“Mami?” panggil Yasmin lagi. Suaranya gemetar, seperti anak kecil yang siap menerima hukuman.Hati wanita itu mencelos. Bukankah Barra terluka karena menyelamatkannya?“Yasmin … minta maaf, Mi,” lirihnya, tertunduk dalam-dalam.Kalau pun Kezia memaki, mengusir, atau membencinya, Yasmin akan terima. Dia sudah siap dan harus ikhlas.Tubuh Kezia bergetar. Dari pantulan bayangan di lantai rumah sakit, Yasmin bisa melihat tangan wanita paruh baya itu mengepal rapat. Isak tangisnya lirih dan memilukan di telinga.Boy dan Cleo kembali rewel dalam dekapannya, seakan ikut menyerap kesedihan sang ibu susu yang meluap.Tiba-tiba, tangan Kezia terangkat dan ….“Syukurlah kamu selamat, Yasmin. Mami ke sini mau antar kamu pulang,” bisik Kezia di tengah tangis.Wanita paruh baya itu merengkuh tubuh Yasmin ke dalam pelukan hangat. Kezia menumpahkan air matanya di pundak Yasmin.Yasmin me
“Bram … keluar! Ada yang cari kamu.” Suara nyaring seorang wanita itu diiringi ketukan pada pintu makin intens, membuat Bram yang sempat mendengar suara sirine langsung terlonjak kaget. Detak jantungnya bagai memberontak.“Cepat, Bram!” teriak Sarah lagi.Dengan tangan gemetar, Bram membuka pintu dan melihat ibunya berdiri dengan wajah panik. Sarah tampak pucat pasi, keringat dingin membasahi pelipisnya.Melihat itu, tangan Bram mengepal, dan dia merasakan hawa dingin menyelimuti tubuhnya.Sarah langsung meraih wajah putranya dengan tatapan penuh iba. Namun, Bram menepisnya dengan kasar, sorot matanya menajam.“Jangan seperti itu, Bu. Aku ini udah besar!” sergah pria itu.Seketika dari lantai dua, dia mendengar suara berat seorang pria dari arah bawah. Bram menoleh dengan cepat, dan tubuhnya menegang. Suara itu bagai menggetarkan dadanya yang sudah rapuh.“Kamu kenapa, Nak? Cerita sama Ibu, Ibu pasti bisa bantu. Kamu berantem sama Tamara ‘kan?”“Sebaiknya Ibu usir tamu di bawah!” Pria
Ponsel Bahtiar berdering nyaring, memutus percakapan seriusnya dengan Samantha. Alis asisten Barra itu langsung mengerut dalam, dan napasnya berembus panjang seperti menahan sesuatu yang tidak menyenangkan.“Ada apa? Siapa yang telepon? Polisi?” tanya Samantha dengan nada tidak sabar. Jelas sekali dia ingin segera tahu siapa pelaku dari kasus pembunuhan berencana ini.Bahtiar mengangkat ponsel, lalu memperlihatkan layar yang menampilkan nama Cindy.“Angkat,” titah Samantha begitu lugas dan tajam.Bahtiar mengangguk pelan, lalu menggeser ikon hijau dengan gerakan tenang juga waspada. Suaranya terdengar datar saat menjawab panggilan itu.“Ya, Mbak Cindy, ada apa?”“Bagaimana kabar Kak Barra? Dia sudah bangun ‘kan? Nanti siang aku ke rumah sakit bareng Mami, tapi … apa kami boleh mampir ke rumah?”Samantha memberi isyarat dengan gerakan kepala sambil mengetik cepat di ponselnya, lalu menunjukkan teks itu pada Bahtiar. Mereka saling memahami dalam diam, sorot mata keduanya bicara tanpa su
