Share

Miranda Mencoba Mendekati Bu Aminah

"Ambil balik perhiasan emas itu, saya gak suka," ujar Bu Aminah pada Miranda.

Wanita bertubuh jenjang itu mencoba bersabar, padahal tadi pagi ia bela-belain menanyakan alamat rumah Bu Amina pada Rudi karena ia ingin mengambil hatinya dengan memberikan perhiasan emas.

"Saya ikhlas, kok, Tante, ini untuk pertemanan."

"Gak mau saya berteman sama kamu, teman saya udah banyak banget."

"Tante sukanya yang model gimana? Nanti saya akan bawakan, atau Tante mau pilih sendiri di toko emasnya?"

"Ngeyel banget kamu, saya bilang saya gak suka perhiasan emas!" bentak Bu Aminah hingga membuat Miranda terhenyak.

"Assalamualaikum!" ujar Anisa yang baru saja tiba.

Bu Aminah dan Miranda langsung terhenyak saat melihat kedatangannya.

"Aduh menantu kesayangan ibu datang, sini jagoan nenek, ayo ganteng," ujar Bu Aminah sembari menggendong bayi mungil dari pangkuan Anisa.

"Miranda, kamu kok ada disini?" tanya Anisa yang tampak kebingungan.

"Kamu kenal dia? Dia itu maksa ibu buat beli kalung emas itu."

"Loh, kamu sekarang jualan perhiasan, Mir?"

"I...iya."

"Ibu suka gak, sama kalung emasnya, nanti biar aku belikan buat Ibu," ujar Anisa.

"Enggak mau Ibu, nodelnya jelek banget, lagian ibu gak suka perhiasan emas."

"Miranda ini sahabat aku waktu SMA, suaminya itu pengusaha yang lumayan sukses, tapi dia masih sempat-sempatnya jualan emas, rajin ya dia."

"Eh, kalau gitu aku pamit dulu, Nis." Miranda tampak kehilangan muka saat Anisa berniat menyanjungnya, karena rahasianya yang masih memiliki suami ketahuan oleh Bu Aminah.

"Loh, kenapa buru-buru, aku kangen loh sama kamu, sudah lama gak ngobrol-ngobrol."

"Oh, jadi dia masih punya suami? Kok punya suami masih aja cari mangsa."

Miranda semakin tak tahan saat Bu Aminah terus menyindirnya.

"Iya, semalam ibu gak sengaja lihat dia lagi godain suami orang."

"Saya pamit dulu," ujar Miranda lalu bergegas pergi tanpa memperdulikan ucapan Bu Aminah.

"Mungkin Ibu salah lihat, soalnya suaminya itu ganteng banget dan sudah mapan, jadi dia gak mungkin selingkuh," ujar Anisa.

"Gantengan mana sama Rudi?"

"Emm.. gantengan Mas Rudi, dong."

"Kamu kenal sama suaminya?"

"Suaminya itu Ferdi, sahabat Mas Rudi waktu SMA."

Bu Aminah tampak kesal saat mengetahui bahwa Rudi sangat mengenal suami Miranda, mulutnya terasa gatal karena ingin mengomeli putranya, sebenarnya tadi ia juga ingin mengomeli Miranda yang kegatelan menggoda Rudi, padahal dirinya bersahabat dengan Anisa. Namun, Bu Aminah mencoba menahan semua rasa itu, karena tak mau membuat menantunya mengetahui kelakuan anak lelakinya.

"Ya sudah jangan bahas mereka lagi, kamu bawa apa itu?" Bu Aminah mengalihkan pembicaraan.

"Ini pepes ayam buat Ibu."

"Ya ampun, kamu memang menantu terbaik, semalam ibu lagi pengen pepes ayam eh tiba-tiba kamu datang bawa pepes ayam."

Anisa tersenyum mendengar ucapan ibu mertuanya yang selalu menghargai apapun pemberiannya. Setelah itu Bu Aminah menidurkan cucunya di kamarnya.

"Sekarang tidurnya udah lelap ya dia."

"Iya, Bu, alhamdulillah, sekarang aku juga udah bisa tidur malam."

Setelah itu Anisa bergegas ke dapur untuk mengambil piring.

"Bawa apa itu, Nisa?" tanya Pak Arman.

"Pepes ayam, ayo kita makan bareng, Ayah!"

"Boleh juga, sudah lama ayah gak makan pepes ayam."

Bu Aminah, Pak Arman dan Anisa makan pepes ayam dengan lahapnya. Sementara Retha masih di kampus, sedangkan Risa sekolah.

"Enak banget ya masakan menantu kita," puji Bu Aminah.

"Soal masakan, ayah akui kamu memang jago." Pak Arman mulai memuji Anisa.

"Terimakasih," ujar Anisa sembari menatap kedua mertuanya dengan tatapan nanar.

Sebenarnya ia ingin tinggal serumah dengan kedua mertuanya itu, ia ingin berbakti kepada mereka, karena kini ia sudah tak memiliki orangtua. Namun, Bu Aminah langsung menyarankan mereka untuk mengontrak dari awal Anisa dan Rudi menikah, karena berharap anak mantunya itu bisa mandiri, terlebih agar anak lelakinya lebih bertanggung jawab pada istrinya.

"Kenapa mata kamu berkaca-kaca gitu?" tanya Bu Aminah.

"Nisa cuma ingat kedua orangtua Nisa, mereka sangat menyukai pepes ayam."

"Kamu jangan sedih lagi, ya, sekarang kan kami sudah jadi orangtua kamu," ujar Bu Aminah.

