“Yasmin?”“Mas?”Kompak keduanya.Melihat Barra yang bahkan enggan beranjak sejengkal pun, Yasmin tersenyum jahil. Tiba-tiba saja, dalam benaknya terlintas sesuatu yang menggelikan.“Sebentar lagi saya kuliah. Pasti sibuk. Kalau begitu ... nikahnya selepas lulus saja, Mas,” ucap Yasmin santai, dan menyeringai kecil.Dia melepaskan genggaman dari tangan anak-anak, lalu memutar tubuh Barra agar membelakanginya. Sedangkan Barra masih menganga tidak percaya, calon istrinya ini justru memberikan jawaban yang menguji kesabaran.Yang benar saja? Dia harus menunggu selama empat tahun? Belum lagi proses panjang menjadi seorang dokter.Barra berdecak kesal. Saat dia hendak menoleh ke arah sang pujaan hati, Yasmin tiba-tiba mencubit pelan punggungnya.“Ayo, Mas. Berangkat. Kerjanya harus rajin,” goda wanita itu sembari terkekeh kecil.Barra hanya bisa menghela napas panjang, lalu berjalan ke arah mobil Rubicon putihnya sambil mengusap dada. Pria itu merasa harus menambah stok kesabaran demi bisa
Barra meraih tangan Yasmin dan menggenggamnya erat, seolah tidak ingin melepasnya. “Bilang saja, kamu mau minta bukti apa?” ulangnya dengan penuh tekanan. Dia merasa Yasmin mungkin masih ragu, bisa saja menolak.Akan tetapi, senyum di bibir mungil Yasmin justru mengembang manis. Dia membalas genggaman itu.“Kalau saya kasih tahu, memangnya Mas bakal lakuin?” tanya wanita itu, mata beningnya serius menatap Barra yang mengangguk tegas.Yasmin pun mendekat. Tubuhnya berjinjit, lalu berbisik tepat di dekat telinga pria itu, “Tolong jangan pergi sampai kita sama-sama tuan anti.”Kalimat sederhana itu menghangatkan hati Barra yang sebelumnya dipenuhi kabut keraguan. Wajah tampan yang semula tegang kini melunak. Pria itu ingin melompat kegirangan, tetapi dia menahan diri. Bisa jatuh harga dirinya di depan sang pujaan hati.Yasmin menjauh dan menunduk malu, wajahnya memerah ditatap oleh sepasang manik cokelat di depannya.Senyum lebar terukir di wajah Barra. Hatinya yang membeku sekian lama
Mata mereka saling menatap dalam jangka waktu cukup lama. Diiringi embusan angin malam yang bergerak halus.Debar jantung Yasmin makin berisik tatkala ibu jari Barra membelai lembut bibir mungilnya. Bukan hanya itu saja, bahkan aroma mint dari embusan pelan napas pria itu memenuhi indera penciumannya. Barra memang selalu wangi dan bersih.Yasmin menelan air liurnya yang terasa mengental, lantas membuka bibirnya sedikit, hendak berkata sesuatu yang entah apa. Sebab pikirannya saat ini mendadak kosong dan sulit merangkai kata.Tiba-tiba saja, dalam sekejap, Yasmin membelalak ketika bibir Barra yang hangat dan lembap menempel dengan bibirnya. Dia hanya bisa terdiam saat merasakan sentuhan itu terlalu lembut sampai-sampai menghipnotisnya untuk menerima serta menikmati pagutan itu.Bukannya menolak, Yasmin justru menyampirkan kedua tangan pada bahu kokoh pria itu. Dia khawatir terjatuh karena Barra benar-benar membuatnya kehilangan energi. Ini memang bukan ciuman pertamanya, tetapi inilah y
Barra berjalan ke ruang tamu sambil menahan rasa kesal yang hampir meluap dari ubun-ubun. Gerakan langkah pria itu teramat berat, ekspresi wajah tampannya juga mengeras begitu melihat tamu yang duduk dengan gelisah di sofa."Ada kabar apa? Bukannya aku sudah bilang, hari ini jangan ganggu. Besok baru boleh," ujarnya dengan nada tajam dan tatapan sengit pada Bahtiar.Tamu itu berdiri buru-buru, dan wajahnya gugup. "Maaf, Pak. Ini penting."Barra mendengkus dan berdecak. Meskipun kesal, tetapi akhirnya memberi isyarat tamunya untuk bicara.“Saya bawa laporan terbaru tentang Bram dan kasus Cindy, Pak.” Bahtiar menyerahkan dua map berbeda warna.Barra menerimanya dan mangut-mangut ketika membaca dengan teliti. Dari raut wajahnya, tampak dia sangat puas dengan kinerjanya. Sudut bibir pria itu berkedut samar.“Bagus. Biarkan saja warganet menggoreng beritanya. Tapi pastikan wajah anak-anak tidak muncul di mana pun!”“Tenang, Pak. Saya sudah bekerja sama dengan banyak situs berita online.” B
