Aku meregangkan tubuh yang terasa lelah sekali seusai mengangkat perabot katering ke dalam mobil box. Dan, yang paling aku tunggu adalah upah yang diberikan pada waktu terakhir. Waktu sudah bergeser cukup larut saat semua pekerjaan selesai. Aku menyempatkan duduk di kursi taman untuk istirahat sejenak. Mengganti sepatu kebesaran dengan sandal jepit. "Kenapa kamu masih di sini? Tuh, yang lain sudah pada pulang." Aku menoleh. "Eh, Nyonya lagi ... ini juga mau pulang," sahutku seraya memasukkan sepatu ke kantong plastik. "Aku akan memberikan uang, tetapi jangan muncul dihadapanku," pinta Ibu dengan arogan. "Uang?" Aku beranjak dari duduk, berdiri berhadapan dengan Ibu. "Saya nggak butuh uang dari Anda, Nyonya. Terima kasih banyak. Satu lagi, jangan mengatur saya." "Dengan uang kita bisa mendapatkan apa pun, Sinar." "Dan, uang juga bisa membuat nurani seorang Ibu terbakar. Menyisakan ketamakan." "Keras kepala." Geram Ibu. "Aku bisa mencukupi kehidupan kalian, Sinar. Kamu nggak usa
Sampai di dapur, Bu Asri menyuruhku mencuci peralatan masak dan makan. Aku sempat mengagumi dapur yang cukup luas dengan jendela-jendela besar. "Bu Asri, yang tinggal di rumah ini berapa anggota keluarga? Itu tadi siapa saja?" tanyaku seraya membasuh piring dengan air yang mengalir."Pak Atma dengan kedua putra tirinya. Pak Hendi dan Pak Bagas. Yang perempuan menantunya Bu Yunita. Pak Bagas tidak tinggal di sini," jelas Bu Asri."Nggak punya putra kandung, ya?" Aku masih penasaran."Sudah meninggal dan yang satu menghilang. Sudah kerjakan pekerjaanmu jangan banyak tanya. Itu urusan keluarga mereka." Bu Asri berkata dengan nada agak ketus.Aku pun melanjutkan pekerjaan, sesekali melihat ke luar jendela. Memandang langit yang membiru."Jadi ... dahulu kala. Dari pernikahan pertama, Pak Atma punya dua anak. Beberapa tahun kemudian setelah istrinya meninggal dunia, Pak Atma menikah yang kedua kalinya dengan janda yang juga mempunyai dua orang anak ...."Kepalaku menoleh ke belakang, mema
Jus mangga itu berbecak kuning pada buku dan meja. Ibu seperti anak kecil, tertunduk dalam saat mertuanya marah."Kenapa Papa berteriak pada istriku?" tegur Pak Hendi yang berjalan menuruni undakan anak tangga."Lihat, bukuku kena muncratan jus," kata Pak Atma."Bisa beli yang baru, Pa. Gitu saja dipermasalahkan." Pak Hendi berdiri di samping Ibu."Itu buku cetakan pertama, Hen!" Urat-urat di rahang keriput Pak Atma nampak tercetak jelas. Kemarahan menguasai lelaki lanjut usia itu."Tetapi, tidak perlu teriak, Pa .... Itu hanya buku," sahut Pak Hendi dengan entengnya."Seharusnya kamu tidak menikahi perempuan itu. Kampungan," ujara Pak Atma.Aku menatap Ibu, ekspresinya berubah jadi marah. Tetapi, sepertinya Ibu tidak mampu mengeluarkan amarahnya."Papa, cukup. Aku dulu menuruti Papa saat dijodohkan. Walaupun Papa bukan ayah kandungku, aku sangat menghormati Papa," pungkas Pak Hendi, menarik Ibu pergi dari ruang keluarga.Tangan kananku meraih tisu, mengelap dengan perlahan noda pada
"Sinar." Rahang Ibu tampak mengeras. Matanya nyalang menatapku. Ibu, bukan Ibu yang dulu, walaupun dulu sering abai, tapi dia tidak pernah terlihat sangat marah seperti sekarang. Ibu berubah karena harta."Permisi, Nyonya." Aku berlalu dari hadapan Ibu. Berjalan sangat pelan kembali ke dapur.Aku termangu di bibir pintu dapur. Melihat Dewa yang menoleh ke arahku. Dia tersenyum. Aku berharap, hari segera berlalu. Demi kebaikan Dewa, semoga Ibu mengurung diri di kamar terus sampai kami pulang. Aku tidak ingin Dewa mengalami penolakan."Sudah kamu antar?" tanya Bu Asri yang baru keluar dari kamar mandi."Sudah.""Kalau kamu sudah selesai dengan tugas dari Pak Atma, bersihkan kamar yang berhadapan dengan kamar Bu Nyonya. Ganti seprai dan sarung bantal," perintah Bu Asri."Bu Nyonya?""Kamu, kan, manggil Nyonya. Aku manggilnya Bu. Jadi, aku gabungkan saja." Bu Asri tersenyum lebar, sehingga kerut-kerut di wajahnya berlipat lebih banyak. "Akan segera aku laksanakan ....""Eh, Sinar. Aku k
