Share

Bab 4

Sosok pria dengan topi fedora hitamnya terlihat serius memainkan tablet besar pipihnya, tidak lupa menyandarkan punggungnya dengan santai pada kursi putar yang ia duduki. Dia tersenyum sarkas ketika berhasil menemukan jejak seseorang yang diincar.

“Shin Leo...,” ucapnya menahan kemarahan, “jangan coba-coba menghindari Rain. Aku akan segera menemukanmu dan menghancurkanmu, Adik durhaka!”

***

Di rumah calon istrinya, Shin terlihat sibuk akan sesuatu. Di tempat yang cukup jauh dari kumpulan orang-orang, ia menyentuh telinganya. Tak lama dari itu, timbullah sebuah benda unik yang semula transparan kini berubah menjadi terlihat oleh mata.

Shin memiliki benda seperti earphone kecil yang terpasang pada telinga kanan dan kirinya. Benda itu bisa disamarkan bagai bunglon yang melakukan mimikri. Sebut saja benda itu G-Phone : Genique phone, singkatan dari Genius and Unique phone.

*Mimikri: merupakan proses adaptasi dimana warna kulit hewan akan berubah karena peranan pigmen kulit sesuai dengan tempatnya ia singgahi untuk melindungi diri dari predator dan mencari mangsanya, contoh bunglon.

Mungkin istilah seperti itu cukup menggambarkan bagaimana bentuk dan keadaan G-phone milik Shin jika disamarkan.

Jangan salah, G-phone kecil yang selalu terpasang di telinganya itu adalah benda super multifungsi yang tidak dimiliki oleh orang lain. Sebuah benda unik yang jika dipandang manusia yang sekarang berupa benda super canggih yang terbayang hanya ada di era teknologi tinggi.

Tentu saja, orang lain tidak banyak yang tahu tentang alat canggih yang dimiliki oleh Shin. Apa saja fungsinya? Terlampau banyak untuk dijelaskan.

Tiiit!

Bunyi suara itu terdengar setelah Shin menekan salah satu tombol pada G-phone bagian telinga kiri. Tak lama kemudian, muncul sebuah layar besar transparan di udara, itu adalah efek dari G-phone yang canggih tersebut.

Panggilan video tersambung...

"Halo, tes..., tes...., Lee Alvin?" panggil Shin yang menatap layar monitor melayang di hadapan matanya. Shin sedang mengaktifkan fitur ZoyApp-nya menggunakan alat itu.

Pada layar, terpampanglah seorang cowok berwajah sweet yang tak pelit senyum dan semringah, sedang berkencan dengan banyak kentang goreng dan makanan lainnya.

"Hyung!" cowok itu menyapa Shin dengan wajah bahagia dan gaya hebohnya, tak lupa ia tunjukkan banyak kentang goreng agar Shin melihat.

*Hyung: Bahasa Korea (Arti: Kakak), disebutkan oleh pihak laki-laki.

"Eh, Alvin. Tumben rapi?" tanya Shin seraya menginterogasi cowok tersebut.

Cowok itu bernama Lee Alvin, dia adalah Adik angkat Shin yang sedang berada di Seoul. Alvin pun mahir bicara bahasa Indonesia karena kebersamaan mereka yang cukup lama tinggal di Jakarta.

"Aku lagi siap-siap mau jalanin tugas, Hyung. Sekarang makin banyak pembunuh merajalela. So, aku juga butuh banyak asupan gizi biar semangat menyelidiki kasus," balas Alvin yang melakukan panggilan video melalui smartphone-nya.

"Eleh. Detektif sok sibuk," ledek Shin dengan senyum kotaknya yang khas.

Alvin baru menyadari dan tercengang melihat penampilan Shin yang berbeda. "Woaaah! Hyung, udah beneran mau nikah?" tanya Alvin yang kembali heboh melihat Shin sudah memakai pakaian adat pernikahan.

Shin memandang Alvin sebal. "Iya, lah. Mana janjimu? Katanya mau ke Jakarta menghadiri pernikahanku? Awas kau ya."

