita dirawat.Sedangkan Damar menggenggam jemari Nita terlebih dahulu. Ia tau bahwa Nita hanya berpura-pura memejamkan matanya. Mungkin enggan menatap wajahnya."Aku pulang dulu, nanti ke sini lagi. Jangan lupa makan yang banyak, kamu harus lekas sembuh. Nggak kangen apa sama aku," bisiknya di telinga Nita.Damar mengecup punggung tangan Nita berkali-kali. Ada perasaan aneh yang menyelinap masuk saat Damar melihat wajah pucat Nita, serta badannya yang semakin terlihat kurus.Jujur ... Damar merindukan tubuh istrinya ketika masih dalam keadaan sehat."Damar pulang dulu ya, Bu," ucapnya sambil menyalami Imah. "Iya, hati-hati di jalan ya, Nak Damar," ujar Imah padanya. Damar mengangguk dan langsung ke luar ruangan.*Damar pulang de
Hari ini, Nita sudah diperbolehkan untuk pulang. Awalnya, dia sangat ingin ikut pulang ke kampung halamannya. Alasannya mungkin karena tak ingin lagi serumah dengan Damar.Namun lagi-lagi harus diurungkan, karena tak diperbolehkan oleh Damar. Walaupun begitu Nita tetap menuruti apa yang diucapkan Damar, jauh di lubuk hatinya. Rasa cinta kepada Damar lebih besar dari rasa sakit hatinya.Memang benar kata orang, cinta itu buta.Dan akhirnya, keputusan yang didapat adalah Imah akan menemani Nita hingga sembuh di rumah Damar."Ayo, masuk, Bu," ajak Damar saat mereka sudah sampai di depan rumah. Imah menatap sekeliling, melihat rumah menantunya yang begitu besar. Benar ternyata, pantas saja Nita dulu begitu minder saat tau dijodohkan dengan anak orang yang berpunya.Nita didorong menggunakan kursi roda. Tak ada senyum yang menghiasi bibirnya. Hanya wajah pucat yang tak berselera untuk melanjutkan kehidupannya.Damar lalu membukakan pintu rumah dan membawa barang-barang Nita masuk terlebih