Share

POV Alya

Namaku Alya putri lulusan tekhnik sipil. Hidup lebih banyak di panti asuhan. Sejak umur 13 tahun ayah dan ibuku meninggal karena kecelakaan tunggal. Saat itu mama bertengkar hebat dengan papa. Pekerjaan mama sebagai model tentu membuatnya selalu tampil menarik di depan semua orang hingga mama kedapatan selingkuh oleh papa. Entah bagaimana ceritanya kecelakaan itu terjadi. Sejak saat itu aku tidak tertarik dengan yang namanya make up. Rasa trauma menderaku. Umur tiga belas tahun aku sudah paham tentang banyak rasa seperti kerisauan papa yang melihat istrinya selalu berpenampilam menor dan glamour setiap harinya. 

Mama dan papa bukan orang kalangan bawah. Harta yang mereka titipkan sangat cukup untuk hidupku sebagai anak tunggal. Namun, aku memilih untuk tinggal di panti asuhan dengan jarak tidak jauh dari rumahku. Papa yang sibuk, dan mama yang tak kalah sibuknya membuatku lebih sering bermain disana. Entah mengapa aku lebih dekat dengan ibu panti daripada mama sendiri.

"Alya ini wasiat papamu," ucap pengacara yang datang membacakan aku isi wasiat waktu itu. Umur tiga belas tahun aku belum paham dengan isi wasiat itu.

"Om ... aku tak peduli dengan isi wasiat itu, om hanya cukup menjaga wasiat itu hingga suatu saat nanti aku layak untuk memilikinya. Saat ini Alya hanya ingin hidup tenang seperti orang lain. Alya lebih memilih tinggal di panti asuhan Bu Asih. Alya hanya meminta berikan setiap bulan ke panti agar anak-anak cukup tanpa menunggu sumbangan dari orang lain."

"Baik, Alya. Om mengikuti kemauanmu, tapi jika kamu tidak betah dan merasa tidak nyaman. Om tunggu bagaimana keputusanmu."

Itu percakapan terkahirku dengan pak Rahman. Hingga aku tamat dengan predikat cumlaude di teknik sipil sampai saat ini aku tidak tahu berapa harta kekayaan dari mama dan papa. Entah mengapa aku juga enggan menanyakannya. Rasa trauma yang mereka tinggalkan padaku lebih dalam dari yang kubayangkan. 

***

Aku bekerja sebagai kepala proyek dengan sistem kontrak di berbagai perusahaan. Pekerjaan yang terlihat lebih santai kadang membuat orang mengira aku pengangguran. Dan aku tipe orang yang cuek. Yang penting rekening gendut dan tidak perlu menyusahkan orang lain. Selain itu, pak Rahman selalu mengunjungiku setiap bulan. Beliau sudah seperti orang tua bagiku.

Namun, tak ada yang menyangka jika takdirku menikah dengan Dave Abimanyu ketika usiaku genap 28 tahun yang kata ibunya bekerja sebagai manager bank. Aku menikah dengannya karena balas budi, ibunya yang melarikanku ke rumah sakit karena dibegal dijalanan yang sepi ketika pulang dari proyek. Aku bahkan berikrar jika laki-laki perjaka maka aku mau menjadi istrinya. Ternyata yang membantuku adalah ibunya Dave yang memintaku untuk menikah dengan anaknya yang sangat pemilih dengan wanita, tapi siapa sangka dia bertekuk lutut dengan ibunya. 

Ternyata menikah dengan perjodohan itu tidak mudah. Dia bahkan terang-terangan menolakku dan ingin menikah dengan wanita lain.

Baru kali ini aku berurusan dengan laki-laki dan asmara. Dulu aku bahkan anti dengan laki-laki karena trauma yang kurasakan.

****

Hari ini aku janjian dengan Luna di Cafe. Luna adalah sahabatku sejak kecil ketika di panti. Namun, nasib Luna berubah ketika dia diadopsi oleh salah satu keluarga. Sampai saat ini kami masih berteman. Ketika SD, kami selalu satu kelas sampai SMP. Kami pisah ketika aku mengambil jurusan Teknik Mesin di SMK. Hingga kuliah aku memutuskan mengambil teknik sipil. Sementara Luna mengambil jurusan akuntansi dan sudah diterima bekerja di salah satu bank. 

"Tumben minta makan siang bareng." Luna datang dengan stelan kantornya yang menawan. Kalau dia memang sejak SMA suka dandan. Tampilannya selalu rapi, beda jauh denganku yang sat set asal rapi dan sopan langsung jalan.

"Lagi gabut gueh."

"Hahaha ... baru saja nikah udah gabut."

"Justru itu bikin tambah mumet."

"Bukannya suamimu keren, Alya. Penampilannya selalu menarik."

"Keren sih keren, tapi masak ngasih nafkah tiga puluh rebu."

"Hahaha ...." si Luna tak bisa menahan diri untuk tertawa. 

"Mungkin dikira tinggal di hutan kali suamimu."

"Sudahlah mumet aku, Lun. Kemarin dia minta nikah lagi dengan alasan aku yang tidak menarik."

Eh, si Luna bukannya empati dia malah tertawa tidak jelas.

"Kalau nafkah tiga puluh ribu, sih, tak masalah kurasa bagi Alya Putri. Secara penghasilan kepala proyek terbaik di kota ini sangat cukup, lah, untuk sekedar makan. Tapi kalau nikah dengan alasan dia bilang tak menarik. Itu, sih menurutku dia terlalu berlebihan."