"Ampun, Hyung. Aku lagi banyak job. Mianhae! Kalau sudah selesai, aku akan ke Jakarta. Janji!" bujuk Alvin, dia merasa tidak enak karena tidak bisa hadir di pesta pernikahan Shin. Benar-benar definisi adik yang tidak tahu diri.

*Mianhae: Bahasa Korea (Arti: Maaf)

"Aku gugup. Daritadi kakiku gemetaran, ga bisa diam," Shin mengungkapkan rasa khawatir yang mengguncang jantungnya sejak tadi, karena sebentar lagi acara sakral baginya akan dimulai.

"Hahaha!" tawa Alvin senang melihat wajah Shin yang agak pucat. "Santai, Hyung. Sebentar lagi Hyung akan bersenang-senang dengan pengantin wanita. Huahahah. Uhuy. Cuit..., cuit."

Shin memutar bola matanya malas melihat Alvin yang senang menertawakannya.

"Eh, ngomong-ngomong, calon istri Hyung cantik, kan?" tanya Alvin penasaran.

"Jangan genit sama calon istriku. Akan kuhancurkan sistem tempat kerjamu, medsos-mu juga kubajak nanti sampai ke dalam-dalamnya!" ancam Shin.

"Astaga, seram amat, Hyung. Aku cuma penasaran jodoh Hyung seperti apa. Dasar sensitif!" balas Alvin sebal.

"IKAN A-SHIN!" suara Idris memanggil Shin.

Shin segera mengakhiri panggilan video dengan Alvin, lalu membuat G-phone-nya menjadi tak terlihat kembali.

Idris datang menghampiri Shin yang cukup mencurigakan baginya. "Udah mau acara, tapi masih ngumpet di sini?" gerutu Idris tanpa rasa hormat kepada calon kakak iparnya itu.

"Maaf, tadi aku menghubungi Adikku yang ada di Seoul," jawab Shin seadanya.

"Aku ga peduli kamu mau menghubungi siapa!!!" bentak Idris kesal.

"Astaghfirullah. Kenapa kamu marah, Id?" tanya Shin kaget dengan sikap Idris yang semakin hari semakin garang padanya.

"Ga usah sok akrab, deh. Aku ga suka lihat orang yang udah bikin Kak Biya-ku nangis!" kata Idris yang kelepasan karena terlalu kesal melihat Shin.

"Biya nangis? Nangis kenapa?!" tanya Shin khawatir, tak habis pikir.

Idris sudah terlanjur melontarkan kenyataan itu. Dia tak bisa menjawab. "Udahlah. Ga penting!" Idris pun berjalan cepat meninggalkan Shin.

"Id!" panggil Shin. Namun, Idris tidak memedulikannya. "Ya Allah, Biya nangis kenapa?" Perasaan Shin tiba-tiba menjadi gusar.

**

Degup jantung kian mengguncang dua insan yang akan menikah. Untuk pengantin laki-laki, degup jantungnya begitu tulus karena awal cinta yang murni, sedangkan pada pengantin perempuan, degup jantungnya dipenuhi kesedihan dan tekanan.

Proses ijab-qabul dilaksanakan di rumah Sabiya pada pukul 9 pagi.

Sabiya berada di kamarnya ditemani oleh beberapa perempuan dari keluarganya, termasuk Laila (Mamanya) juga ada di sana.

Air mata Sabiya terus mengucur. Dia tidak tahan untuk tidak menangis. Dia merasa penyesalan akan datang bertubi-tubi. Sabiya melihat layar smartphone-nya yang tidak ada pesan balasan dari Hamas.

Laila mulai khawatir melihat Sabiya terisak. "Biya, kenapa Sayang?"

Sabiya tentu menggeleng.

"Oh, mungkin Biya nangis bahagia karena sebentar lagi akan menjadi seorang istri," pikir salah satu kerabat dari Mamanya Sabiya.

Laila langsung terharu mendengarnya, "Sabar, Biya. Mama juga udah ga sabar kamu menjadi istrinya Shin."

Hati Sabiya semakin terjungkal saking tidak terima Mamanya bicara begitu padanya. Sabiya memasang senyum palsunya diiringi air mata.

