LOGIN
Hujan belum turun, tapi gemuruh langit telah mengancam Desa Dukuh sejak senja. Awan menggulung pekat di atas kepala, menudungi puluhan penduduk desa yang memadati pelataran balai desa malam itu.
"Wanita pembawa sial! Anak haram pasti melahirkan anak haram!"
"Bikin malu saja! Usir dia dari desa ini!"
"Enak-enakan tinggal di vila warisan orangtua, tahu-tahu hamil!"
"Maluin Mbah Putri yang sudah mati-matian ngebesarin kamu!"
Nayla tak bisa berdiri. Lututnya gemetar, tubuhnya basah dan kotor. Daster lusuh yang menjadi busana sehari-harinya sudah tak karuan. Wanita berkulit pucat itu pun duduk di lantai tanah, kedua tangannya gemetar memeluk perutnya yang kosong. Karena bayi mungil yang ia pertahankan selama sembilan bulan telah pergi, hanya berselang beberapa jam setelah dilahirkan.
Siang tadi, Nayla diseret paksa dari vila yang selama ini menjadi tempat tinggalnya. Rambutnya ditarik, tubuhnya disiram air comberan, dan mulut-mulut menyumpahinya dengan segala macam kalimat sakti kebun binatang.
Namun, yang paling menyayat hati, adalah saat seseorang berkata dengan penuh kebencian, bahwa, "Bayi itu mati karena dosa ibunya.”
Nayla menunduk menatap tanah. Air matanya sudah habis, kering tak bersisa. Namun, di tengah keroyokan caci maki itu, tiba-tiba terdengar teriakan lain. Suara lantang seorang wanita muda yang bergetar penuh emosi.
"Cukup! Udah! Hentikan! Semua, hentikan!"
Surti menerobos kerumunan. Tubuh gemuknya basah oleh keringat, wajahnya merah padam dan napasnya terengah. Teman kecil Nayla itu baru saja tiba di desa—langsung berlutut di samping Nayla, memeluk tubuh sahabatnya yang sudah lemas.
"Ya Tuhan, Nanay... Nanay ..."
Surti menatap Nayla dengan mata berkaca-kaca, hatinya ikut tersayat.
Nayla menggenggam ujung lengan baju Surti. "Bawa aku keluar dari sini, Ti…" bisiknya lirih, nyaris tak terdengar. "Aku takut… aku nggak sanggup lagi…"
Surti menahan napasnya. Ia balas menggenggam tangan Nayla erat. "Ke mana, Nay? Aku cuma jadi ART di kota, tidur aja di rumah majikan."
"Ke mana saja!" Nayla memotong. Napasnya berat. "Asal bukan di sini, Ti. Aku nggak sanggup lagi tinggal di desa ini… Mereka semua benci sama aku … aku..."
Isak keringnya pecah. Tubuhnya ambruk ke pelukan Surti, dan sahabatnya itu langsung merangkulnya erat.
"Iya ... kita pergi, Nay. Kita pergi dari sini..."
Malam itu juga, dua wanita muda itu menumpang bus ekonomi menuju Jakarta. Kursi mereka sempit, dan tangan Surti tak lepas menggenggam jemari Nayla yang sedingin es. Sementara itu, Nayla duduk kaku menatap jendela, matanya kosong, wajahnya pucat.
"Nay, ini terakhir kali aku tanya," kata Surti menoleh Nayla yang sedang mengusap wajahnya. "Kamu yakin mau kerja di Jakarta? Jadi ART, bersih-bersih rumah?"
Nayla mengangguk pelan. "Mau, Ti. Kerja apa aja aku mau. Aku udah biasa bersihin vila sendirian."
Surti menghela napas panjang. Matanya nanar memandang sahabatnya itu. "Duh, Nay… kalau hidup ini kayak lagu Zamrud, harusnya aku—Surti—yang ketemu Tejo, terus pam pam cuap di pematang sawah. Lah ini... malah kamu yang apes ketemu Buto Ijo, terus ditinggal pas lagi hamil-hamilnya. Nanay... Nanay..."