Setelah selesai makan, bayi Anisa menangis, Anisa langsung bergegas menyusuinya.

"Kita ngobrol di teras, yuk, sambil jaga warung!" ajak Bu Aminah setelah Anisa selesai menyusui anaknya.

Anisa mengangguk, lalu bergegas mengikuti ibu mertuanya ke teras. Di depan rumah itu tumbuh pohon mangga dan pohon rambutan yang rindang, sehingga suasana menjadi sejuk. Saat tengah asyik mengobrol, tiba-tiba seorang tetangga bernama Bu Lisna mampir ke rumah itu.

"Tumben Bu Aminah ada teman ngobrol," ucapnya.

"Iya, Bu, perkenalkan saya Anisa, istri Mas Rudi." Anisa mencium tangan wanita bertubuh gempal itu.

Bu Lisna langsung duduk di sebuah kursi yang terbuat dari rotan di samping Bu Aminah dan Anisa, padahal tak ada yang menawarinya untuk mampir.

"Oh, jadi Bu Aminah sering mengantarkan makanan ke rumah kamu?"

"Iya, Bu, ibu mertua saya memang yang terbaik," jawab Anisa.

"Harusnya kamu tinggal disini biar bisa bantu-bantu mertuamu."

"Apaan sih, Bu Lisna, rempong banget sama hidup orang." Bu Aminah menyahut.

"Kalau mantu saya, Bu, bangun jam 3, ngerjain semua pekerjaan rumah, terus masak buat jualan nasi uduk, pulang jualan langsung nyetrika, nyikat kamar mandi dan lanjut ngepel."

"Bosen deh, Bu Lisna tiap ketemu ngomongnya itu mulu," ujar Bu Aminah.

"Semua gaji anak saya itu diberikan pada saya, terus penghasilan si Netti yang jualan nasi uduk juga setengahnya diberikan pada saya." Bu Lisna terus nyerocos padahal Bu Aminah dan Anisa sudah mulai muak mendengar ucapannya.

"Bangga banget dengan kedzaliman," celetuk Bu Aminah.

"Kasihan ya menantu Ibu, alhamdulilah ya Allah, saya diberikan ibu mertua yang sangat baik." Anisa menyahut.

"Saya bukan dzalim, tapi saya pinter didik mantu. Rencananya sih si Agus mau saya suruh nyari istri lagi yang bisa nyari duit, biar setoran saya nambah."

"Pergi sana, Bu, saya gatal pengen jahit mulut Bu Lisna!" Bu Aminah langsung mengusirnya.

"Lihat deh, ini kalung dan gelang emas dari menantu saya yang lainnya." Bu Lisna terus pamer padahal Bu Aminah sudah mengusirnya.

"Cepetan pergi!" teriak Bu Aminah.

Setelah wanita bertubuh gempal itu pergi, Bu Aminah dan Anisa langsung menghela napas.

"Ngeri deket-deket sama orang gitu, takut ketularan gak waras," ujar Bu Aminah.

Anisa hanya tersenyum mendengar ucapan ibu mertuanya. Ia semakin merasa bersyukur karena diberikan mertua yang sangat baik.

"Kasihan sekali menantunya, itu yang jualan nasi uduk di simpang jalan itu," ujar Bu Aminah.

Anisa terdiam saat mendengar ucapan mertuanya, ia pernah beberapa kali melewati wanita penjual nasi uduk di simpang jalan tersebut, setiap kali melewatinya, Anisa selalu melihat penjual nasi uduk itu bermata sembab seperti habis menangis.

"Bu, Nisa mau pulang dulu ya."

"Ayo ibu antar ke depan nyari ojek atau becak."

Anisa mengangguk.

"Ayaaah! Titip warung bentar!" teriak Bu Aminah.

"Iyaaaaa!" Pak Arman menyahut.

"Bu, jam segini nasi uduknya masih ada gak ya?" tanya Anisa.

"Kayaknya ada, ayo ibu antar!"

Beberapa saat kemudian mereka melihat tukang becak, lalu keduanya segera naik kendaraan roda tiga yang dikayuh itu. Saat melewati tukang nasi uduk yang menggunakan gerobak di pinggir jalan dekat sebuah pabrik textile, Anisa dan Bu Aminah berhenti sejenak untuk membeli nasi uduk.

"Eh, Bu Aminah," sapa wanita berkulit sawo matang itu.

Anisa menatap wajah wanita itu yang dipenuhi luka lebam.

"Kenapa wajahnya, Mbak?" tanya Anisa.

"Oh, ini saya jatuh."

Anisa dan Bu Aminah langsung mengernyitkan dahi, karena lebam di area wajahnya itu seperti bekas penganiayaan. Namun, mereka tak berani lagi bertanya lebih lanjut, karena wanita itu tampak tak ingin memberitahukan apa yang sebenarnya terjadi.

"Netti, nasi uduknya kok masih banyak? Padahal hari sudah siang?" tanya Bu Aminah.

"Hari ini kan pabrik libur makanya yang beli cuma satu dua, sementara saya harus tetap jualan meskipun pabrik libur."

Anisa dan Bu Aminah merasa iba dengan wanita itu lalu masing-masing membeli dua porsi nasi uduk dengan lauk yang dipisah. Setelah itu mereka pamit untuk pulang ke rumah masing-masing.

Beberapa hari kemudian terdengar kabar Bu Lisna dan Netti menghilang dari rumahnya.

Bersambung.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status