Yasmin mengangguk pelan. Dida hendak menunjukkan cincin itu lewat media sosial Bram, tetapi akun pria itu mendadak hilang. Setelah dia cari melalui akun-akun gosip, ternyata Bram memutuskan untuk rehat dari dunia maya. Alis Yasmin mengerut dalam. Dia menggeleng tidak percaya. Sungguh sebuah kebetulan yang tak disangka. "Kamu yakin, Yasmin?" tanya Samantha sekali lagi. "Yakin, Dok ... Tapi Yasmin nggak punya fotonya," sahut ibu susu ini, menghela napas. "Oke, biar timnya Barra yang cari. Makasih infonya. Sekarang kamu rileks dan berdoa buat Barra, ya. Aku balik ke rumah sakit dulu," pamit Samantha, memeluk Yasmin dengan erat. Yasmin hanya bisa memandangi kepergian Samantha dengan kosong. Rumah ini benar-benar seperti penjara baginya. Dia bahkan tidak boleh keluar sekalipun hanya untuk menjenguk pria yang telah menyelamatkannya. Namun, dia tidak pernah putus mendoakan pria itu. Perlahan Yasmin melangkah ke kamar si kembar dan menemukan mereka asyik berceloteh sambil bermain. Rasa b
Tim dokter segera memeriksa kondisi Barra. Bahtiar dan Dariel berdiri dengan wajah tegang dari balik kaca ICU. Napas mereka terdengar berat, seolah menahan segala kemungkinan buruk yang bisa terjadi. Dariel menoleh pada Bahtiar dan memerintah. "Hubungi Tante Kezia! Sekarang!" Tanpa bertanya lebih lanjut, Bahtiar segera keluar dari ruang ICU. Membuat Airin dan Cindy langsung berdiri di ruang tunggu. Dua wanita itu saling berpandangan, menyadari ada yang tidak beres. Sementara itu, di sisi lain Kezia tengah menerima telepon dari asisten pribadi putranya. Suaranya tercekat saat mendengar nama ‘Barra; disebut. "Barra ... anakku," bisiknya, satu tangan menutup mulutnya, dan air mata mengalir tanpa izin. "Oke, Tante ke sana sekarang." Tidak disangka, Yasmin mendengar percakapan itu. Dia langsung menghampiri Kezia yang hendak keluar rumah. "Mi! Tunggu!" serunya sambil tertatih mengejar. Meskipun kakinya masih nyeri, dia memaksakan diri. "Yasmin boleh ikut, ya? Tolong, Mi ...," pintanya
Saat ini debar jantung Yasmin menggila. Telapak tangannya berkeringat, dan napasnya terasa berat di dada. Dia bahkan menahan napas beberapa detik, mencoba meredakan kegugupan yang menyelimuti tubuhnya. Berada sedekat ini dengan Barra ... sungguh berbahaya. Bahkan aroma tubuh pria itu begitu kuat menyusup ke inderanya, membuat pikirannya kacau. Anehnya, Yasmin tidak bergerak menjauh. Dia seperti terpaku. Ada daya tarik terlalu kuat dari sosok Barra, seperti magnet yang menyeretnya tanpa ampun. Bibir mungil Yasmi yang bergetar akhirnya berucap, "Umm ... M—mas ...." "Hmm?" Suara Barra terdengar lembut, berbeda dari biasanya. Tangan pria itu terangkat perlahan, hampir menyentuh pipinya. Sial, Yasmin justru menantikannya. Jantung wanita itu berdetak tak karuan, tetapi dia juga tidak mengalihkan pandangan. Wajah mereka makin dekat, hingga batas antara atasan dan bawahan seakan mengabur. Hingga …. Terdengar deheman kasar, disusul denting nyaring benda jatuh ke lantai. Yasmin tersentak
Sosok itu masih berdiri di lorong rumah sakit yang makin lengang. Cahaya lampu menyinari lantai putih mengilap, kini hanya dilewati beberapa perawat yang berjalan tergesa. Sesekali terdengar derit roda troli.Orang itu tampak tenang. Diam, menyatu dengan suasana hening di sekitar. Dia melangkah pelan, mendekati bangsal VVIP—tempat Barra dirawat.Akan tetapi, orang itu tidak masuk. Hanya berdiri darikejauhan, mengamati dengan mata tajam kegiatan di lorong VVIP itu. Lalu, dia memutar tubuh, menyelipkan diri di antara para pengunjung lain. Menghilang entah ke pergi ke mana.Sementara itu, di dalam ruang rawat, tawa kecil menggema. Yasmin mengulum senyum saat mendengar Kezia menceritakan masa kecil Barra yang terjatuh dari sepeda dan menangis meraung-raung, padahal tanpa luka.“Cukup, Mi!” Barra berdeham, mencoba menyela.Tatapan Pengacara itu tak lepas dari Yasmin, yang entah mengapa terlihat begitu manis hari ini. Senyumnya, damai dan sederhana, membuat dadanya hangat, setelah sekian lam