Jakarta menyambut mereka dengan panas menyengat dan suara kendaraan yang bersahutan. Surti menggandeng tangan Nayla erat saat mereka turun dari angkutan umum terakhir menuju perumahan mewah di selatan kota.
"Kita ke rumah Bu Zoya yang lagi nyari ART, Nay. Rumahnya gede banget. Aku udah pernah ke sana sekali. Orangnya baik, cantik banget—kayak boneka barbie,” jelas Surti, menenteng tas lusuh berisi pakaian secukupnya.
Namun langkah mereka terhenti seketika.
Di pagar besi rumah mewah itu, puluhan karangan bunga duka cita berjajar rapi. Di salah satu papan bunga yang paling dekat gerbang, tertulis dengan huruf mencolok:
“Turut Berduka Cita atas meninggalnya Ibu Zoya Arindi Haryanto.”
Surti melongo, wajahnya kehilangan warna. "Nay… Ibu Zoya... Ibu Zoya yang nyari ART ... meninggal ..."
Nayla berdiri mematung. Pandangannya tak lepas dari rumah yang kini berselimut kabut duka. Hatinya bergemuruh. Bukankah, ia datang ke kota untuk memulai lembaran baru, tetapi kenapa baru selangkah tiba di depan gerbang ... sudah berselimut duka lagi.
"Hei, kalian cari siapa?" terdengar suara berat dari arah pos satpam.
Surti melangkah lebih dulu, mendekati pria berseragam keamanan yang berdiri tegak dengan wajah kaku. "Maaf, saya Surti, Pak. Saya udah pernah ke sini bareng Bu Lilis dari penyalur ART. Ibu Zoya ... katanya lagi nyari ART ..."
"Oh, temen Si Lilis ..." sahut satpam mengangguk. "Mohon maaf sekali nih ... tapi, Ibu Zoya ... pagi ini baru saja dimakamkan ..."
"Lho? Kok ... bisa sih?" Dahi Surti mengernyit. "Ini ... ini temen saya jauh-jauh dari kampung mau jadi ART Ibu Zoya ..." ujar Surti panik, tak tega dengan Nayla yang masih terbengong di depan karangan bunga.
"Ya, itulah yang namanya takdir ..." sahut satpam lagi.
"Bu ... Bu Zoya meninggal kenapa, Pak? Sakit? Kecelakaan? Atau—" Surti tak sanggup meneruskan kata-katanya.
"Beliau meninggal setelah melahirkan bayinya semalam. Pas banget ujan lagi gede-gedenya ..." jawab satpam setengah berbisik.
Surti menutup mulut dengan tangannya. "Ya Tuhan, kasian ... terus, temen saya gimana, ya? Dia juga kasian ..."
Satpam menoleh ke arah Nayla yang berdiri diam di bawah bayangan karangan bunga. Wajahnya pucat, dan entah kenapa ada sesuatu dari sorot mata Nayla yang membuat hati satpam itu tak tega.
"Ya sudah, kalian tunggu saja di halaman belakang," ujar satpam menunjuk pintu kecil di sisi rumah. "Nanti pasti butuh orang buat bersih-bersih rumah kalau tamu sudah bubar. Tunggu di situ ... jangan keluyuran."
"Baik, Pak. Terima kasih…" Surti menunduk sopan, dan segera menggandeng lengan Nayla. "Ayo, Nay. Kita tunggu aja ..."
Dengan langkah hati-hati, mereka berjalan menyusuri deretan mobil yang terparkir. Ketika melewati pintu utama yang terbuka lebar, aroma sedap malam tercium begitu kuat, menyergap penciuman mereka. Nayla refleks menoleh ke dalam ruang tamu.
Suasana mendung menggantung di udara. Di tengah ruangan, berdiri seorang pria jangkung dengan jas hitam rapi. Wajahnya tertunduk, kedua tangan terkepal di sisi tubuh, dan matanya sembab. Setiap orang yang melintas menepuk bahunya, memeluknya, atau membisikkan kata-kata penghiburan yang tak mampu menghentikan duka di matanya.
