Home / Romansa / Ibu Kost yang menggoda / Nafas yang Tertinggal di Belakang

Share

Nafas yang Tertinggal di Belakang

last update Last Updated: 2025-11-23 13:24:55

Angin hutan berubah.

Nggak cuma dingin—tapi berat, penuh tekanan, seolah udara itu sendiri tahu ada sesuatu yang tidak seharusnya ada di dunia ini.

Ravika masih berjongkok di samping Arven, tangan dingin menempel di pipi anak itu. Tubuh Arven tremor kecil, seperti ada gelombang rasa sakit yang merambat dari dalam tulangnya.

Darman mendekat, jongkok, memeriksa nadi Arven lagi.

Nadinya masih ada—tapi ritmenya kacau. Naik turun. Lari lalu jatuh. Seolah tubuhnya bereaksi pada sesuatu yang nggak kelihatan.

“Ini bukan sakit biasa,” gumam Darman, suara rendah. “Seolah… ada tekanan dari luar yang ngejepit energi hidupnya.”

Ravika terpaku.

Tekanan dari luar.

Raga.

Jantung Ravika naik ke kerongkongan. Suasana hutan mendadak menyesakkan. Setiap helai rumput seperti berdiri, menandakan ada bahaya yang makin dekat.

“Darman,” Ravika berkata pelan. “Kamu ngerti apa maksudnya?”

Darman menatapnya lama.

Wajahnya muram, satu senjata mental yang nggak pernah Ravika lihat sebelumnya.

“Kehadiran orang itu…
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • Ibu Kost yang menggoda   Hal-Hal yang Tidak Diselesaikan Hari Ini

    Malam datang tanpa pengumuman.Lampu-lampu menyala satu per satu, bukan sebagai tanda penutup, tapi sebagai kelanjutan. Ravika menyadarinya saat bayangannya memanjang di aspal, lalu terpotong oleh cahaya toko yang setengah mati. Tidak ada perasaan “akhir hari.” Hanya transisi yang dibiarkan berjalan.Di kamar, tas diletakkan begitu saja. Sepatu tidak langsung dirapikan. Ada bagian lama dalam dirinya yang masih ingin semuanya kembali ke posisi semula—ritual kecil sebagai ilusi kendali. Ia membiarkannya tertunda.Lampu kamar menyala redup. Debu di udara tampak jelas sebentar, lalu menghilang dari perhatian. Ravika duduk di tepi kasur. Punggung sedikit membungkuk. Lelahnya tidak dramatis, tapi menyebar.Manajer hadir kembali, lebih terasa di ruang sempit itu.Detak jantung di atas baseline malam. Pola pikiran belum stabil.“Gue tau,” kata Ravika, tidak defensif. “Hari ini panjang.”Biasanya, kalimat itu akan diikuti daftar rekomendasi. Sekarang, tidak. Ada jeda yang cukup lama hingga Rav

  • Ibu Kost yang menggoda   Variabel yang Dibiarkan Hidup

    Pintu menutup, dan dunia tidak berubah karenanya.Itu hal pertama yang Ravika sadari.Tidak ada transisi lembut. Tidak ada sensasi “mulai sekarang semuanya beda.” Udara di luar tetap berat oleh sisa hujan semalam. Aspal masih menyimpan bau besi dan tanah. Langkah orang-orang terburu-buru, masing-masing membawa kepentingan yang tidak ada hubungannya dengan dia.Dan justru di situlah ada sesuatu yang bergeser.Ia berjalan tanpa memeriksa jam. Biasanya, itu pelanggaran kecil yang langsung memicu koreksi internal. Sekarang—tidak. Ada impuls untuk tahu waktu, tentu. Tapi impuls itu tidak langsung diberi kuasa. Ia membiarkannya lewat, seperti mobil yang melaju tanpa perlu diikuti.Langkahnya tidak cepat. Tidak lambat. Ritme yang belum bernama.Manajer tidak memberi update apa pun selama dua blok pertama. Tidak ada analisis gait. Tidak ada peringatan postur. Hanya kehadiran samar, seperti bayangan yang tidak selalu menempel.Ravika berhenti di lampu merah. Menunggu. Menatap garis putih yang