Pascakedatangan Bahtiar dan pengacara muda tadi, Yasmin diselimuti rasa penasaran. Dia ingin bertanya pada Barra, tetapi pria itu tampak sedang tidur. Entah kenapa, Yasmin tidak tega membangunkannya. "Kenapa kamu lihat aku terus?" Suara serak itu terdengar pelan dan jelas. Meskipun mata Barra masih tertutup, kata-katanya membuat Yasmin tersentak. Yasmin yang duduk di sofa seketika mencelos. Napas wanita itu terasa berat. Apa Barra selama ini hanya berpura-pura tidur? Kalau iya, berarti pria itu sudah akting selama lebih dari satu jam. Hebat juga bukan? "Kenapa diam, hmm?" tanya Barra lagi, kali ini suaranya dalam dan datar, membuat Yasmin kikuk. Dia buru-buru meneguk setengah botol air, mencoba melembapkan tenggorokan yang mendadak kering. "Umm … Mas sudah bangun, ya?" Yasmin akhirnya bersuara, meskipun sangat pelan. "Menurutmu, bisa tidur kalau ditatap terus begitu?" Barra membuka matanya perlahan, lalu memandang langsung ke arah Yasmin. Sepasang manik tajam itu terkunci d
Tidak!Ini salah. Mana mungkin seorang majikan terus mendekat seperti ini kepada pekerjanya?Yasmin tahu dia harus segera menjauh. Tubuhnya beringsut perlahan ke sisi kursi besi. Namun, baru saja tangannya menyentuh besi dingin di samping, dan tubuhnya sedikit terangkat, tangan hangat pria itu merangkum wajahnya, lalu sesuatu yang lembap dan lembut menyentuh keningnya.Hangat dan menenangkan. Yasmin membeku dibuatnya.Sudah pernah menikah, tetapi Yasmin belum sekalipun merasakan sentuhan sehalus dan setulus ini. Bukan nafsu, bukan pura-pura. Rasanya seperti … penerimaan."Mas...," gumamnya. Kepala Yasmin terangkat, dan manik hitamnya bertemu dengan sorot cokelat milik pria itu. Penuh cahaya yang memantulkan kerlip lampion dari kejauhan.Sebelum Yasmin sempat bertanya apa maksud semua ini, Barra lebih dulu bicara. "Bisa kenal lebih dekat?"Yasmin hanya bisa berkedip dengan mata yang membulat. Ini terlalu cepat. Sentuhan itu barusan … maksudnya apa? Lalu ucapan ini? Satu hal pasti—Barra
Untuk sejenak, ruangan itu menjadi hening. Bahkan Yasmin bisa merasakan helaian rambutnya yang tertiup udara dari pendingin ruangan. Wanita itu menelan saliva saat Barra makin mendekat dan ...."Malam ini kamu punya waktu, bukan?" bisik pria itu, tepat di telinganya.Napas hangat Barra membelai daun telinga Yasmin, dan suara beratnya membuat sekujur tubuh wanita itu bagai disetrum. Ia menggigil pelan, tanpa bisa mengelak dari efek suara yang menelusup hingga ke nadinya.Aneh, Yasmin tidak mempertimbangkan jawaban. Dengan mudahnya dia mengangguk, seolah terhipnotis oleh cara bicara pria itu. Bahkan ketika Barra tersenyum, Yasmin hanya terpaku menatapnya. Demi Tuhan, pria itu benar-benar seperti serangan jantung yang datang tiba-tiba."Nanti aku tunggu kamu di lobi," kata Barra seraya melepaskan tangannya dari tubuh Yasmin.Barra lantas bersikap biasa saja, seolah tak terjadi apa-apa. Namun, bagi Yasmin itu luar biasa. Kini, dia sulit menjalani perannya sebagai Ibu Peri di mata anak-ana