Nayla tak bisa berpaling. Sorot mata pria itu kosong, dan sekilas Nayla merasa seperti sedang menatap bayangan dirinya sendiri.
"Nay…" Surti menarik lengan Nayla. "Jangan diliatin gitu. Nggak sopan."
Nayla mengangguk pelan dan menunduk. Tetapi sebelum memutuskan tatapan itu, pria yang ia lihat membalas tatapannya dingin.
BRUK! Nayla menjatuhkan diri ke ranjang, wajahnya terbenam di bantal. Tangis yang sejak tadi ia tahan meledak juga. Isakannya terputus-putus, menggetarkan tubuhnya yang menggigil. Semua suara di luar lenyap. Yang tersisa hanya suara tangis dan deru napasnya yang tak teratur. “Kenapa sih…?!” suaranya parau, dan jengkel luar biasa, tenggelam di kain bantal yang kini basah oleh air mata. “Kenapa aku harus lahir, kalau orang-orang jahatin aku semua. Nggak... nggak semua, tapi banyak... banyak yang jahatin aku. Huu..." Nayla tersedu hebat. Mungkin dia sudah pernah menjadi ibu, sudah pernah menyusui, dan tahu melayani suami. Tapi tetap saja jiwanya baru dua puluh tahun, dan baru keluar kampung. Dia masih lugu, masih polos. Dan, fakta yang baru saja diungkapkan Tommy benar-benar membuatnya sakit dari hati, kepala sampai sebadan-badan. Nayla melihat hidupnya seperti siklus penderitaan yang tak pernah berhenti. Baru saja ia belajar mempercayai seseorang—membuka hatinya sedikit saja—semesta
Kepala Nayla berdenyut hebat. Dunia di sekitarnya seakan berputar—lampu ruang tengah terasa terlalu terang, napasnya terlalu pendek, dan detak jantungnya menggema seperti palu di dada. Ia menatap nanar foto di tangannya, tapi pandangannya kabur, nyaris gelap. Kata-kata Tommy tadi terus menggema di telinganya, satu per satu seperti jarum menusuk. Ia ingin menangis, tapi air matanya membeku. Leo masih duduk di sampingnya, wajahnya tegang, pikirannya berputar oleh semua yang baru saja diungkapkan Tommy. Ia tak menyangka—pria tua di hadapannya itulah ternyata yang paling berdosa atas semua luka Nayla selama ini. Luka yang kini, di depan matanya, mulai menganga lagi. Tommy menunduk dalam, wajah tuanya penuh keriput penyesalan. Setiap helaan napas terdengar berat, seperti pengakuan dosa yang datang terlambat. Ketika Leo akhirnya bersuara—mungkin dengan maksud menenangkan—ia malah memecahkan pertahanan Nayla. “Nay… kamu nggak pengin tahu, sekarang ibu kamu di mana?” Seketika Nayla berdi
Sementara itu, di pelataran yang jauh dari hiruk-pikuk kota, seorang bayi mungil berambut hitam berkilau, berlari kecil sambil tertawa renyah, jatuh-bangun di atas hamparan rumput hijau yang masih berembun.“Eh… pelan, Nay… pelan,” suara lembut seorang wanita terdengar menembus sejuknya udara pagi. Sumiarti—wanita berusia tiga puluhan dengan daster batik yang mulai pudar warnanya—bergegas menghampiri, lalu mengangkat bayi itu ke pangkuannya.“Wah, anak pintar. Jatuh tapi nggak nangis, ya?” ujarnya sambil mengusap lutut mungil yang sedikit kotor tanah.Bayi itu menatapnya dengan mata cokelat bening—warna yang jarang sekali ia lihat di kampung kecil itu. Tatapan polos itu seolah menembus hati Sumiarti, menghangatkan ruang kosong di hidupnya yang lama sunyi.“Nayla…” gumamnya lirih, menatap wajah mungil itu penuh kasih.Hanya nama itu yang tersisa dari ibu kandung bayi itu—nama yang kini memenuhi rumah dan hatinya dengan tawa kecil setiap pagi. Ia tahu, cepat atau lambat akan ada seseora