  • Ibu Kost yang menggoda   langkah pertama yang tidak ditinggalkan

    Ravika akhirnya bangun bukan karena siap—tapi karena dunia memang tidak pernah menunggu kesiapan siapa pun.Kaki menyentuh lantai. Dingin. Sedikit berdebu. Nyata dengan cara yang tidak puitis. Ia berdiri terlalu lama, menatap cermin tanpa benar-benar mencari apa pun. Bukan refleksi yang ia nilai, melainkan sensasi: tubuh yang masih berat, pikiran yang belum rapi, napas yang kadang terlalu dangkal.Wajah yang sama.Mata yang… tidak sepenuhnya sama.Ada jeda kecil di sana. Bukan kepercayaan diri. Lebih seperti ruang kosong yang dulu selalu diisi Manajer dengan instruksi cepat. Sekarang, ruang itu dibiarkan bernapas.Manajer hadir, tapi bukan di depan. Bukan di belakang.Lebih seperti suara di samping—kadang terdengar, kadang tidak.> Postur tubuhmu menegang. Bahu naik 12% dari baseline, katanya, netral.“Gue tau,” jawab Ravika pelan. “Kasih gue semenit.”Biasanya, Manajer akan memaksa koreksi. Tarik napas sekian detik. Relaksasi otot. Optimasi mikroskopik. Sekarang, ia diam. Dan Ravika

  • Ibu Kost yang menggoda   Aftertaste

    Transisi itu tidak dramatis.Tidak ada cahaya menyilaukan. Tidak ada countdown. Tidak ada suara system reboot yang norak.Yang ada hanya rasa… sisa.Seperti habis menangis lama, lalu duduk sendirian di kamar yang masih berantakan. Udara terasa beda, meski furniturnya sama.Ravika berdiri di ambang realitas yang baru mengeras itu. Lantai di bawah kakinya bukan lagi putih absolut—ada tekstur tipis, hampir seperti beton yang terlalu sering diinjak. Tidak cantik. Tapi nyata.Spiral di dadanya stabil. Tidak berdenyut. Tidak memanggil perhatian.Ia ada. Dan itu cukup.Manajer masih di sana.Bukan sebagai bayangan. Bukan sebagai ancaman laten. Tapi juga belum sepenuhnya… nyaman dengan posisinya yang baru.Ia menatap tangannya sendiri, lalu sekeliling, seperti orang yang baru sadar meja kerjanya sekarang ada jendela.“Ini… tidak efisien,” katanya akhirnya.Ravika melirik. “Bilang aja lo panik.”Manajer menghela napas. Gestur itu baru. Dulu, ia tidak pernah membuang napas tanpa tujuan.“Aku ti

  • Ibu Kost yang menggoda   Pemilik Sistem

    Putih yang tadinya transparan kini seperti kaca berlapis embun. Bukan menutup—lebih ke menunda. Realitas di baliknya jelas lebih padat, lebih tua. Seperti server legacy yang masih jalan karena tidak ada yang cukup berani mematikannya.Ravika berdiri diam. Napasnya sudah kembali normal, tapi tubuhnya belum sepenuhnya percaya bahwa ini aman. Spiral di dadanya tetap idle, tapi kini terasa… mendengar. Bukan alat. Bukan ancaman. Lebih seperti saksi.Versi dewasa dirinya—si Manajer—berdiri sedikit ke samping. Tidak lagi di depan. Itu perubahan kecil, tapi signifikan. Ia masih tenang, tapi ketenangannya kini defensif.“Kau tidak seharusnya memanggilnya,” kata Manajer itu. Nada suaranya turun setengah oktaf, seperti orang yang akhirnya bicara jujur setelah rapat ditutup.Ravika meliriknya. “Gue nggak manggil. Gue berhenti nutupin.”“Efeknya sama.”Lapisan transparan itu bergetar, lalu terbelah. Bukan robek—terbuka seperti pintu otomatis yang mengenali kartu akses lama.Dan dari sana, ia muncu

  • Ibu Kost yang menggoda   Kebenaran Tidak Pernah Netral

    Ravika bangun sambil terbatuk—bukan karena debu, tapi karena realitas baru ini rasanya terlalu jujur buat paru-parunya.Arena ini luas. Terlalu luas. Bukan kosong, tapi telanjang. Lantai putih tanpa tekstur, langit putih tanpa arah. Horizon patah-patah seperti data korup. Tidak ada atas. Tidak ada bawah. Semua berdiri karena disepakati berdiri.Spiral di dadanya tenang sekarang. Bukan mati. Lebih ke idle mode. Mesin yang sudah berhenti berteriak, tapi masih panas.“Jadi ini level berikutnya?” gumamnya. “Minimalis amat. Kayak presentasi investor jam lima sore.”Langkah kaki terdengar.Bukan gema. Bukan pantulan. Langkah itu punya bobot—dan maksud.Sosok itu muncul tanpa efek dramatis. Tidak turun dari langit. Tidak keluar dari portal. Ia hanya… ada. Seperti fakta yang selama ini sengaja dihindari.Ravika berhenti bernapas sesaat.Sosok itu adalah dirinya.Bukan versi kecil. Bukan versi rusak. Bukan bayangan trauma.Versi dewasa. Rapi. Bersih. Mata tenang. Senyum tipis yang sering dipak

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status