Share

ISTRIKU SUGAR BABYKU
ISTRIKU SUGAR BABYKU
Penulis: Mystique

1. PERTEMUAN PERTAMA

"Om, mau jadi pacarku nggak?"

Tanya Aurora berani. Entah setan apa yang menempel pada gadis itu sehingga dia berani mengajak Darius Edmund, pria berumur tiga puluh delapan tahun yang baru dikenalnya itu untuk berpacaran dengannya. Darius Edmund sendiri lebih pantas menjadi Ayahnya Aurora ketimbang pacarnya. Ya walaupun wajah Darius bisa dibilang sangat tampan dan mempesona.

Darius tertawa kecil. "Pacar? Kamu yakin? Saya ini lebih cocok jadi Ayah kamu loo ketimbang jadi pacar."

Jawab Darius enteng. Dia duduk pada sofa panjang berwarna pastel di apartementnya. Batinnya sedikit terkejut mendengar ajakan dari gadis kecil yang baru saja di temuinya itu. Anak kecil seumur jagung ini, bagaimana bisa seberani itu mengajaknya pacaran. Otak generasi sekarang memang berbeda.

"Ya nggak apa-apa, Om. Kan pacaran sama Sugar Daddy lagi musim," sahut Aurora.

Gadis itu sedang duduk di sebelah Darius saat mengatakan bahwa dia ingin berpacaran dengan pria tersebut. Aurora duduk bersila atas sofa. Tubuhnya menghadap Darius dengan memasang mimik wajah selucu boneka salju.

"Sugar Daddy. Memangnya kamu tidak tahu Sugar Daddy itu apa? Sugar Daddy itu laki-laki dewasa nakal yang suka sama gadis kecil genit kaya kamu."

Darius mencoba menjelaskan agar gadis itu sedikit takut. Jika dibilang mengerti, sepertinya Aurora sedikit banyak sudah tahu tentang apa itu istilah Sugar Daddy. Tidak mungkin anak jaman sekarang tidak tahu tentang istilah itu.

Darius hanya memperjelas kondisi jika hubungan antara Sugar Daddy dan Sugar Baby itu masuk dalam ranah dewasa. Namun respon tidak terduga justru datang dari Aurora setelah Darius mengatakannya lebih jelas. Tiba-tiba saja Aurora merubah posisinya menjadi duduk di atas pangkuan Darius. Tubuhnya dia hadapkan ke arah Darius hingga kini keduanya menempel dan berhadapan.

Darius merasa tidak nyaman? Sudah jelas. Tapi bukan posisi dan wajah cantik Aurora yang paling menganggu Darius sekarang. Melainkan adik kecilnya yang di duduki Aurora secara tiba-tiba sekarang sedang berproses berubah menjadi adik besar karena tekanan dari tempat sensitive milik gadis itu.

"Iya, aku nggak keberatan jadi gadis kecil yang genit. Nahh ... Om mau nggak jadi laki-laki dewasa yang nakal?" tanya Aurora.

Aurora tidak terlihat takut sama sekali. Justru Darius yang sekarang menjadi takut. Takut akan terlena pada kenakalan dari gadis yang sekarang ada di atas pangkuannya itu, lalu melakukan hal yang tidak-tidak.

Masalahnya, sudah sembilan belas tahun Darius tidak menyentuh seorang wanita. Sejak berpisah dengan pacarnya semasa sekolah dahulu. Darius belum menyukai gadis lain. Dan jika tiba-tiba dihadapkan dalam kondisi kritis seperti ini. Kucing mana yang tidak menggarong jika diberi ikan. Terlebih ikannya begitu cantik dan segar.

"Kamu kenapa berani seperti ini? Saya ini laki-laki normal. Kalau saya kalap kamu bisa saya makan, Ra."

Darius terbata. Detakan jantungnya mulai berdebar tidak beraturan. Tubuhnya menikmati perlakuan ini namun otaknya masih terlalu sadar untuk tidak mengikuti hasratnya. Darius tidak mau dianggap sebagai pedofil.

"Kenapa aku harus takut? Om Darius orang yang baik," jawab Aurora santai.

Bahkan mata gadis itu terus menatap pada manik coklat terang milik Darius. Kedua telapak tangannya yang mungil juga dengan berani membelai bulu wajah Darius yang mulai tumbuh. Bagaimana Darius tidak semakin terlena?

"Orang baik kalau dihadapkan dengan hal seperti ini bagaimana bisa jadi baik? Kamu terus berusaha memancing ikan."

"Hmm ... benar. Kuharap aku dapat ikan yang besar," sahut Aurora dengan tertawa kecil.