"Kurasa dia tipe orang yang menjaga penampilan. Sampai semua pekerjaan tak ada satu pun dia bisa. Sekedar masang selang gas saja dia tidak bisa sama sekali."

"Hahaha ... laki-laki kayak gitu rasanya pen gue tabok Alya."

"Itu, dah, Lun. Setidaknya dia bertanya atau mungkin istrinya dibawa ke salon. Eh, ini minta nikah lagi. Nggak masuk akal memang si Dave itu. Kalau bukan karena hutang budi dengan ibunya yang menolongku malam itu mungkin aku tidak mau nikah dengannya."

"Aku juga kaget kamu mau nikah, Alya. Padahal Ilham berapa kali bersimpuh memintamu menikah dengannya. Sebagai wanita normal siapa yang tidak tertarik dengan Ilham. Arsitek ternama dan pengusaha sukses."

"Jodoh yang belum sampai, Lun."

Sedang asyik gibahin si Dave dia datang bersama wanita cantik.

"Itu namanya Deswita, Alya. Dia memang dari dulu suka sama Dave."

"Kok tahu?"

"Siapa yang tidak tahu pak Dave. Dia bahkan pernah mengisi di kampusku karena penampilannya selalu rapi, ramah dan sukses mendapatkan banyak konsumen."

Aku geleng-geleng kepala melihat si Dave yang traktir makan enak Deswita.

"Hanya satu kelebihannya dia bakti sama ibunya. Itu saja," jawabku enteng.  Eh, si Luna semakin tidak menahan diri untuk tertawa.

"Nanti malam 'kan lamarannya Risa dan Danu, kamu hadir saja siapa tahu ketemu suamimu disana."

"Memangnya Dave juga diundang?"

"Ya iyalah Danu 'kan pegawai bank juga. Anak buah suamimu." Oh, ini sepertinya menarik.

"Nanti aku rias poles-poles dikit, disamping rumahku juga ada butik kita kesana saja kalau kamu mau. Kapan lagi bisa kerjain si Dave."

Aku mikir sejenak. Kulihat lagi kelakuan si Dave yang begitu bahagia dengan Deswita itu. ckck ... kelakuannya sungguh berbeda denganku di rumah.

"Oke, Lun. Sebenarnya aku tidak terlalu tertarik dengan suamiku. Namun, melihatnya yang begitu friendly dengan wanita lain sementara denganku dia begitu dingin membuatku tertantang. Aku memberikan dia waktu 33 hari. Jika tak berubah mungkin jodohku bukan dia."

"Betul! Sekalian aja viralin dia yang ngasih tiga puluh rebu, lihat kelakuannya traktir wanita lain begitu enteng."

"Oke, ide yang bagus tadi pagi juga dia nantangin."

"Hahaha ... mungkin dikira followersmu hanya satu biji kali."

Akhirnya jempol ini kugunakan untuk viralin si Dave dengan menggunakan nama samaran. Kuhubungi temanku yang pintar IT biar cepat viral. Tak semua wanita yang tak suka dandan, lugu dan polos bisa dimanfaatkan. Sejak SMK aku bahkan ikut tawuran jika mengingat mama dan papaku yang bertengkar hebat sambil saling memaki malam itu. Keadaan yang kadang membuat seseorang berubah begitu saja. Dan aku tipe orang yang akan berubah jika ditantang.

***

Sorenya ketika jam kantor pulang, aku izin ke Dave untuk ke rumah Luna. Seperti biasa si Dave seperti tidak peduli. Hari ini aku dapat bonus tidak masak apa pun untuknya. Padahal sebelumnya dengan uang yang kupunya aku begitu ikhlas menyiapkan cemilan untuknya. Kebiasaan bu Asih di panti bersama kami. 

Aku sampai ke rumah Luna yang begitu luas disambut dengan kedua orang tua asuhnya. Bersyukurnya Luna mendapatkan orang tua yang sangat menyayanginya. Dengan gaun dan jilbab yang senada pilihan kami sore ini, serta polesan tipis akan kugunakan ke pesta lamaran Risa dan Danu. 

"Ingat, Alya, santai saja. Seolah-olah tak ada suamimu. Kita lihat bagaimana reaksinya." 

"Siap, Lun. Ribet banget beginian inih." Eh, si Luna malah terkekeh. Geli kali melihat anak yang tidak ada feminimnya berdandan.

**

Kami pun tiba di lokasi lamaran, acara segera akan dimulai tamu undangan terlihat bersiap menyambut Risa dan Danu. Hingga pandangan Dave tak berkedip menatapku. Namun, aku tetap menyunggingkan senyum karena sebelumnya sudah dilatih oleh Luna.

"Ya elah, lihat kelakuan suamimu, Alya. Air liurnya mau tumpah." Luna berbisik padaku membuatku sampai terkekeh. Semoga jiwa bar-barku tidak kumat. Udah pegel latihan jalan sama si Luna tadi sore.

Hingga Dave mengujiku dengan memanggil namaku

"Alya ...."

Aku melihatnya sembari menyunggingkan senyum padanya tanpa bersuara. 

Si Dave sudah seperti patung melihatku. Hampir saja tersungkur jika tidak ditangkap oleh orang disampingnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status