Share

Imam Tak Sempurna
Imam Tak Sempurna
Penulis: Cahaya Asa

Dipaksa Menikah

Air mata gadis berhijab itu terus mengalir tanpa bisa dicegah. Sudah satu jam berlalu ia berdiam diri di sebuah taman yang sepi karena sekarang hari kerja, namun ia masih betah merenungi nasibnya yang berubah. Tadi pagi, ia masih tersenyum riang di hadapan para sahabatnya di kantor. Hingga sebuah panggilan telepon dari ayahnya mengharuskan ia pulang lebih awal dari hari-hari biasanya.

Gadis itu berlari menyusuri lorong rumah sakit dan mencari kamar ayahnya di rawat. Dengan derai air mata, ia terus mencari hingga tiba di sebuah kamar bertuliskan angka 105 di lantai 2 rumah sakit besar itu. Jantungnya berdetak lebih cepat kala mengintip di dalam kamar sana. Seorang pria yang selama ini selalu menyayanginya terbaring dengan selang infus menempel di lengan kirinya.

Perlahan gadis berhijab itu membuka pintu dan melangkah masuk. Ibu dan kakak angkatnya menoleh dan tersenyum melihat kedatangannya. Namun entah mengapa Zahra merasa senyum itu berbeda. Tiba-tiba perasaannya jadi tak nyaman kala sang ayah melambaikan tangannya untuk mendekat. Seperti ada hal penting yang hendak dikatakan padanya.

“Sayang, kamu sudah tiba? Kemarilah, Nak,” lirih Rudi. Netra abu-abu pria itu menatap sayu pada putri angkatnya. Meski bukan anak kandung, namun rasa sayangnya tidak berbeda dengan anak kandungnya.

“Kenapa bisa seperti ini, Yah? Bukankah tadi pagi masih baik-baik saja?” tanya Zahra pelan. Gadis itu duduk di sisi ranjang sang ayah.

“Ayahmu terkena serangan jantung,” ucap Wenda—ibu angkatnya. “Di kantor tadi mendapat kabar kalau saham perusahaan anjlok. Ada beberapa karyawan yang melarikan uang perusahaan hingga perusahaan ayahmu terancam pailit. Itulah sebabnya ayahmu terkena serangan jantung. Untungnya masih bisa ditolong. Namun kalau hal ini terjadi lagi, entah bagaimana nasib ayahmu.”

Zahra menatap ibu dan ayah angkatnya bergantian. Perasaannya campur aduk sekarang.  Lalu tatapannya jatuh pada Dinda—kakak angkatnya yang manja.

“Ayah yang sabar, ya? Insyaa Allah ada jalan.”

“Ya, memang ada satu jalan untuk menyelamatkan ayah dan perusahaan, Zahra … dan hanya kamu yang bisa melakukannya,” lirih Wenda dengan mata berkac-kaca. Tanganya meraih tangan lembut Zahra dan menatapnya tepat pada manik beningnya.

“Zahra, selama ini kami merawatmu dengan baik. Tak pernah membeda-bedakan kalian berdua. Bisakah kali ini saja kamu menolong ayahmu, Nak?” lirih wanita yang selama ini merawatnya.

“Apa yang bisa Zahra lakukan untuk membantu ayah, Bu?”

Wenda menarik nafas panjang dan menghembuskan perlahan sebelum bicara. Ekor matanya melirik sang suami yang menunggu kalimat istrinya meluncur.

“Menikahlah dengan Alvino, pewaris tunggal P group. Hanya dengan menikahi dia, perusahaan ayahmu akan kembali pulih. Kamu bersedia menolong ayahmu ‘kan, Sayang? Anggap saja sebagai balas budi karena selama ini kami telah merawatmu.”

‘Balas budi. Jadi selama ini aku punya utang budi pada mereka? Kupikir cinta mereka tulus. Ah, memang siapa aku? Aku hanya seorang yang dipungut dari panti asuhan dan mendapatkan fasilitas layak karena budi mereka. Lalu apakah aku bisa menolaknya?’ batin Zahra bicara.

“Apa Zahra punya pilihan lain, yah?”

“Maaf, Nak. Sayangnya hanya itu satu-satunya pilihan untukmu.”

Zahra menoleh lagi, menatap Dinda yang sibuk dengan gawainya. Menarik nafas panjang mengisi paru-parunya yang terasa kosong lalu menghembuskan perlahan. ‘Bismillah’, ucapnya dalam hati.

“Kenapa nggak kak Dinda dulu yang menikah, yah? Mana mungkin Zahra yang notabene usianya lebih muda yang menikah duluan?” ucap Zahra terkekeh. Ia mencoba untuk memenetralkan perasaannya yang campur aduk.

“Tidak. Aku tidak mau. Aku sudah punya pacar. Hanya kamu yang masih jomlo, makanya kamu yang harus menikah dengannya,” sahut Dinda sengit. Tidak biasanya gadis itu bicara begitu lantang padanya. Hal itu semakin membuat perasaan Zahra jadi tak nyaman.

“Lagipula mana mau aku menikah dengan pria cacat seperti dia? Sekalipun kaya raya, tapi kalau nggak bisa jalan, mana mungkin aku bisa melakukannya.”

