POV : AZKA Kunci mobil sudah berada di tangan Rania. Dia kembali tersenyum menatapku. Ada binar bahagia di wajahnya yang ayu. Hadiah ini mungkin bisa sedikit mengobati rasa kecewa di hatinya karena outlet yang terbakar. Meski dia selalu berusaha menutupi, namun aku tahu ada nyeri dan sesak dalam dada yang sengaja disimpannya sendiri. "Mobilnya mana, Mas? Kuncinya doang nih?" tanyanya lagi, mengintip garasi dari jendela kamar yang masih kosong tak berpenghuni. "Ada. Sebentar lagi datang diantar pihak dealernya," jawabku sembari mengusap pelan pucuk kepalanya yang terbungkus jilbab coklat. Aku tahu Rania sangat menginginkan mobil karena memang tak terbiasa ke mana-mana menaiki roda dua apalagi vespa butut seperti milikku. Aku tahu dia sangat ingin memiliki kendaraan satu itu, apalagi sekarang hamil tua, lumayan susah untuk duduk di atas vespa, ditambah sering bolak-balik rumah sakit untuk kontrol kandungan. Aku sengaja menunggu permintaannya, barangkali saat dia benar-benar membu
Pov : GAZA |Ka ... aku tak tahu harus menjelaskan bagaimana lagi padamu bahwa bukan aku pelaku pembakaran outletmu itu. Soal Haikal, aku sendiri tak paham mengapa dia bisa bersandiwara demikian. Aku akan menyelidikinya. Tak akan kubiarkan dia menghancurkan nama baikku begitu saja| Kukirimkan sebuah pesan untuk Azka. Aku tak akan pernah rela jika namaku tercoreng atas apa yang tak pernah kulakukan. Sejak pertemuan keluarga dengan Haikal seminggu lalu, aku memang sedikit menghindar. Bukan karena takut, hanya saja ingin kembali berkumpul nanti saja setelah semua bisa kubuktikan kebenarannya. Aku malu. Terutama pada keluarga ibu yang begitu mempercayaiku. Tak mungkin kukecewakan mereka kedua kalinya. Apalagi pada Rania. Tiap kali dia dan Azka berkunjung ke rumah ummi, aku hanya menyapa sekenanya. Bukan karena sombong namun karena malu. Malu dengan sikap-sikapku dulu yang terlalu kekanakan, ditambah pengakuan Haikal yang tak sesuai kenyataan. |Aku percaya sama kamu, Mas. Aku yakin um
Pov : Gaza |Pelakunya sudah ditangkap, Za. Abah sudah di kantor polisi, kamu langsung ke sini ya. Rania dan Azka juga sudah datang| Pesan Abah baru saja kubaca setelah pesan itu terkirim sepuluh menit yang lalu. Sejak Abah mulai kecewa dengan keterpurukanku kala itu, aku memang mulai berbenah lagi. Tak enak rasanya membuat Abah dan Ummi kecewa. Aku pun mulai merintis kembali apa yang pernah kuperjuangkan, mulai menata kembali masa depan dan akan kubuktikan pada abah dan ummi kalau aku masih bisa dibanggakan. Sebenarnya aku hanya butuh waktu untuk menyembuhkan luka, tapi sepertinya persoalan bisnis tak bisa ditangguhkan dulu hanya demi menyembuhkan hati yang patah. Bisnis tetap saja berjalan. Tak bisa semudah itu berhenti lalu kembali berjalan. Tak lantas keluar masuk seenaknya ataupun maju mundur sesukanya, apalagi sekadar ingin menepi beberapa saat hanya karena patah hati. Mungkinkah benar yang dikatakan Ummi? Tak pantas aku terus menyesali apa yang telah terjadi bahkan teru
Pov : Gaza Jam dinding menunjuk angka delapan malam. Abah dan Ummi memintaku untuk duduk bersama, menceritakan tentang masalah kantor hingga akhirnya berujung dengan persoalan asmara. "Rania sudah bahagia bersama adikmu, Za. Apa kamu masih terus menunggunya?" Pertanyaan Abah memang biasa, tapi rasanya cukup mengganggu hati dan menyesakkan dada. Entahlah. Masih saja ada debar aneh tiap kali kudengar nama Rania. Sosok itu memang sulit kulupakan. Berulang kali mencoba tetap saja gagal. Di satu sisi aku sadar, jika dia mungkin memang bukanlah jodoh terbaik yang dikirimkan Allah untukku. Hanya saja, di sisi lain aku belum juga menerima kenyataan jika dia telah dimiliki adik kembarku sendiri. Aku benar-benar tak menyangka jika patah hati rasanya sesakit ini. Aku yang tak biasa terluka, tak biasa tersisih, tak biasa dipandang sebelah mata, akhirnya kini mengalaminya juga. Bahkan disingkirkan oleh adik kembarku sendiri yang selama ini tak pernah kuanggap ada karena tak ada power berarti
