Share

BAB 113

Author: Fredy_
last update Last Updated: 2025-10-01 09:45:15

Dua petugas taman hiburan bergegas masuk, memisahkan kedua pria yang masih saling hantam dengan brutal. Jax diseret keluar lorong kaca, tubuhnya meronta dan mulutnya terus memuntahkan sumpah-serapah. Suaranya masih terdengar menggema samar meski sosoknya kian menjauh.

Nayla berdiri gemetar di sudut, tubuhnya seperti kehilangan tenaga. Di dekatnya, Surti sibuk menimang-nimang Matteo yang terus menangis tersengal, sambil mengobrak-abrik tas ASI.

Leo segera menghampiri Nayla. “Kamu nggak apa-apa, Nay? Nggak luka, kan?” tanyanya, sambil menahan perih tapi berusaha terdengar setenang mungkin.

Nayla menggeleng lemah. Bibirnya bergerak, tapi tak satu kata pun keluar—seolah semua suara tercekat di tenggorokannya.

Tatapan Leo jatuh pada Matteo di pelukan Surti. Bayi itu masih terisak, wajah mungilnya merah dan basah air mata. Seketika merasa sesak oleh rasa bersalah yang menikam lebih dalam daripada luka di tubuhnya.

“Maafin Papa, Teo…” ucapnya parau, jemarinya sempat menyentuh lembut kening p
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter
Comments (7)
goodnovel comment avatar
eonnira
pak Leo.. tanya Surti aja
goodnovel comment avatar
Fredy_
Sudah lanjut ya kak
goodnovel comment avatar
Muhd Muhd
gilak sih bahaya ni
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Ibu Susu Polos Pak Boss   BAB 226

    Menjelang sore, langkah kaki Leo terdengar tergesa di lorong rumah sakit. Setibanya di depan kamar perawatan VVIP, ia berhenti sejenak—menarik napas dalam, mengatur ekspresi."Kata Nayla nggak boleh kelihatan panik… tarik napas… buang napas…" gumamnya dalam hati, sebelum akhirnya mendorong pintu dengan senyum selebar harapan orang tua.“Mama…” sapa Leo sambil menenteng dua bungkusan besar di kedua tangannya.Matilda yang sejak tadi sebenarnya sudah terjaga—namun memilih pura-pura tidur karena masih menyimpan kekesalan kecil—membuka satu mata, lalu menutupnya lagi dengan dengusan halus.“Mama… mama…” tirunya. “Senyum kamu lebar banget. Senang, ya, lihat mama rebahan di ranjang rumah sakit?”Leo terkekeh hambar. “Baru datang sudah kena omel. Leo senang kalau mama sehat, Ma.”“Mama itu selalu sehat,” sahut Matilda cepat. “Kalian saja yang berlebihan.”Senyum di wajah Leo perlahan surut. Bahunya mengendur sedikit. Ada rasa bersalah yang tak sempat ia sembunyikan—karena telalu keras melara

  • Ibu Susu Polos Pak Boss   BAB 225

    Tirai krem terpasang rapi, sofa empuk berjajar di sisi dinding, dan jendela besar memperlihatkan langit siang yang pucat. Matilda duduk setengah bersandar di ranjang kamar perawatan rumah sakit, punggungnya disangga bantal tebal. Bibirnya manyun, alisnya berkerut—ekspresi merasa dipenjara tanpa alasan jelas.“Aduh… pelan-pelan dong, Sus,” protesnya saat perawat mulai memasang infus di lengannya. “Orang saya nggak sakit, kok, pakai diinfus segala.” Ia melirik tajam ke arah Nayla. “Nayla, cepat telepon Leo. Mama pengen marahin dia banget.”Di sudut ruangan, Nayla berdiri dengan ponsel di tangan. Ia melirik layar, lalu menekan nomor Leo sekali lagi. Nada sambung terdengar—sekali, dua kali, tiga kali—namun tak kunjung diangkat. Nayla menghela napas pelan, memaksa dirinya tetap tenang. Leo sudah bilang tadi pagi kalau hari ini ia penuh jadwal rapat, berpindah dari satu ruang meeting ke ruang lainnya.Perawat itu tersenyum sabar. “Tarik napas panjang ya, Bu. Biar infusnya cepat masuk.”Mati