Darius juga tertawa kecil. Belum setengah malam dia bersama dengan gadis ini, tapi otaknya sudah beberapa kali dikejutkan oleh ucapan dan tingkah laku Aurora yang nakal. Setelah tertawa sejenak, Darius terdiam, bukan karena hanyut dalam pusaran hasrat yang sedang berusaha menariknya ke dalam. Melainkan dia sedang berusaha mempertahankan akal sehatnya untuk tidak mengikuti alur yang sedang dibuat oleh gadis kecil di depannya.

**

Empat jam yang lalu, Darius baru saja datang kembali dari luar negeri setelah dua puluh tahun lamanya pergi. Perut yang lapar membawanya menuju salah satu restaurant steak terkenal di kota itu. Hujan turun sangat deras, beberapa kilat juga terlihat menyambar. Sebelum menuju apartement yang sudah dia siapkan sebulan sebelum dia datang. Darius memilih mengisi perutnya dahulu dari pada nanti dia harus ke luar lagi cari makan.

Setelah ke luar dari mobil, dengan terburu Darius berlari kecil menuju teras restaurant. Setelah berada di teras, tangannya menyapu air yang membasahi jaz hitamnya sebelum masuk ke dalam restaurant. Saat melakukan itu ujung mata Darius tertarik oleh sesuatu yang aneh di ujung beranda. Seorang gadis sedang duduk berjongkok di lantai teras restaurant. Baju dan rambutnya basah kuyup. Maskara yang dia pakai juga tampak luntur membentuk lingkaran bundar di sekitar matanya. Karena kasihan, Darius mendekati gadis itu.

"Dek, apa yang kamu lakukan di sini?" tanyanya setelah menepuk ringan pundak gadis itu.

"Aku laper, Om. Mau makan tapi nggak punya uang," jawab gadis itu tersenyum sedih.

Oo ... kasihan sekali batin Darius. Tapi jika tidak punya uang kenapa dia memilih restaurant mahal seperti ini. Gadis yang aneh. Entahlah, Darius tidak mau berpikir banyak. Mungkin dia memang sangat pemilih.

"Ayo masuk! Saya belikan kamu makan," ajak Darius.

"Makasih, Om." Senyuman mendadak muncul pada raut wajah gadis itu begitu Darius mengajaknya makan.

Darius dan gadis yang belum dia ketahui namanya tersebut sudah duduk pada salah satu meja di dalam restaurant. Tak lama kemudian pelayan membawakan makanan yang sudah mereka pesan sebelumnya. Seperti manusia yang belum makan satu bulan, gadis itu langsung memakan steak yang ada di depannya. Darius menatapnya aneh. Beberapa pertanyaan sederhana muncul di kepalanya saat ini.

"Enak ya?" tanya Darius. Gadis itu hanya mengangguk. Mulutnya masih sibuk mengunyah makanan.

"Rumah kamu di mana? Setelah ini saya antar kamu pulang?" lanjut pria itu lagi.

Setelah mendengar kata pulang. Gadis itu berhenti makan. Selera makannya seperti tiba-tiba sirna.

"Aku nggak punya rumah, Om."

Tidak punya rumah? Bagaimana bisa begitu. Darius saja tahu jika baju yang dikenakan gadis itu adalah brand mahal walaupun hanya sekedar kaos putih dan rok pendek berwarna denim. Dilihat dari separuh tubuhnya, bisa terlihat jika gadis ini anak dari orang kaya. Kulit putih cerah terawat. Hanya wajahnya saja tidak terlihat bagus karena make up yang luntur.

"Saya tahu kamu punya. Kenapa kamu ada di sini saat hujan lebat begini? Orang tuamu nggak nyariin?" tanya Darius.

"Enggak akan. Pokoknya aku nggak mau pulang. Titik, " jawab gadis itu tegas.

"Lalu?" Darius balik bertanya.

Kini gadis itu memandang dengan raut wajah kasihan. Sebentar dia mengangkat kedua pundaknya pertanda bahwa gadis itu juga tidak tahu mau ke mana. Darius menghela nafas, dia bingung harus bersikap apa.

Kenapa dia harus terjebak dalam situasi seperti ini? Jam sudah menunjukkan pukul setengah sembilan malam. Di luar hujan deras. Gadis ini tidak membawa tas atau apa pun. Dengan tubuh yang dirasa cukup lumayan ini, kalau berada sendirian di luar sana. Entah apa yang akan terjadi padanya. Darius bernafas besar sebelum akhinya kembali bertanya.

"Nama kamu siapa?"

"Aurora, Om."

"Kamu mau ikut pulang sama saya?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status