Coba tebak, Vienna bakal diapain sama Morgan???
“Berhenti sekarang juga, atau aku akan menyeretmu ke kamar!” seru seorang wanita. Morgan menoleh cepat. Suara itu datang dari arah pintu ruang kerjanya, yang entah sejak kapan sudah terbuka tanpa diketuk. Morgan segera menyelipkan ponsel ke saku celana, dan tatapan tajamnya langsung berubah lunak saat melihat siapa yang berdiri di sana. “Darling?” panggil Morgan seraya mengangkat kedua alis. Wanita itu berdiri di ambang pintu dengan napas sedikit memburu. Sydney mengenakan baju tidur berwarna pastel yang longgar dan nyaman, disesuaikan dengan tubuhnya yang kini tengah mengandung. Tangan Sydney menopang perut yang semakin membesar, dan raut wajahnya memperlihatkan kelelahan yang dia tutupi dengan senyum setipis kapas. “Astaga, kenapa kau tidak bilang ingin ke sini?” Morgan refleks berdiri. “Aku ingin jalan sendiri,” jawab Sydney santai, tetapi tetap m
"Apa maksudnya ini?!" cetus Lucas pada dirinya sendiri. Lucas sontak bangkit dari kursi, walau pria itu baru menyentuh setengah bagian dari ayam panggang yang disajikan pelayan. Kemudian Lucas berjalan menjauh dari meja makan. Matanya terus terpaku pada layar ponsel yang masih menyala, menunjukkan pesan dari nomor rahasia. Satu kalimat dalam pesan itu berhasil mencabik pikirannya. Chester menatap tajam punggung Lucas yang mengabaikannya begitu saja. “Lucas! Kau mau ke mana?!” seru Chester lantang, agak meledak karena keterkejutan sekaligus curiga. Dari sisi lain meja, Irene buru-buru menenangkan. “Biarkan saja, Chester. Dia mungkin butuh udara segar.” Lucas yang baru menapakkan kaki di ambang pintu, mendengar suara lembut Irene. Pria itu menyeringai tajam, merasa muak dengan kelembutan yang berhasil membuat Chester memperlakukannya sebagai tahanan itu. Lucas melangkah lebar, menyusuri teras depan rumah Chester yang dingin dan dikelilingi semak-semak rapi. Begitu sampai di de
Sydney menoleh pada suaminya, merasa tidak enak pada Timothy. “Morgan–”Namun tawa Timothy yang meledak, memotong ucapan Sydney.Pria itu tertawa begitu keras sampai tubuhnya sedikit membungkuk, membuat Morgan hanya menoleh tanpa minat, sedangkan Sydney justru kaget dan refleks menegakkan tubuh.Setelah tawanya mereda, Timothy mengusap ujung matanya yang sedikit basah karena tawa.“Sayangnya, aku anak kandung mereka, Kak,” timpal Timoty dengan santai sekaligus geli, meskipun ada getir yang tidak bisa disembunyikan dari sorot matanya. “Hanya saja Kak Sydney mengadopsiku sejak kecil. Aku banyak meniru Kak Sydney, jadi beginilah aku–anomali dalam keluarga.”Morgan mengangkat sebelah alisnya dan tersenyum tipis. Senyum yang seolah berkata, ‘Setidaknya kau tahu bagaimana jadi manusia waras di tengah keluarga seperti itu.’Kemudian, Timothy menoleh ke arah Sydney dan berkata santai, “Tidak apa-apa, Kak. Ini sarkasme para pria yang waja
“Sejak dulu kau adalah adikku, Tim,” ucap Sydney sambil menepuk lengan Timothy pelan. Timothy menatap Sydney sejenak, lalu matanya yang tadi tampak tenang mulai berkaca-kaca. Air mata tiba-tiba lolos dari sudut matanya, dan dia buru-buru menghapusnya dengan punggung tangan sambil tersenyum getir. “Maaf,” ucap Timothy penuh sesal. “Aku tidak menyangka akan selemah ini.” Sydney membalas dengan senyum kecil dan menepuk lengan pria itu sekali lagi, kali ini lebih hangat. Lalu Timothy mengalihkan pandangannya ke arah pria dingin di belakang kakak sepupunya. Dengan postur tegas dan wajah tanpa ekspresi, Morgan tampak seperti patung marmer hidup. “Kakak ipar,” sapa Timothy sopan sambil sedikit menunduk. “Terima kasih sudah datang.” Morgan menatap Timothy dengan lekat. Ada ketenangan yang mematikan di dalam sana. “Kau bukan yang tersisa di keluargamu, Tim,”
Beberapa hari kemudian.“Menurut penelitian medis, terbakar hidup-hidup adalah salah satu cara paling menyakitkan untuk mati.” Suara wanita itu terdengar jelas dari layar ponsel.Wanita itu duduk rapi dengan jas lab putih dan latar belakang studionya menggambarkan suasana otopsi virtual yang modern.“Awalnya, rasa terbakar hanya terasa di permukaan kulit,” lanjut sang Dokter Spesialis Forensik yang juga seorang Content Creator itu dengan tenang dan penuh penekanan. “Tapi dalam hitungan detik, rasa sakit itu menembus lapisan dermis, otot, hingga tulang. Syaraf-syaraf bereaksi liar, dan korban akan menggeliat, menjerit, bahkan kejang sebelum akhirnya ... tubuh lumpuh oleh trauma dan kehilangan kesadaran karena kekurangan oksigen.”Sydney menelan ludah dengan susah payah.Dia duduk dalam limosin hitam mewah yang bergerak perlahan menembus jalan menuju pemakaman. Pakaiannya serba hitam, gaun midi satin yang elegan dengan mantel tebal menggant
“Jangan … tolong ….” pinta Vienna dengan suara parau sambil membelalakan mata.Tubuh wanita itu menggigil hebat ketika jari-jari Morgan mencengkeram lehernya begitu kuat. Napasnya tersengal-sengal.Dunia gelap di balik mata Vienna seakan menarik dirinya untuk pergi dari raga itu.Namun, sebelum Vienna benar-benar kehabisan napas, Morgan melepaskan cengkeramannya. Morgan sengaja melakukan itu untuk menyiksa Vienna.Vienna terkulai dan terbatuk-batuk keras seperti orang yang baru saja diselamatkan setelah tenggelam.“Khkhh … a-arrghh!” Vienna menggeliat, lidahnya terasa seperti terbakar oleh udara yang kembali masuk.Sementara itu, Morgan tertawa dingin dan menusuk. Suara tawa yang keluar dari bibir Morgan terdengar seperti nyanyian maut di telinga Vienna.“Kau harus tahu ini sebelum mati, Vienna,” tukas Morgan tajam sambil memberi Vienna tatapan seorang pembunuh. “Wajar jika kau tidak tahu ini karena malam itu kau pergi l