Pov : Rania Waktu terus bergulir. Semakin lama, perutku pun semakin membesar. Trimester pertama yang cukup melelahkan dan menguras tenaga karena sering mual dan lemas beralih ke trimester kedua yang mulai biasa saja. Makan cukup enak, tidur pun cukup nyaman. Mual dan lemas berkurang drastis. Lahap dengan buah maupun aneka camilan dan susu. Dan kini memasuki trimester tiga yang mulai balik nggak nyaman. Tidur mulai nggak enak. Rasa sesak di d4da yang menyerang tiba-tiba. Kadang ada rasa gatal di seputar perut yang amat sangat tak mengenakkan. Miring ke kanan dan ke kiri pun sedikit kesusahan. Insomnia berkepanjangan dan susah jalan. Ah masa-masa yang begitu mendebarkan dan penuh dengan tantangan, hingga tak terasa tiba di penghujung bulan kehamilan. Iya, sudah sembilan bulan lebih malaikat kecil itu terlelap di rahimku. Kini, sepertinya dia ingin segera bertemu dengan ayah bundanya. Kulihat jarum jam menunjuk angka satu dini hari. Perutku rasanya seperti diremas-remas, mules tak k
Kebahagiaan menyelimuti keluarga kecilku. Anak dan cucu pertama dalam keluarga yang begitu dinantikan kehadirannya. Laki-laki yang ada di sekelilingku --Mas Azka, Mas Alif lalu Abah-- pun mengumandangkan adzan ke telinga malaikat kecilku. Bayi mungil yang kami beri nama Althaf Ghifari Alfarizi. Nama yang indah. Ada banyak doa dan harapan saat kami memilihkan nama itu untuknya. Berharap kelak menjadi anak yang lembut hatinya, pemaaf dan rajin bekerja untuk mencari rejeki halalNya. Mas Azka terlihat begitu bahagia menggendong putra pertama kami. Dia begitu bersemangat menceritakan detik-detik kelahiran Althaf yang begitu mendebarkan dan menegangkan. Berulang kali mengucapkan terima kasih padaku karena telah memberinya seorang putra yang tampan dan kelak InsyaAllah bisa menjadi pelita untuk kedua orang tuanya. Pelita kecil yang memancarkan cahaya untuk banyak orang. Ummi dan ibu asyik bercengkerama di sofa, bergantian menggendong cucu pertama mereka. Kulihat senyum bahagia di b
Pov : Gaza Althaf Ghifari Alfarizi. Nama indah yang dipilihkan Azka dan Rania untuk anak lelakinya. Hari ini mereka terlihat sangat bahagia, mengadakan aqiqah dan syukuran atas kelahiran buah hati mereka. Ummi dan abah juga terlihat bahagia, apalagi ibu dan Alif. Semua bahagia, aku pun sama. Hanya porsi bahagianya saja yang mungkin berbeda. Meski aku sudah berusaha untuk terlihat bahagia, tapi nyatanya dalam hati masih terasa sesaknya. Banyak tetangga dan teman-teman Abah yang datang. Mereka mengucapkan selamat atas hadirnya malaikat kecil diantara Rania dan Azka. Laki-laki kecil yang k
Pov : Gaza "Win, apakah laki-laki yang kamu maksud itu aku?" tanyaku lagi untuk ketiga kalinya, tapi Windy masih tak mau bicara. Aku hanya ingin tahu apa yang sebenarnya ada di dalam hatinya. Tak ingin kisah Andah terulang kembali di saat aku bersama Aisyah nanti. Ah Aisyah, mungkinkah memang dia yang harus kupilih? "Bukan, Za. Bukan kamu," ucapnya lirih. Dia tak mau menoleh. Hanya menyeka kembali kedua pipinya yang basah. "Seandainya nanti jawaban istikharahku dan Aisyah sama, apa kamu menyetujuinya?" Windy menoleh lalu tersenyum tipis.