Share

Selamat Datang di Neraka

Zahra yang baru pertama kali duduk berdampingan dengan seorang pria, merasa jantungnya mau copot. Meskipun suaminya sendiri, tapi tetap saja rasa gugup itu mendominasinya. Gadis berhijab itu tak sadar jika duduknya yang gelisah membuat pria yang duduk di sebelahnya terganggu.

“Kamu sedang apa? Kenapa tak bisa diam?”

“Maaf, Mas. Aku … hanya nerveous.”

Setelah mengatakan itu, hanya keheningan yang mendominasi mobil. Perjalanan mereka memakan waktu kurang lebih satu jam. Dan itu membuat Zahra tersiksa. Mati-matian ia menahan gugup dan gelisah hingga keringat dingin membanjiri tubuhnya. Sesekali Eksan melirik bosnya melalui kaca spion di atas kepalanya. Sudut bibirnya sedikit tertarik saat netranya menangkap senyum tipis di wajah bosnya yang selalu terlihat garang.

“Apa kamu takut padaku?” ucap Alvino tiba-tiba menyentak lamunan Zahra.

“Ti—tidak.”

“Kenapa gugup begitu kalau tak takut?”

“Aku … aku … hanya—“

Suara decitan ban yang beradu dengan aspal terdengar nyaring di telinga. Tiba-tiba mobil direm mendadak membuat ucapan Zahra terpotong. Kepala gadis itu juga terbentur kursi di depannya. Untung empuk, jadi jidatnya tidak sampai benjol.

“Kamu bisa nyetir dengan benar tidak?” bentak Alvino membuat Zahra bergidik mendengarnya.  Baru pertama kalinya gadis yang baru saja sah menjadi nyonya Alvino ini mendengar suara menggelegar suaminya kala marah.

“Maaf, Tuan. Mobil di depan mendadak berhenti.”

“Maju! Abaikan saja!” perintah sang tuan tanpa difilter. Zahra menatap jalanan yang begitu macet. Tidak ada celah untuk mereka menembus kemacetan ini kecuali dengan jalan kaki, dan itu sangat tidak mungkin terjadi.

“Tapi mobil kita nggak bisa bergerak, Tuan. Jalanan sangat macet. Mungkin sedang ada kecelakaan, Tuan.”

“Sh*t, kemana para petugas keamaanan? Apa saja tugas mereka hingga tak mampu mengatasi hal seperti ini?” geram Alvino. Lelaki itu tampak kesal dengan situasi yang membuatnya harus terjebak di jalanan seperti ini.

“Sabar, Mas,” lirih Zahra mencoba meredam kemarahan lelaki yang baru menjadi suaminya beberapa jam yang lalu. Namun siapa sangka respon lelaki itu justru membuatnya kembali menciut.

“Jangan pernah mengaturku! Kamu tidak ada hak untuk itu!”

“Maaf.”

Suasana di dalam mobil kembali hening. Tak ada yang bisa mereka lakukan selain menunggu kemacetan bisa diurai sehingga mereka bisa kembali mellanjutkan perjalanan. Eksan melirik bosnya memalui kaca sepion. Lalu tatapannya beralih pada wanita yang duduk di samping bosnya. Wanita itu sedang menunduk dengan tangan saling meremat, mungkin takut akibat bentakan dari suaminya tadi.

Setengah jam kemudian kenddaraan yang mengular di jalan itu perlahan mulai bergerak. Mobil mewah yang dikemudikan Eksan kembali melaju dengan cepat. Pria itu menambah kecepatan mobilnya dan menyalip kendaraan lain yang berjalan santai. Raut wajah bosnya sudah sangat tidak nyaman dilihat, dan itu berarti sang asisten pribadi harus segera membawanya ke kamar pribadi sang atasan yang selalu menjadi tempat teraman dan ternyaman bagi lelaki penguasa itu.

Ketika kendaraan memasuki pelataran rumah mewah bergaya modern dengan pilar-pilar kokoh itu, Eksan segera menurunkan kursi roda dan membantu tuannya untuk turun dari mobil. Zahra hanya bisa mengekor kedua pria itu tanpa sempat mengagumi bangunan megah yang akan ia tinggali ke depannya.

“Mari, Nona, ikuti kami,” ucap Eksan yang langsung diangguki oleh gadis berhijab itu. ketiga orang itu berjalan melewati ruang tamu. Lalu semakin masuk hingga ketemu sebuah lift khusus yang hanya diperuntukkan bagi Alvino saja. Mereka memasuki benda kotak itu menghirauakan tatapan sinis dari tiga orang yang duduk di ruang tengah. Sayangnya Zahra tidak menyadari hal itu sehingga dengan tenang ia terus berjalan mengikuti suaminya.

“Silakan masuk, Nona. Ini kamar pribadi Tuan dan mulai sekarang juga menjadi kamar anda.”