Bram lebih dulu dibawa ke rumah sakit untuk mengobati luka-lukanya. Pria itu mendengkus saat kedua tangannya diikat. Bahkan di rumah sakit pun, tatapan-tatapan jijik dari orang-orang menghujam dadanya. Mereka tidak segan mencibir, bergumam keras tanpa rasa iba."Laki-laki memang maunya enak sendiri.""Zaman sekarang, jangan percaya mulut manis.""Bukan fans-nya, sih. Tapi ... amit-amit.""Dia pasti menyesal. Anak itu cantik, loh."Bram berdecih. Tidak sedikit pun ada penyesalan dalam dirinya. Dia menatap mereka semua dengan kemarahan yang ditahan. Andai saja bisa, dia ingin kabur. Namun, tubuhnya dikawal tiga petugas dari kanan, kiri, dan belakang.Setelah mendapat perawatan, Bram digiring ke kantor polisi setempat untuk penyelidikan lebih lanjut terkait kecelakaan tadi. Temperamennya yang buruk kembali muncul. Bahkan dia sempat berujar di hadapan petugas, "Sejak awal, anak itu memang pembawa sial!"Malam ini, Bram mendekam di sel tahanan. Tidak ada kasur empuk, tidak ada selimut hang
"Kenapa, Mas?" tanya Yasmin, matanya menatap khawatir pada Barra yang berulang kali menekan layar ponsel dengan gelisah.Pria itu menoleh sejenak, wajahnya menyiratkan kecemasan. "Pak Amir susah dihubungi. Apa mungkin ketiduran?"Yasmin mengangkat bahu dan menggeleng pelan. Tadi mereka memang hanya diturunkan di lobi hotel. Pak Amir langsung menuju basement untuk parkir."Aku susul Pak Amir. Kamu dan anak-anak tunggu di sini," titah Barra. Yasmin mengangguk, meskipun rasa tidak enak mulai menyusupi dadanya.Barra kemudian menurunkan Boy. Tangan Yasmin langsung menggenggam jemari mungil dua bocah itu erat-erat. Mereka berdiri berdampingan, mata mereka kompak menatap ke arah Barra yang menghilang di balik pintu kaca.Seketika, cahaya lampu mobil menyilaukan mata. Yasmin refleks memalingkan wajah, lalu membelalak melihat laju mobil yang melesat cepat ke arah mereka.Tanpa pikir panjang, Yasmin menarik anak-anak mundur. Tubuhnya be
Setelah percakapan pagi itu, Barra tidak lagi banyak bicara dengan Yasmin. Dia tidak sanggup kehilangan Cleo. Prasangkanya mulai tumbuh liar, bagaimana jika Bram datang dan mengambil putri kecil itu darinya?Kini, dari balik celah pintu yang sedikit terbuka, Barra mengintip. Dadanya sesak melihat pemandangan di dalam. Yasmin terduduk di atas karpet bulu, tubuh wanita itu gemetar karena isak tangis. Dia memeluk Cleo.Sementara Cleo yang kebingungan menatap wajah ibunya yang basah. Lalu Barra memilih memberikan ruang, membiarkan Yasmin menyatu dengan anaknya yang selama ini diyakini telah tiada.Di sisi lain, Boy tampak menarik-narik blus Yasmin, tidak mau kalah. Bocah lelaki itu merengek, meminta perhatian. Yasmin pun membungkuk, memeluk keduanya bersamaan.“Maaf … seharusnya Bunda sadar kamu itu masih hidup,” gumam Yasmin, tetapi terdengar jelas oleh Barra dari balik pintu“Nda … Nda … apah,” sahut Cleo polos sambil menepuk-nepuk pipi Yasmin yang basah.“Sayang … ini Bunda … ini Bunda,
“Aduh, Bram. Punggung Ibu sakit!” keluh Sarah sambil memegangi pinggangnya, tubuhnya membungkuk dan melangkah pelan menuju kursi.Bram baru saja masuk lewat pintu belakang. Tadi dia tidak sempat mengejar Yasmin—terhalang pagar dan rasa kesal saat melihat kedekatan mantan istrinya dengan pria lain. Mata pria itu masih menyimpan bara. Dia bahkan harus memungut kunci rumah yang dilempar Yasmin ke selokan. Tangannya masih basah, dingin, dan kotor, sama seperti pikirannya saat ini—kusut.Mendengar rengekan ibunya, Bram hanya mendengkus.“Ke dokter, Bu. Atau panggil tukang pijat!” tukas pria itu ketus, bahkan tidak melirik, membiarkan wanita itu bersusah payah menapaki lantai menuju sofa.“Hah?! Kamu itu kenapa, Bram? Sama orang tua, kok nggak sopan!” hardik Sarah, “ini juga gara-gara kamu sembarang tidur sama gembel! Salah kamu sendiri!”Langkah Bram yang semula sudah di anak tangga, mendadak terhenti. Bahunya menegang. Dia menoleh perlahan, lalu turun lagi sambil menahan amarah.Sorot mat
“Apa?!” Suara Kezia tercekat. Tubuhnya langsung merosot di atas karpet. “Jadi … cucu perempuan Mami … sudah meninggal?” Air mata seketika membasahi pipi wanita paruh baya itu.Pagi-pagi sekali, Barra dan Yasmin menghadap Kezia. Keduanya sudah sepakat akan memberitahu keluarga mereka lebih dulu. Barra yang menjelaskan, sementara Yasmin duduk membeku di sampingnya. Sorot mata ibu susu itu lurus ke depan, seolah tidak ada lagi yang layak dia tatap di dunia ini. Luka yang menganga, terlalu pedih untuk diluapkan lewat kata-kata.“Lalu cucu Mami … dikubur di mana? Mami mau ke sana.” Kezia memeluk Leo yang duduk lemah di sisinya. Pria itu sama terkejutnya. Dia hanya bisa mengepalkan tangan, seakan ingin menghancurkan apa pun yang merenggut kebahagiaan keluarganya.Barra memandangi Yasmin yang menggenggam erat ujung blusnya sendiri, berusaha menahan diri agar tidak kembali hancur di hadapan orang-orang terdekat.Barra menarik napas dalam. Melihat Yasmin seperti ini membuat dadanya makin sesak.