Share

Kamu Harus Melayaniku

Zahra melangkah ragu-ragu menuju kamar suaminya. Entah mengapa wanita yang baru menjadi nyonya Alvino tersebut merasa terganggu dengan ucapan iparnya barusan. Bulu kuduknya meremang mengingat kalimatnya yang mirip ancaman. Apa memang semua oerang di rumah ini tidak menginginkannya? Tapi … bukankah mama mertuanya tersebut sangat ramah saat pertama kali bertemu dengannya di rumah sakit waktu itu?

            Tak terasa kaki Zahra sudah sampai di depan pintu katu jati dengan ukiran khas Jepara yang sangat elegan. Ia yang sudah diberi tahu  kalau di sini letak kamar suaminya merasa gugup saat tangannya hendak memutar kenop.  Meskipun sedikit kesusahan, Zahra mencoba meengetuk pintu sebelum masuk ke kamar tersebut. Kamar seorang pria yang telah mengucapkan ijab qabul kemarin. Setelah mendapat jawaban dari sang empunya kamar, ia membuka pintu tersebut dengan sangat hati-hati. Lalu berjalan pelan tanpa menimbulkan suara menuju sosok pria yang duduk di tepi ranjang.

            “Mas, makannya sudah siap. Mau ditaruh di mana?” ucapnya lembut.

            “Bawa kemari!”

            Sungguh, rasanya Zahra ingin lari saja dari hadapan pria dingin ini andai ia tak ingat akan statusnya sekarang. Jantungnya berdentam-dentam tak karuan saat jarak dianatar mereka tinggal selangkah lagi. Pria  itu diam saja dengan tatapan kosong. Namun tetap mampu membuat bulu kuduk Zahra berdiri, seolah sorot mata itu menembus hingga ke dasar jantung Zahra, padahal lelaki itu buta.

            “Ini, Mas.” Zahra meletakkan nampan tersebut di pangkuan suaminya.

            “Suapi!”

            “Baik, Mas.” Gadis itu menurut. Mengambil kembali nampan di pangkuan suaminya dan menarik sebuah kursi untuk dia duduk. Sembari memangku nampan tersebut, Zahra menyuapkan makanan kepada suaminya dengan telaten seperti menyuapi bayi. Apa kabar jantung Zahra? Tentu saja berdetak lebih cepat dari biasanya.  Terebih sorot mata itu seolah menembus hingga ke tulang belulangnya. Meskipun tatapan pria itu kosong karena buta, namun entah mengapa Zahra merasa seakan tatapan itu mampu melihat dirinya yang gugup.

            Dengan sangat telaten dan sabar, Zahra menyuapi suaminya. ketika ada sisa makanan yang mengotori bibirnya, Zahra juga membersihkan dengan tisu sambil menahan nafas. Untuk pertama kalinya Zahra sedekat ini bersama pria asing. Maskipun lelaki ini sudah sah menjadi suaminya, tetapi ia masih merasa canggung dan malu. Terlebih selama ini dia nggak pernah pacaran atau dekat dengan lelaki manapun kecuali ayah angkatnya.

            “Sudah kenyang.” Alvino menolak suapan berikutnya, padahal masih tersisa separuh. Zahra hanya bisa menghela nafas pasrah dan  menyodorkan minum kepada lelaki itu. Tanpa diduga, Alvino menyemburkan minuman itu hingga mengenai wajah istrinya.

            “Minuman apa ini yang kau berikan padaku? Kamu ingin meracuniku, hah?” teriak Alvino di hadapan Zahra. Gadis itu tampak gemetar mendengar bentakan darinya. Dia hanya memberikan jus apel pada suaminya. Siapa sangka pria itu justru menyemburkannya.

            “Ma—maaf, Mas. ini jus apel. Saya tidakmemberikan racun kok. Mana saya berani meracuni orang lain. Dosa, Mas.”

            “Kamu tahu saya tidak suka buah apel? Kalau mau membuatkan jus jangan apel. Kamu sengaja, kan?”

            Zahra menggeleng meskipun ia tahu kalau suaminya tidak bisa melihatnya. Air matanya sudah berlinang membasahi  pipinya begitu saja. Tak menyangka hanya karena tak suka jus yang ia buatkan suaminya bisa semarah ini. Bukankah lebih baik ia mengatakan baik-baik kalau tidak suka?

            Lagipula mana Zahra tahu kalau pria yang baru menjadi suaminya itu tidak suka buah apel? Karena di kulkas banyak sekali buah apel dengan berbagai jenis. Ia pikir banyaknya stok buah itu karena suaminya menyukainya. Salahnya  juga sih, dia tak bertanya dulu minuman apa yang disuka.

