Aku tak menjawab pertanyaan Ummi. Kembali memejamkan mata sesaat. Senyum Rania terus membayang di pelupuk mata. Tatapan teduhnya, suara lembutnya, ketabahannya selalu membuatku tenang dan nyaman. Sungguh jika tak ada dia di sisi, aku mungkin sudah seperti dulu hampir kehilangan arah dan salah melangkah. Namun kini, aku benar-benar merasa bersalah karena sudah melibatkan dia dalam hidupku yang penuh kekurangan. Mungkinkah dia benar-benar bahagia bersamaku seperti yang selalu diucapkannya? Atau itu hanya secuil ungkapan untuk sekadar menyenangkan hatiku saja kerena baktinya sebagai istri? "Azka! Kamu dengar ummi, kan?" bentakan itu membuatku kembali terjaga dari lamunan. Kulihat ummi sudah berada beberapa langkah di depanku. Dia berdiri di sana dengan tatapan penuh tanya. Dari kejauhan kulihat abah setengah berlari menghampiriku yang masih duduk di kursi tunggu. Mereka pun berdiri berdampingan, sembari melempar berbagai pertanyaan yang aku sendiri tak mampu memberikan jawaban. Aku
Raut wajah ibu sedikit berbinar mendengar cerita soal rencana pembelian rumah itu dari Rania. Ibu menatapku beberapa saat lalu tersenyum tipis. Seolah mengucapkan terima kasih, padahal aku sendiri tak paham apa yang diceritakan Rania itu. "Benarkah, Nia? Berarti jualan kalian laris banget ya, sampai bisa nabung buat beli rumah?" Ibu tampak sangat kaget mendengar kabar dari putri kesayangannya. Dibalik keterkejutannya itu, terlihat jelas jika ibu sangat bahagia mendengar cerita anak perempuannya. Sangat berbeda dengan ummi yang sepertinya masih tak percaya dengan ucapan Rania. Aku maklum, dari dulu ummi memang tak pernah yakin akan kemampuanku. "Benar, Bu. Tapi ya memang rumah minimalis dengan dua kamar saja," ucap Rania lagi. Entah darimana dia mendapatkan uang untuk membeli rumah itu sementara tabunganku saja belum genap 100 juta. Masih kurang 7 juta lagi untuk mencapai angka itu. "Syukurlah kalau begitu, Nia. Ibu bangga sekali sama kalian berdua. Rukun dan bahagia selalu, ya
"Assalamu'alaikum." Kuucap salam saat sampai di rumah ibu. Mobil putih itu terparkir di sana, pertanda ibu tak ke mana-mana. "Wa'alaikumsalam" Suara Raniaku terdengar dari dalam. Terdengar begitu merdu hingga selalu membuat rindu dan candu. Entah mengapa aku mendadak salah tingkah saat akan bertemu dengannya. Baru semalam aku tak bertemu dengannya, seolah sudah bermalam-malam dia pergi meninggalkanku sendiri. Mungkin terlalu lebay. Tapi memang seperti itulah yang terjadi. Sejak ada Rania di dalam hidupku, rasanya duniaku yang sebelumnya kelabu bahkan mungkin gelap terasa lebih berwarna dan bercahaya. Rania mampu membuatku tenang dan bahagia meski hanya dengan senyum yang dia punya. Saat pintu terbuka, kulihat senyum yang kurindukan itu melengkung indah di bibirnya. Perempuan cantikku itu mencium punggung tangan lalu menggamit manja di lengan. Tak lupa kucium keningnya sembari menghirup aroma wangi dari rambutnya yang tertutup hijab. Setelahnya, kami beriringan masuk ke ruang ke
Pov : Gaza Bakda isya'. Akhirnya aku ikut menghadiri syukuran kecil-kecilan ini di sini. Di sebuah rumah minimalis berwarna tosca muda. Rumah sederhana yang dibelikan Azka untuk Rania. Begitu ummi bilang padaku kemarin. Aku pun mengiyakan saja tanpa bertanya lebih banyak darimana dia mendapatkan dananya. Belum genap enam bulan Azka dan Rania menikah. Aku yakin Azka tak mungkin memiliki tabungan sebanyak itu. Pasti sebagian besar memakai uang Rania juga. Hanya saja, sengaja bilang ke ummi jika rumah itu dia beli khusus buat Rania. Sebagai hadiah kehamilan, katanya. Aku sendiri tak tahu mengapa ada desir cemburu tiap kali ummi memuji Azka. Apalagi akhir-akhir ini, aku memang mulai sering mendengar pujian dari ummi untuknya. Entahlah, mungkin ummi mulai luluh dengan perjuangan anak lelakinya. Atau ummi mulai belajar menerima kehadiran Azka. Namun yang pasti, hati ini tak bisa dibohongi. Ada rasa tak nyaman saat ummu kembali memujinya di depanku. Terlebih, saat kutahu Azka bisa membua