Mata bulat Yasmin masih membesar mendengar ucapan pria itu. Dia sungguh tidak tahu harus merespons apa. Pandangannya beralih ke arah kanan, melihat yang lainnya mulai berjalan ke tempat sama. Ah, dia akan sekamar saja dengan Mbok Inah. Aman. Yasmin pun mengangguk mantap, pura-pura kalem padahal gugupnya merambat ke ubun-ubun.“Kenapa?” tanya Barra serius, tetapi sudut bibirnya yang terangkat membuat Yasmin menatap curiga.“Saya mau kasbon, Mas,” ucap Yasmin akhirnya, setengah menunduk. Barra menaikkan satu alis, menunggu penjelasan. Yasmin pun menambahkan, “Umm … itu, untuk sewa kamar di sini. Masa saya harus sekamar sama Mas?”Tawa Barra meledak seketika. Pria itu langsung merangkul bahu Yasmin secara impulsif, membuat wanita itu kaget bukan main. Dia mengedip-ngedipkan mata, mencoba memproses apa yang baru saja terjadi. Jantungnya berdetak seperti genderang perang.Terdengar bunyi ‘beep’ saat kartu menyentuh sensor, diikuti garis hijau pada handle pintu. Pintu terbuka lebar. Tanpa
Mata Cindy mengerjap, tetapi kelopak itu berat untuk terbuka. Samar-samar, dia teringat Bram menyuntikkan sesuatu ke lengannya. Namun, telinga wanita itu menangkap suara ketikan keyboard dan hiruk-pikuk yang asing. Apa ini mimpi?“Bram sialan!” geramnya pelan.Dia sontak terkejut—karena bisa bicara. Cindy memaksa membuka mata. Cahaya ruangan menyilaukan, suasana ini jauh berbeda dari tempat sebelumnya. Sebelum sempat bangkit, seorang polwan mendekat dan membuka ikatan di tangan Cindy.“Jaga sikap!” hardik Polwan itu, “Pelapor masih berbaik hati mengantarmu ke sini. Bukan main hakim sendiri.”“Hah? Pelapor?” Cindy menyeringai sinis. “Bram? Baik hati?”Yang benar saja. Pria itu jelas-jelas mempermainkannya hingga dia pingsan karena ketakutan. Suntikan itu … ternyata hanya berisi air bening biasa. Permainan kotor!Duduk di kursi seberang, Bram menatap tajam. Dengan satu isyarat tangan, dia menegaskan bahwa Cindy tidak bisa lari ke mana pun.Belum sempat Cindy membalas tatapan itu, petug
Cindy tahu pasti Sarah menerima informasi entah dari Bram, atau mungkin … Barra yang menghasut. Namun, dia bangkit sambil memegangi pipinya yang masih mati rasa.“Tante, dengar dulu penjelasan aku,” elaknya, tidak menyerah.“Aku memang benci sama si Yasmin, tapi nggak sangka kawan sendiri jadi lawan. Jahat kamu!” seru Sarah, tangannya menunjuk-nunjuk wajah Cindy.Cindy tertawa miris. “Tan, pengadilan aja belum kasih keputusan. Jadi … semua info yang Tante dengar bisa aja palsu,” katanya, mencoba terdengar tenang. Meskipun debar jantungnya bergejolak hebat.“Ah … banyak omong!” Sarah kembali mendorong Cindy dengan keras. Emosi wanita paruh baya itu meledak. Dia menarik rambut dan mencakar kulit mulus Cindy. Lorong rumah sakit seketika berubah jadi ‘ring’ pertarungan.“Beraninya kamu membunuh anakku!”Cindy berontak. Dia bahkan menarik tubuh Sarah hingga keduanya jatuh dan bergumul di lantai. Teriakan dan cacian membahana, membuat lorong rumah sakit jadi tontonan public. Para perawat pu
“Mas Bram …,” bisik Yasmin dengan tangan menutup mulut dan mata yang berkaca-kaca.Barra melirik Yasmin, lalu berkata, “Ya. Dia bersaksi untuk kamu.”Yasmin tidak kuasa menahan air mata. Pria itu ... ternyata masih hidup pascapenikaman oleh Cindy. Bahkan masih bersedia membantunya.Wajah Bram tampak pucat. Pandangannya tajam, tenang, dan tanpa ragu. Kini dia duduk di kursi saksi dan mulai bicara. Pria itu menjelaskan semua, dari kejadian beberapa hari sebelumnya hingga upaya Cindy untuk membunuhnya.Kondisi ruangan makin riuh. Mereka semua saling berbisik dan bertanya-tanya, tidak menyangka mendengar kesaksian Bram.Jaksa sempat menoleh ke arah bangku penonton, lalu menggeram pelan. Tangannya mengetuk-ngetuk pulpen di meja dengan ritme tak sabar. Matanya menyipit tajam menatap Bram, lalu ke arah hakim. “Kami ... akan meninjau ulang seluruh keterangan saksi dan bukti,” gumamnya, denagn nada yang mulai terdengar goyah.Dari barisan kursi khusus kuasa hukum, seorang pria bertubuh tegap t