            “Terima kasih …”

            “Eksan. Panggil saja saya Eksan, Nona.”

            “Ah ya, Eksan. Terima kasih banyak,” balas Zahra dengan senyum manisnya.

            Setelah mengantarkan majikannya, Eksan kembali turun menuju kamar pribadinya. Ya, pria itu memang tinggal di rumah ini. Dia memiliki kamar di lantai satu, sementara seluruh area lantai dua merupakan wilayah Alvino. Tak ada seorang pun yang diizinkan ke lantai dua kecuali asisten pribadinya itu dan seorang pembantu yang bertugas membersihkannya.

            Alvino benar-benar disiplin mengenai hal ini. Ia akan menghukum siapa sajja yang berani  menginjakkan kakinya di wilayah kekuasaannya sekalipun itu saudara tirinya. Kini bertambah satu orang yang diperbolehkan memasuki area itu, yaitu Zahra.

            “Mau mandi, Mas? Mau saya bantu?” tanya Zahra hati-hati. Ia masih belum memahami karakter suaminya, sehingga harus bersikap sangat hati-hati jika tak ingin nasibnya menjadi buruk.

            “Nanti saja. Tolong bantu aku berbaring, punggungku pegal sekali karena kelamaan di jalan tadi.”

            Tanpa kata, wanita yang sudah sah menjadi nyonya Alvino itu mendorong kursi roda suaminya. Dengan sangat hati-hati, ia membantu pria itu untuk berbaring di ranjangnya. Alvino bisa merasakan ketulusan dari wanita ini. Namun ia tak  bisa percaya begitu saja. Bagaimanapun, gadis yang dijodohkan dengannya ini adalah pilihan ibu tirinya.

            “Buatkan aku makanan, jangan yang pedas atau berminyak!” perintah Alvino lagi tanpa belas kasih. 

            “Baik, Mas. Tunggu sebentar,” ucapnya lembut lalu menyelimuti suaminya. Setelah memastikan suaminya nyaman, ia bergegas keluar kamar menuju lantai satu. Ia belum mengetahui seluk beluk rumah ini, maka pertama kali yang ia lakukan adalah mencari Eksan untuk menunjukkannya.

            “Em … maaf, Bu, apa Ibu lihat Eksan?” wanita yang ditanya Zahra bergeming. “Bu, apa Ibu lihat Eksan?” tanyanya sekali lagi.

            “Kamu pikir saya ibunya Eksan? Kau cari saja sendiri!” bentak Susi yang sudah menunjukkan wajah aslinya. Waktu di rumah sakit, wanita ini tampak sedikit ramah, namun sekarang berubah 180 derajat. Hampir saja Zahra tak mengenalinya kalau saja tak ingat wajah ini adalah wajah yang sama yang memaksanya menikah lebih cepat waktu di rumah sakit.

            “Maaf, Bu, saya hanya bertanya.”

            Wanita itu berdiri dengan wajah garangnya. Tatapannya menusuk tajam seolah mampu menembus jantung Zahra. “Kamu ingat baik-baik, Zahra … tugas kamu di sini hanya untuk mengurusi suamimu yang cacat itu. jadi nggak usah sok akrab seolah kita memiliki hubungan.”

            Gadis berhijab itu hanya bisa melongo mendengar perkataan mertuanya. Bagaimana mungkin ia tidak sok akrab pada mertuanya sendiri? Bukankah tugas seorang istri itu selain melayani dan menghormati suaminya juga menghormati mertuanya juga?

            “Ada apa, Nona? Kenapa rebut-ribut?”

            “Ah, Eksan … akhirnya kamu muncul juga. Mas Alvin minta dibuatkan makanan, bisa tolong tunjukkan padaku di mana aku bisa membuatnya?”

            “Oh, kalau itu, Nona bisa ke sana,” tunjuknya. “Dapurnya ada di sebelah ruang makan itu.”

            “Terima kasih.”

            “Sama-sama, Nona.”

            Zahra berjalan menuju tempat yang ditunjuk oleh asisten suaminya. Ia tak tahu jika ada seseorang yang terus mengawasi sejak kedatangannya tadi. Di ruangan yang serba bersih dengan perabotan yang serba mahal itu, Zahra menemukan seorang wanita paruh baya yang sedang melakukan pekerjaannya. Keduanya lalu terlibat perbincangan ringan sampai makanan yang dibuat Zahra siap untuk dihidangkan.

            Gadis cantik berhijab itu melangkah hati-hati menuju lift sambil membawa sebuah nampan berisi makanan untuk suaminya. Di tengah jalan ia bertemu dengan seorang gadis seumurannya dengan pakaian super seksi tengah menatapnya.

            “Kamu istri dari si cacat itu?” tanya Risma—adik tiri Alvino dengan senyum mengejek. Tatapannya menilai pada penampilan Zahra yang dianggapnya kampungan. “Selamat datang di neraka, Zahra,” bisiknya sarkas.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status