Beberapa minggu kemudian, ia mengajak Lucienne ke Indonesia, ke vila barunya di pelosok desa yang sejuk dan tenang. Lucienne tampak bahagia di sana, menatap hijaunya pepohonan dan mencium wangi tubuh bayinya yang baru lahir.Suatu sore di teras vila yang diterpa angin lembut dari dedaunan, Tommy duduk di samping putrinya. Senja berwarna keemasan membalut wajah mereka, memantulkan cahaya lembut di mata Lucienne yang tengah memangku bayinya.“Lucienne,” suara Tommy terdengar lebih lembut dari biasanya. “Papa ingin kamu melanjutkan sekolahmu. Hidupmu belum berakhir, Sayang. Kamu mau?”Lucienne mengangkat wajah, menatap ayahnya dengan mata yang berbinar penuh harap. “Pa… tentu saja aku mau. Aku belum melupakan cita-citaku jadi dokter.”Senyumnya merekah, polos, seperti anak kecil yang baru saja diampuni setelah berbuat salah.Tommy mengangguk pelan, menatap jauh ke arah sawah. “Papa hanya ingin masa depanmu lebih baik, Luci. Kau gadis pintar, Papa tahu itu.”Lucienne tersenyum lega—hingga
"S-saya… saya…” Nayla menoleh ke arah Leo, matanya penuh kebingungan dan gugup. Matilda yang duduk di seberang mereka tersadar akan ketegangan di meja maka, dan segera memecahkan ketegangan dengan menepuk tangannya. “Eh, sudah makan dulu. Nanti baru kita ngobrol-ngobrol setelahnya.” Ia menoleh ke arah ruang tengah, tempat Surti yang lebih memilih menikmati makan malam sambil menjaga Matteo. “Tiii… Surti! Kita punya buah apa di kulkas?” “Iya, Bu!” sahut Surti dari kejauhan, buru-buru menandaskan sendok terakhirnya. “Kita punya anggur sama semangka, Bu. Udah dipotong juga!” “Bagus, nanti tolong bawa ke ruang tengah, ya,” kata Matilda, mencoba menahan senyum canggung sebelum melanjutkan suapannya. Beberapa belas menit kemudian, suasana sudah mencair. Mereka berpindah ke ruang tengah. Surti datang dengan nampan berisi mangkuk buah potong dan salad buah, lalu duduk di kursi dekat Matteo yang sudah mulai menggeliat. Matilda langsung menyambar cucunya, mengangkat Matteo tinggi-tinggi sam
“Se-selamat malam, Mama Mat...” sapa Surti, menyambut Matilda sambil sedikit membungkuk.Matilda tersenyum hangat. "Formal banget, Ti. Nayla sama Matteo mana?" tanyanya."Oh, mereka masih siap-siap di kamar. Pak Leo juga sudah pulang, ada di kamar," sahut Surti, melirik pria beruban yang masih terlihat tampan di belakang Matilda."Dasar anak muda, kalau siap-siap pasti lama. Kami tunggu saja di..." Hidung Matilda seketika mengendus-endus, matanya menyipit. "Ini bau apa, Ti?""Bau? Bau apa?" Surti ikut mengendus-endus. "Astaga! Perkedel jagung gosong!" Ia sontak berlari lagi ke dapur."Ya ampun, Ti! Matiin kompor sekarang, mandi kamu! Bau bawang!" seru Matilda.Tommy tertawa kecil di belakang Matilda, suaranya berat tapi berwibawa. “Rumah kamu hangat ya, Matilda. Suasana yang aku rindukan."“Ya begitulah, Tom. Selalu ada-ada saja kelakuan mereka" ujar Matilda ikut tertawa. "Kita tunggu di sana saja, Tom."Matilda dan Tommy kemudian duduk di ruang tengah. Pria tua itu tersenyum seolah m