Cindy menyeringai kecil. Sudut bibirnya naik pelan, seolah menahan gelak puas. Matanya menyapu tubuh Bram yang terbaring diam. Jemari wanita itu menggenggam suntikan berisi cairan bening.Dengan gerakan cepat, dia menyuntikkan cairan itu ke saluran infus. Lalu menunggu beberapa detik.Akan tetapi, detik demi detik berlalu, Bram masih terdiam. Tidak ada kejang, atau napas memburu."Kenapa nggak kejang-kejang juga, sih? Apa obatnya kurang?" gumam Cindy lirih, keningnya berkerut.Suara langkah membuat wanita itu menoleh. Seorang perawat masuk dengan senyum ramah."Maaf, Bu. Waktu besuknya sudah habis."Cindy mengubah raut wajahnya dalam sekejap. Dia berdiri tenang, menyimpan suntikan ke tas, dan berjalan keluar dengan anggun.Di luar, Airin tengah duduk di samping Sarah yang tertidur. Cindy menghampiri sambil tersenyum lebar."Gimana? Berhasil ‘kan? Mami nggak sabar datang ke kuburan si B—"Cindy buru-buru menempelkan jari telunjuk ke bibir diiringi sorot mata yang tajam."Beres, Mam. T
Barra mengetuk-ngetukkan jemari di atas layar tabletnya. Napas pria itu memburu, sesak oleh tekanan pikiran. Dia melonggarkan dasi yang menjerat leher, membuka dua kancing teratas kemeja putih yang sudah kusut. Jemarinya terangkat, memijat pelipis perlahan, seakan berharap beban di kepala dapat menguap bersama rasa nyeri yang menyelip."Pak, kita langsung ke kantor atau Anda ingin pulang dulu?" tanya Bahtiar yang duduk di samping sopir.Barra tidak menjawab. Pandangannya kosong, tenggelam dalam pusaran pikirannya sendiri."Pak?" Bahtiar kembali menoleh ke belakang, kali ini lebih khawatir. "Anda baik-baik saja?"Barra mengangguk samar, lalu akhirnya bersuara. "Minta data seluruh rekam medis Mami Airin, Cindy, Berliana ... dan mendiang Papi Ben. Aku membutuhkannya.""Baik, Pak. Sekarang kita ke—""Pulang. Aku ingin melihat anak-anak," potong Barra. Dia menyerahkan tabletnya kembali pada Bahtiar, lalu menyandarkan kepala dan memejamkan mata. Entah tidur, atau hanya menghindar dari dunia
"Mas Barra ke mana, Pak? Kenapa tidak ke sini?" tanya Yasmin pada Bono. Manik hitam wanita itu menyapu ke arah ruangan besuk, menatap pintu. Dia sungguh berharap petugas membukanya dan menampakkan sosok Barra di sana.Akan tetapi, setelah menanti selama lima menit, tidak ada pergerakan apa pun. BAhkan ketika pintu terbuka, justru pengunjung lain yang datang. Harapan Yasmin perlahan sirna.Sudah beberapa hari ini dia tidak mendapat kunjungan dari Barra, dan kini justru Bono yang datang.Pengacara magang itu melengkungkan senyum tipis. Dia menyodorkan mangkuk tertutup dari meja makan, disertai sebotol vitamin khusus ibu menyusui."Pak Barra titip ini untuk kamu. Sup iga dan vitaminnya," jelas Bono dengan suara pelan."Terima kasih, Pak Bono." Yasmin menerimanya. Aroma sup hangat itu menyeruak ke hidungnya, memunculkan rasa haru yang perlahan menyusup. Tangannya menggenggam erat botol vitamin yang biasa dia konsumsi. Rupanya, Barra tetap mengingat ucapan darinya.Pada pertemuan terakhir m