Zahra benar-benar kaget mendengar penuturan kakaknya. Selama ini ia tak pernah dengar kalau pimpinan “P Group” seorang cacat. Lalu bagaimana dengan dirinya? Apakah dia mampu?

“Sudahlah, Zahra, ini demi kebaikan keluarga. Tolong, Nak … turuti kata ayahmu. Kalau kamu mau menjadi istri Alvino, hidupmu akan terjamin. Kamu nggak perlu lagi bekerja di kantor, karena semua kebutuhan hidupmu akan terpenuhi.”

“Tapi, Bu … Zahra—“

“Kamu tega melihat perusahaan ayahmu hancur, Zahra? Perusahaan yang telah membesarkanmu dan menyekolahkanmu hingga sarjana, sebentar lagi akan gulung tikar padahal kamu bisa menolongnya. Apa kamu setega itu?”

Zahra bungkam. Tak bisa lagi berkata-kata. Benar kata ibunya, apa dia tega membiarkan ayah dan perusahaannya hancur padahal dia bisa menolongnya? Bolehkah untuk saat ini saja Zahra bersikap egois? Tapi sepertinya tidak. Hanya itu satu-satunya pilihan yang ada di depan matanya.

Ingatan itu terus berputar-putar di kepala hingga rasanya akan meledak. Dia memang pernah berjanji akan menerima jika ayahnya menjodohkannya suatu saat nanti. Namun gadis cantik dengan pakaian syar’i itu tak pernah terpikir jika akan dijodohkan dengan pria cacat. 

Lagi-lagi air matanya lolos menuruni pipinya yang tanpa polesan. Hatinya sakit, tapi ia tak bisa berbuat sesuatu. Bayangan ayah angkat yang tergolek lemah di rumah sakit mendominasi otaknya kini. Pada saat bersamaan benda pipih miliknya bergetar di dalam saku.

Zahra melihat siapa yang menelponnya. Nama ibunya terpampang di layar utama. Menarik nafas dalam dan menetralkan suaranya agar tidak serak, gadis itu lalu menggeser gambar telepon ke warna hijau.

“Kamu di mana? Ke marilah, ada yang menunggumu sekarang!” ucap Wenda tanpa membalas salam darinya. Bahkan wanita yang telah merawatnya itu tak mau repot-repot menunggu jawaban darinya, dan langsung menutup begitu saja.

Zahra melangkah dengan gontai menyusuri lorong rumah sakit. Pikirannya kosong seperti tak ada semangat hidup. Ia terus berjalan sambil menunduk. Sesekali merasakan bahunya ditabrak seseorang. Namun ia tak peduli selama orang yang menabraknya juga tak peduli.

Tepat di depan pintu kamar rawat ayahnya, gadis berkerudung pastel itu menghentikan langkahnya. Mendorong pintu perlahan dan masuk setelah mengucakan salam. Tatapannya bertemu dengan seorang wanita seumuran ibunya dengan dandanan super glamour. Kalung emas yang menjuntai ke bawah dada dengan liontin batu permata menjadi fokus pertama Zahra. Lalu beralih pada kedua tangannya yang dipenuhi gelang emas. Benar-benar menggambarkan seorang wanita kaya raya.

“Apa kamu akan berdiri saja di sana?” ucap Wenda membuat Zahra berjengkit. Ia ber-istighfar dalam hati, lalu melangkah dan menyalami tamu yang sejak pertama menjadi fokusnya.

“Sini, duduklah!” perintah Wenda sambil menepuk sisi sofa yang kosong.

“Kenalkan, ini tante Susi, dia calon mertuamu. Ibunya Alvino,” ucap Wenda sambil tersenyum lebar.

Sementara wanita yang dikenalkan sebagai ibuunya Alvino itu menatap Zahra dengan pandangan aneh sejak melihatnya berdiri di ambang pintu tadi. Menilai penampilan Zahra dengan mata sedikit memicing. Namun hanya sekilas, karena selanjutnya ia menampilkan senyum lebarnya.

“Kamu cantik, Alvin pasti langsung jatuh cinta kalau saja dia bisa melihatmu. Tapi sayang dia … ah, nggak penting. Yang penting kita semua sudah setuju kalau pernikahannya dipercepat.”

“Apa? Dipercepat?!” Zahra menatap ibunya penuh tanya. Nammun wanita itu hanya mengangguk dengan senyum tak kalah lebar dari calon besannya.

“Iya, sayang … sepertinya calon mertuamu ini sudah nggak sabar ingin dapat menantu sepertimu, iya ‘kan, Jeng?” Wenda menyenggol pinggang Susi untuk meminta dukungan. Mengerti dengan kode itu, Susi langsung mengiyakan.

“Dipercepat? Bahkan aku nggak tahu rencananya akan dilaksanakan kapan. Kenapa aku nggak dilibatkan?” tanya Zahra dalam hati.

“E—emangnya kapan, Bu?” tanya Zahra ragu-ragu. Ia tak ingin mendengar jawabannya, tapi ini menyangkut masa depannya.

“Dua hari lagi.”

“Apa?!”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status