"Mbak Sinar, Mas Randu baru saja keluar. Katanya mau beli pensil," ucap Rahma, begitu aku masuk ke rumah."Nggak apa-apa, Rahma," sahutku. "Mau cokelat?"Rahma mengambil cokelat dari tanganku, dia langsung melahapnya. "Eh, tapi, Mas Randu pinjam motor temannya, biasanya juga jalan kaki," ungkap Rahma."Motornya siapa?""Itu milik Bang Reza."Randu keluar rumah bukan untuk beli pensil, dia pasti ke rumah Pak Atma. Karena tadi aku sempat memberitahu alamat rumahnya. Semoga saja dugaanku salah. Aku khawatir jika Randu bertemu dengan Ibu."Rahma, kunci pintunya. Aku mau nyusul Randu." Aku ke kamar terlebih dahulu, mengambil jaket di lemari pakaian. Dewa tampak sudah lelap di atas pembaringan."Jangan lama-lama ya, Mbak. Aku takut sendirian." Rahma sedikit mengerucutkan bibirnya."Maaf, ya ... nggak akan lama, kok."Kedua kakiku melangkah keluar rumah sembari mengenakan jaket. Dengan menggunakan jasa ojek online aku menuju rumah Pak Atma.Setelah menempuh perjalanan sekitar lima belas men
[Aku ikut ekstra kurikuler basket, terus mampir ke rumah Bila. Pulang agak malam.] Aku menghela napas panjang saat membaca pesan dari Rahma. Seminggu yang lalu dia juga ke rumah Bila, teman satu kelas yang notabene anak dari keluarga berada."Beli bakso banyak banget," komentar Bude Yani, melihat Reza menaruh kantong plastik berisi lima bungkus bakso di meja."Untuk Bude juga," sahutku berjalan ke dapur untuk mengambil empat mangkuk. Kami berempat menikmati makan bakso bersama. Beberapa kali Bude Yani melirik Reza. Entah apa yang dipikirkan Bude Yani."Bude, saya ingin melamar Sinar," ucap Reza.Bude Yani tersedak, sedangkan aku berhenti mengunyah bakso dan menatap Reza. 'Dia ingin menikah denganku?'"Saya ingin menikahi Sinar," lanjut Reza dibarengi senyum."Apa ibumu setuju? Karena ibumu selalu berkeluh kesah kalau Sinar nggak cocok denganmu," tanya Bude Yani. "Masalah ibu, itu urusan saya. Yang menikah kami berdua, bukan Ibu," ujar Reza."Tapi, Reza ... kalau menikah tanpa restu
Aku menarik perlahan tubuh Rahma, supaya masuk ke dalam mobil taksi. Dia menurut saja, duduk di kursi belakang mobil dengan wajah memberengut. Sepanjang perjalanan kami hanya terdiam.Sampai di rumah, Rahma langsung masuk ke kamar. Aku hanya ingin melindunginya, tetapi mungkin sikapku selama ini tidak tepat."Terima kasih, Bu Minah," ucapku pada perempuan kurus dan berambut abu-abu. Tidak lupa aku menyelipkan selembar uang lima puluh ribu di tangannya."Sama-sama. Ini tidak perlu, Cah Ayu. Ditabung saja." Bu Minah meletakkan uang itu di telapak tanganku, kemudian Bu Minah keluar rumah.Aku menutup pintu. Menggenapi paru-paru dengan udara. Ponselku kembali berdering, telepon dari nomor yang sama."Halo." Akhirnya aku memberanikan diri menerima panggilan telepon."Ibu tahu kamu pasti terkejut. Apa kabar kalian?"Aku rasanya antara ingin tertawa dan mengumpat. "Untuk apa Anda menelepon saya?" Alih-alih menjawab pertanyaan, aku membalas dengan pertanyaan lain."Ibu hanya ingin tahu keadaa
Aku menatap Randu lekat-lekat, dua bulan tidak bertemu kulitnya lebih cokelat. Badannya tambah kekar. Adikku sangat menawan.Dewa pun langsung melompat ke dalam gendongan Randu. Tangannya mengusap rahang Randu yang ditumbuhi bulu-bulu halus."Belum cukur atau niat mau sedikit brewokan?" Aku menuang es teh ke gelas, walaupun sudah sore cuaca cukup panas. "Pingin brewian dikit, Mbak. Rahma mana?" Aku meletakkan gelas berisi es teh di meja. Menceritakan pada Randu bahwa Rahma mengambil pekerjaan paruh waktu setelah pulang sekolah."Aku terpaksa mengizinkan Rahma bekerja, karena dia bersikukuh," ucapku, duduk bersandar di kursi."Apa Mbak Sinar kesulitan menghadapi Rahma?" Randu juga duduk, sedangkan Dewa bermain mainan robot-robotan yang dibelikan Randu."Sedikit," sahutku. "Rahma ingin bertemu dengan Ibu. Dia sangat merindukannya. Kau tahu, beberapa waktu lalu Ibu meneleponku ....""Apa Ibu minta maaf?" Wajah Randu terlihat ada sedikit perubahan. Agak keruh."Nggak. Ibu cuma menanyaka