  • Ibu Susu Polos Pak Boss   BAB 224

    Bukannya tidur, Matteo justru semakin menyala begitu mereka masuk ke ruang praktik dokter. Matanya membulat, sibuk mengamati pohon Natal setinggi botol mineral—entah sudah berapa tahun berdiri di sudut meja dokter—penuh ornamen warna-warni yang berkilau.Lampu putih menggantung lembut di langit-langit, aroma antiseptik samar menguar—bau yang asing bagi sebagian orang, tapi sudah terlalu akrab bagi mereka yang sering bolak-balik rumah sakit.Pintu di sisi ruangan terbuka. Seorang pria berusia akhir lima puluhan masuk sambil membawa map tebal berwarna cokelat. Kacamata bertengger di ujung hidungnya, senyumnya ramah bersahabat—senyum profesional seseorang yang sudah sering berhadapan dengan kecemasan orang lain.“Selamat siang, Bu Matilda,” sapanya hangat. “Sehat-sehat saja kelihatannya.”“Dokter Setiawan,” balas Matilda ringan. “Masih hidup, berarti sehat, Dok.”Dokter Setiawan terkekeh kecil, lalu pandangannya beralih ke bayi di pangkuan Nayla. “Ini?” tanyanya sambil mendekat sedikit.

  • Ibu Susu Polos Pak Boss   BAB 223

    Sepanjang perjalanan menuju rumah sakit, Matilda lebih banyak diam. Tidak ada celoteh seperti biasanya, tidak ada komentar tentang macetnya Jakarta, bahkan keluhan soal parfum mobil baru Pak Gani pun tak ada. Ia duduk tegak, menatap lurus ke depan, sesekali memejamkan mata beberapa detik—lalu membukanya lagi, seolah sedang menahan sesuatu yang tak ingin jatuh ke permukaan.Nayla menangkap setiap gerak-gerik itu dari kursi belakang. Kegelisahan pelan-pelan merayap, membuat jemarinya refleks mengusap punggung Matteo yang terlelap di gendongan. Ada firasat tak enak menggelitik hatinya.“Mama sudah sarapan?” tanya Nayla membuka obrolan.“Sudah, Nay,” jawab Matilda singkat, tanpa menoleh.“Telur dadar? Toast? Smoothies?” Nayla menyebutkan menu favorit Matilda, berharap mendapat respons yang lebih hidup.“Rebusan daun sirsak.” Matilda menghela napas pendek.Nayla melongo. Ia menahan komentar, hanya menelan ludah pelan. Rebusan daun sirsak? Dia ingat sekali, dulu Mbah Putri juga suka minum r

  • Ibu Susu Polos Pak Boss   BAB 222

    Akhir minggu yang sibuk...Nayla sudah mondar-mandir sejak subuh, memastikan semua siap—tas kecil berisi botol minum, snack ringan, bantal leher, sampai syal tipis yang sengaja ia lipat rapi untuk berjaga-jaga kalau ruang tunggu rumah sakit terlalu dingin untuk Matilda.***Dua hari yang lalu, Matilda sempat mengeluh badannya pegal-pegal. Linu menjalar sampai ke punggung, sendi-sendinya terasa kaku saat bangun tidur, dan malamnya suhu tubuhnya naik sedikit—tidak tinggi, tapi cukup membuat semua orang waspada.Tapi...Alih-alih mengakui tubuhnya butuh istirahat, karena usia dan padatnya acara beberapa waktu lalu, wanita itu justru mendesah kesal saat menelepon video ke ponsel Nayla.“This is because of you two,” katanya sambil menunjuk Leo dan Nayla di layar. “Gara-gara kalian melarang Mama ke luar negeri. Lihat kan... Mama jadi pegel-pegel. Nggak bisa Mama kelamaan duduk di sofa, lebih cocok duduk di kursi pesawat."Nayla yang sedang menyusui Matteo hanya dapat tersenyum sabar. Leo me

  • Ibu Susu Polos Pak Boss   BAB 221

    Dan—tentu saja—harapan Surti harus kandas sebelum sempat bersemi.Sorot lampu mobil Leo menyapu halaman rumah, memecah gelap malam. Begitu mesin dimatikan, pintu belakang terbuka dan Emily melompat turun dengan langkah ringan, membawa seluruh energi pasar malam di tubuhnya. Tanpa ragu, gadis itu langsung masuk ke rumah, menghampiri pria berbadan kekar yang berdiri sigap di dekat pintu.“Thank you for waiting, Julian,” ucap Emily riang gembira. “We go back to the hotel now.”“Hah? Udah mau ke hotel aja?” tanya Surti, terkejut kecewa. “Nggak… minum teh dulu gitu? Om bodyguard mau teh, kopi apa susu?"Emily menoleh, tersenyum lebar. “No, thank you, Surti,” sahutnya ramah. “Aku sudah minum banyaaak sekali minuman malam ini. Es ini, es itu... dari manis, asem...” Ia tertawa kecil, menepuk perutnya sendiri.Julian hanya berdiri tenang di belakangnya, kembali memasang kacamata hitamnya.“Then..." lanjut Emily lagi, “kami harus berangkat tengah malam ini. Flight back to England.”Surti membeku

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status