POV : UMMI Muhammad Azka Ramadhan. Anak yang selalu kupandang sebelah mata karena kekurang mampuannya di banyak hal, anak yang selalu membuatku kecewa dengan nilai-nilai rendahnya, anak yang tak pernah membuatku bangga karena deretan piala kejuaraan, anak yang jarang sekali memberikan kado istimewa untuk abah dan uminya. Ah Azka ... anak yang bahkan pernah terbesit di benakku untuk menitipkannya ke panti asuhan. Kini, dia sudah bisa membuatku bangga dengan pencapaian yang dia punya. Meski kutahu ada jejak Rania di sana, namun setidaknya dia mampu membuktikan janjinya untuk bisa mandiri tanpa merepotkan orang tua. Azka kini sudah membukakan kedua mata dan hatiku, anak yang sering kali kuacuhkan itu mampu membuat banyak orang kagum akan keberhasilannya, termasuk Ernita. Rumah sederhana itu sebagai bukti bahwa dia mampu memikul perannya sebagai seorang suami, peran yang dulu pernah kuragukan saat dia melamar seorang perempuan. Rania. Perempuan istimewa yang harusnya bersanding denga
POV : AZKAAlhamdulillah, kandungan Rania mulai membesar. Kini sudah menginjak enam bulan. Masa-masa mual dan pusing sudah terlewati dengan baik. Dia pun semakin menikmati kehamilannya, tanpa mengeluh pusing atau kurang enak badan lagi. Syukurlah, aku sedikit lebih tenang melihat keadaannya sekarang.Tiap malam sebelum memejamkan mata, kusempatkan untuk memijit kakinya yang mulai membengkak. Aku tahu Rania sering kecapekan, tapi dia tak pernah mengeluh tiap kali membantuku menyiapkan pesanan online. Dia selalu berusaha tenang, semata-mata agar aku tak terlalu mengkhawatirkannya.Rania juga semakin semangat mempromosikan martabak cinta kami, tiap hari banyak sekali orderan masuk. Bahkan sekarang aku sudah jarang ke outlet, sibuk dengan orderan online yang memang kukerjakan di rumah bersama Rania. Sedangkan outlet dipegang Haris, dua atau tiga hari sekali aku datang untuk cctv.|Alhamdulillah Gaza bersedia ummi kenalkan dengan anak teman pengajian ummi, Ka. InsyaAllah besok ummi pertemuk
Outlet terbakar habis. Begitu lah kisah usahaku yang mulai maju itu. Entah lah ... ujian terberat pasca menikah. Pikiranku mendadak kacau, namun di depan Rania aku pura-pura tetap tersenyum, seolah tak terjadi apa-apa. Menganggap semua yang terjadi hal yang sangat biasa.Rania baru saja merasa nyaman dan begitu menikmati kehamilannya. Tak mungkin aku tega membuatnya ikut bingung dengan kebingungan ini. Bulan-bulan lalu dia begitu kepayahan dengan mual dan mabuk berat, biar lah kini dia merasa bahagia. Akan kusimpan sendiri kebingungan ini, tak akan kubagi padanya.Kupejamkan mata sebentar untuk menghilangkan penat. Pasca salat berjamaah di masjid yang tak jauh dari outlet, aku memang tak langsung pulang ke rumah, menenangkan hati dan istighfar sebanyak-banyaknya di sini sebelum bertemu dengan Rania. Kupikir, nanti setelah pulang hati sudah cukup lega dan tenang, hingga Rania pun tak akan terlalu mencemaskanku. Dering ponsel beberapa kali memaksa kedua mata terjaga. Kulihat sekeliling
Kabar dari Haris soal gantungan kunci mas Gaza cukup membuatku bertanya-tanya. Jika memang dia hanya sekadar ingin melihat dan menenangkanku saat itu, kenapa kemarin dia tak menemuiku? Hanya ada abah dan mas Alif di sana yang masih terus memberikan semangat padaku detik itu, sedangkan mas Gaza tak pernah terlihat batang hidungnya. Tapi ... Jika memang mas Gaza yang melakukannya, untuk apa? Apa dia masih tak rela jika aku bahagia bersama Rania? Bukan kah ummi bilang mas Gaza sudah ikhlas menerima perjodohan dari ummi? Tak mungkin juga dia secemburu itu apalagi tega mencelakakan saudara kembar sendiri. Benar-benar tak masuk akal. Kupejamkan mata sejenak, menikmati semilir angin yang menerpa wajah. Aku sengaja tiduran di teras dengan beralaskan tikar, kantuk pun mulai mendera. Apalagi menunggu Rania pulang dari pasar bersama ummi