            “Kamu menangis? Jangan pernah menangis di depanku! Aku nggak suka punya istri yang cengeng! Baru gitu aja sudah menangis, dasar lemah!” Alvino menaikkan kakinya ke atas ranjang dan menyandarkan tubuhnya ke kepala ranjang.

            “Makan dan minum sampai habis!” ucapnya kemudian berhasil menghentikan tangis Zahra berganti bingung.

            “Ma—maksudnya, Mas?”

            Alvino berdecak. Tak suka jika harus mengulang ucapannya lagi. Dia adalah tipe pria  yang irit bicara. Itulah sebabnya ia tak suka jika harus mengulangi lagi ucapannya.

            “Semua sisa makanku, kamu harus menghabiskannya. Jangan ada yang tersisa sedikitpun! Aku tak mau orang tua angkatmu menganggapku tak memberimu makan, meskipun aku tak yakin mereka masih peduli padamu setelah menjualmu demi perusahaan.”

            Ada yang berdenyut nyeri dalam hati Zahra kala suaminya mengingatkan siapa dirinya sekarang. Seorang isri yang dinikahi karena pertukaran bisnis dengan ayah angkatnya. Itu artinya apa yang dikatakan lelaki ini seratus persen benar, dan dia merasa sakit dengan fakta itu.  

            “Sudah nggak usah baper, memang kenyataannya begitu, kan? Cepat habiskan makananmu setelah itu lakukan tugasmu selanjutnya.”          

            Meskipun terpaksa, Zahra tetap melakukan apa yang diperintahkan suaminya, memakan makanan sisa suaminya dan menghabiskan jus apel yang baru disesap sedikit tersebut hingga tandas. “Nggak papa, Zahra. Makan sisa suami juga termasuk ibadah. Rasulullah juga pernah minum susu sisa istrinya di malam pertama,” ucap hati kecil Zahra menyemangati dirinya sendiri.

            Tak butuh waktu lama bagi Zaahra untuk menghabiskan makanan sisa tersebut. Kini ia tengah membereskan bekas makan mereka dan handak mengembalikannya ke dapur namun dicegah Alvino agar mengembalikan besok pagi saja.

            Pria itu lalu meminta Zahra untuk membacakan sebuah buku bisnis yang sangat tebal dengan suara yang cukup bisa didengar. Hingga berpuluh-puluh lembar ia  membaca sampai bibirnya berasa tebal akibat terus bergerak-gerak, pria itu masih terus memintanya untuk terus menbaca.

            “Kenapa suaramu makin lemah? Apa kamu tertidur?”

            “Tidak, Mas. Tapi mataku sudah perih sekali,” lirihnya. Ia tak berani menatap mata suaaminya yang terlihat begitu tajam dan menusuk, padahal tak bisa melihat.

            “Ya sudah, cukup sampai di sini saja membacanya. Kamu simpulkan apa yang sudah kamu bacakan tadi,” ucapnya enteng. Zahra tak mampu untuk menyembunyikan keterkejutannya. Untuk menyimpulkan, tidak tidak cukup membaca sekali saja. Namun pria itu tetap memaksanya hingga mau tak mau ia melakukannya.

            Zahra menjelaskan beberapa point yang masih melekat di otaknya kepada sang suami. Tanpa sadar gadis itu telah menorehkan seuah kesan tersendiri di hati Alvino. Dia adalah sosok pria yang sangat cerdas. Hanya sekali baca atau mendengarkan, memorinya mampu mengingat semua. Maka ketika Zahra  menjelaskan isi dan apa yang dibacakannya tadi, dalam hati ia tersnyum puas. Tak disangka gadis yang terlihat lugu dan lemah itu memiliki daya ingat yang cukup tinggi seperti dirinya.

            “Ya sudah, sekarang bantu aku tiduran dan pijit kedua kakiku biar ada rangsangan untuk bisa bergerak lagi.”

            Dalam hati Zahra mengucap banyak istighfar menghadapi suaminya  yang seolah tidak ada habisnya mengerjai dirinya. Perlahan dengan tangan gemetar, ia memijat kaki suaminya lembut. Takut jika menyakiti pria itu hingga ia kembali mendapat hadiah tak terduga darinya.  

            “Naik ke atas!”

            Zahra berhenti. Degup jantungnya terasa sangat cepat. “Ta—tapi, Mas ….”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status