Share

Hari Pernikahan

Tubuh Zahra melemas. Tiba-tiba kepalanya terasa berputar-putar. Akibat menangis yang terlalu lama, ditambah berita yang menyesakkan dada, gadis yang diangkat anak oleh Rudi ini semakin tak berdaya. Hampir saja ia limbung kalau tak berpegangan pada pinggir ranjang sang ayah.

“Apa tidak terlalu cepat, Bu, Tan? Kami bahkan belum saling mengenal satu sama lain,”  ucapnya akhirnya setelah mampu menguasai dirinya kembali.

“Niat baik harus disegerakan. Orang tua sudah sama-sama setuju. Tante yakin Alvino juga bakalan setuju. Tenang aja, kamu tidak perlu bekerja apapun nantinya. Cukup mengurus suamimu saja.”

“Tolong, Nak, terimalah. Demi ayah,” sahut Rudi yang menangkap keraguan di wajah putri angkatnya.

Zahra menghela nafas dalam. Menatap semua orang di dalam ruangan itu bergantian sebelum mengangguk. Tak ada pilihan lain. Semua sudah ditentukan dan dia tak bisa melakukan apapun selain menerima. Apa pendapatnya akan didengar? Tentu saja tidak. Dia hanya wajib patuh pada semua permintaan kedua orang tua angkatnya. Lebih tepatnya pada perintah mereka berdua.

Hari yang ditentukan tiba. Acara pernikahan yang diadakan secara sederhana berlangsung di rumah Rudi. Tak banyak tamu yang diuundang. Hanya kerabat dekat dan kolega bisnisnya saja. Bahkan sang mempelai pria jugga tak mau mengadakan resepsi. Untuk hal itu Zahra ikut setuju. Karena dirinya juga tak ingin pernikahannya ini diekspos.

Di depan cermin rias dalam kamarnya, Zahra menatap bayangan dirinya yang tampak lebih cantik dan segar. Make up tipis dan dres putih serta kerudung putih menghiasi dirinya. Zahra pernah memimpikan menikah dengan seseorang yang bisa menjadi imam baginya. Membingkai rumah tangga dengan balutan nilai-nilai religius.   

Namun tampaknya itu semua hanya hayalan yang tak akan terwujud. suaminya saat ini bukanlah orang yang diharapkan. Terlalu jauh dari ekspektasinya selama ini.dia tak butuh suami kaya, apalagi mewarisi banyak harta, yang ia butuhkan adalah seorang lelaki yangmampu menjadi imam bagi rumah tangganya.

“Pengantin itu nggak boleh cemberut. Harusnya kamu bahagia karena sebentar lagi akan menjadi nyonya Pramudya. Kenapa malah bersedih begini?” ucap Dinda yang sejak tadi mengamati adik angkatnya. Dalam hati ia bersorak menang karena sebentar lagi Zahra akan pergi dari rumah ini. Kasih sayang orang tuanya tak lagi terbagi dengan anak pungut ini.

“Aku akan bahagia jika tidak menikah ssecara paksa, Kak. Kak Dinda tahu, bahkan aku belum pernah melihat calonku sendiri. Bagaimana mungkin tiba-tiba aku hidup bersamanya?”

Dinda tersenyum sinis di belakang sang adik. Menyentuh pundak berbalut gaun pengantin sederhana namun tampak elegan itu dan mencondongkan wajahnya ke depan, lalu berbisik. “Selamat, sebentar lagi akan menjadi istri seorang pria cacat.”

Setelah mengucapkan kalimat yang membuat jantung adiknya berdenyut nyeri, gadis bergaun merah itu melangkah keluar meninggalkan calon mempelai wanita bersama penata rias.

“Sabar ya, mbak, pasti ada hikmah dari semua ini. Kata guru ngaji saya dulu, kalau seorang istri ikhlas merawat dan mengurus suaminya hingga suaminya ridlo padanya, maka Allah telah menyediakan surga untuknya. Semoga mbak Zahra termasuk salah satu wanita yang akan mendapat surganya kelak,” ucap penata rias itu menenangkan.

“Aamiin, makasih ya, Mbak. Mungkkin ini memang takdirku. Allah lebih tahu yang terbaik buat hamba-Nya, kenapa aku harus sedih?” ucapnya sambil tersenyum. Meski setetes bulir bening jatuh membasahi pipinya, senyum di bibirnya tetap terlihat nyata. Seketika ia merasa damai.

Sebuah ketukan mengalihkan pembicaraan mereka. Seseorang melongok dari balik pintu dan meminta Zahra untuk ke ruang tamu karena ijab qabul telah dilaksanakan.

“Zahra, keluarlah temui suamimu. Ijab qabul sudah selesai.”

Zahra menatap wanita paruh baya itu lalu mengangguk sekilas. Bismlillah, semoga ini jalan terbaik yang Kau pilihkan ya Rabb. Beri aku kekuatan dan keikhlasan dalam membina rumah tangga ini. Lembutkan hati suamiku agar kami bisa menapaki kehidupan rumah tangga ini bersama dengan cinta-Mu.

Dengan wajah sedikit menunduk, Zahra dituntun sang perias berjalan menuju kerumunan di ruang tamu. Semua pasang mata menatapnya takjub. Termasuk seorang lelaki di kursi roda yang tatapannya juga mengarah  padanya dengan pandangan kosong. Namun entah mengapa Zahra merasa bahwa tatapan kosong itu mengarah padanya.

“Nah, ini dia mempelai perempuan sudah datang. Silahkan tanda tangani buku nikahnya,” perintah penghulu yang langsung dilaksanakan oleh Zahra tanpa membantah sedikitpun.

Selesai menandatangani seluruh dokumen, Zahra diminta untuk mecium tangan suaminya. Lalaki itu menggenggam jemari kecil istrinya lalu memasannya sebuah cincin emas dengan mata berlian biru. Sedikit meraba agar bisa masuk pada jari yang tepat.

Selanjutnya, Zahra merasakan pria yang baru saja sah menjadi imamnya itu meraba wajahnya. Meski sedikit risi, namun ia membiarkannya. Memberikan kebebasan pada suaminya untuk mengenalinya. Mungkin dengan cara ini imamnya itu bisa mengenalnya. Tiba-tiba tubuh Zahra membeku. Sebuah kecupan ringan ia dapatkan di keningnya.

“Sekarang kamu sudah jadi milikku, jangan pernah berpikir untuk lepas setelah ini,” bisik pria berkursi roda itu di telinga Zahra. Sekilas orang mengira kalau lelaki itu tengah mencium pipinya.

“Sepertinya putrraku senang menikahimu, Zahra,” ucap Susi membuat beberapa tamu tergelak. Alvivo kembali menegakkan tubuhnya dan kembali memasang wajah datar. Dia nggak suka menjadi pusat perhatian. Namun untk saat ini ia akan membiarkan mereka tertawa melihatnya menikah.

Pernikahan sederhana itu selesai. Satu per satu para tamu pulang ke rumahnya. Tinggal Alvino bersama asistennya, Eksan yang masih tinggal. Zahra yang beru pertama kali bertemu Alvino, merasa canggung menghadapinya. Ia bingung harus melakukan apa setelah ini. Mengajaknya ke kamar, rasanya gadis itu terlalu malu. Akhirnya ia hanya duduk diam di sofa, dengan suaminya di kursi roda dekat sofa tempatnya duduk. Sejenak mereka saling diam, hingga pria itu membuka suara.

“Bersiaplah, kita langsung pulang sekarang,” perintahnya tak terbantahkan.

“Pu—pulang ke—mana?” tanya Zahra terbata.

“Ke rumahku, kemana lagi? Cepat aku nggak punya banyak waktu,” ucapnya lagi. Kali ini nadanya sedikit ketus. Zahra yang memahami posisinya kini sudah menjadi seorang istri, mau tak mau menurut pada suaminya.

“Baiklah, tunggu sebentar.”

‘Sepertinya gadis tulus dan baik. Tapi kenapa ia mau menikah hanya demi uang?Apa sikap baiknya hanya kedok untuk melancarkan aksinya’ banti Alvino menerka.

Zahra memasukkan beberapa potong pakaian dan keperluan sehari-hari ke dalam koper. Tak banyak yang ia bawa karena ia tak memiliki banyak barang. Hatinya gamang, tapi ia tak bisa untuk tidak menuruti suaminya. Mulai sekarang surganya ada pada lelaki itu. maka sebisa mungkin ia membuat pria itu ridlo padanya.

Takut suaminya menunggu terlalu lama, Zahra segera keluar dari kamar yang telah ia tempati selama 22 tahun ini. Ia kembali memindai seluruh ruangan dan menyimpannya dalam memori. Aku pasti akan kangen dengan kamarku ini.

“Zahra, kamu mau kemana?” tanya Rudi yang berjalan ke ruang tamu.

“Kata mas Al, kita langsung pulang ke rumahnya, Yah.”

“Loh, apa tidak menginap dulu barang semalam?”

“Tidak, Yah. Saya ada banyak kerjaan yang harus segera diselesaikan,” sahut Alvino. Ia tak mau berlama-lama di rumah ini. Terlebih berdekatan dengan orang tua yang tega menjual anaknya demi uang.

“Baiklah, hati-hati kalau begitu,” pungkas Rudi akhirnya.

Ketika Eksan hendak mendorong kursi roda bosnya, Zahra mencegahnya. Lalu ia mengambilalih tugas Eksan dan menyerahkan kopernya untuk dibawakan.

“Mulai sekarang, biarkan aku yang melakukan ini,” ucapnya dengan semburat merah di pipi. Asisten Alvino mengangguk dan melaksanakan apa yang dikatakan oleh nona barunya. Dalam hati, Eksan mengagumi sosok gadis yang baru saja menikah dengan bosnya ini.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status