"Kak Hamas, aku akan menikah dengan orang asing! Kak Hamas bodoh! Kak Hamas kok berubah? Main pergi aja!" batin Sabiya begitu kesal dan kalut, menangisi keadaannya.

Sementara itu, Shin sudah duduk mantap untuk menjalankan proses ijab-qabul. Tangannya yang dingin karena gugup pun sudah berjabat dengan tangan Yunus yang sebentar lagi menjadi mertuanya.

Deg. Deg. Deg.

"...Saya nikahkan..."

Sabiya, Laila, beberapa sepupu, dan juga Tantenya Sabiya mulai gugup mendengar Yunus sudah mengucapkan ijab. Bahkan, ada yang sengaja mengintip ke ruangan di mana Shin berada.

"Aku mau Kak Hamas datang, batalin semuanya," harap Sabiya dalam hati, benar-benar khayalan klasik kalau Hamas akan datang saat ini juga untuk membatalkan pernikahan ini.

Idris yang menyaksikan proses ijab-qabul pun tiba-tiba merasakan bagaimana suasana hati Sabiya saat ini, pasti sangat sedih dan hancur. "Harusnya, Kak Biya nikah dengan Kak Hamas, bukan sama cowok aneh ini. Aku ga percaya sama dia!" gerutu Idris dalam hati.

Deru napas Shin cukup cepat dibandingkan hari-hari biasa. Tangan kirinya sudah memegang erat pengeras suara. Dengan mantap dia pun membalas, "Saya terima nikahnya dan kawinnya Sabiya Naladhipa binti Yunus Abizar Naladhipa dengan mas kawinnya yang tersebut, tunai."

Duaaar!

Hati Sabiya tidak kuat mendengarnya. Dia merasa kesadarannya hampir hilang.

Seruan bahagia dari pihak keluarga tersebut malah membuat kepala Sabiya semakin sakit.

"Sah! Alhamdulillah!" pihak keluarga sangat bersyukur atas kelancaran acara ini.

"Biya, kamu udah sah jadi istrinya Shin!" Laila kegirangan sambil memeluk erat putrinya itu. Dia tidak menyadari kalau Sabiya sedang syok.

Hanya jalan buntu. Sabiya cuma bisa pasrah dan menjalankan acara berikutnya sampai selesai dengan berat hati. Sabiya yang semula di kamarnya pun diperbolehkan keluar menemui lelaki yang sudah resmi menjadi suaminya.

Sabiya sudah berhadapan dengan Shin. Wajah Shin yang sungguh menawan dibumbui dengan pakaian pengantin seharusnya membuat Sabiya terpesona, tetapi ternyata Sabiya tidak memedulikan itu sama sekali.

Demi nama baik keluarga, Sabiya pun menyalami dan mencium tangan Shin, dia seperti melakukan akting yang sangat baik tanpa cacat hingga membuat Shin tidak berhenti tersenyum bahagia. "Berbakti secara terpaksa, artinya aku tidak akan menjalaninya dengan tulus,” batinnya.

**

Resepsi pernikahan pun dilaksanakan pada hari yang sama karena betapa padatnya jadwal kerja Shin dan beberapa pihak keluarga lainnya. Selain itu, mereka semua tidak mau menunda resepsi lebih lama.

Acara tersebut dilaksanakan ba'da zuhur di sebuah gedung cukup besar yang sudah didekor se-simpel dan se-elegan mungkin. Acaranya memang cukup unik, hanya mengundang pihak keluarga dan orang-orang tertentu.

Sabiya menaiki mobil pengantin berhiaskan bunga-bunga cantik berwarna ungu yang diiringi oleh mobil dari pihak keluarga dan teman-teman lainnya.

Kini Sabiya dan Shin berada di singgasana yang memang disediakan untuk tempat duduk mereka yang dinobatkan menjadi Raja dan Ratu sehari.

Sabiya berusaha menebarkan senyuman untuk para tamu undangan yang ingin bersalaman.

Tak lama kemudian, dua orang lelaki berpakaian jas rapi datang menghampiri Shin dan Sabiya, yang satu bertubuh kurus, yang satunya gemuk.

"Wah, selamat Boss Shin! Alhamdulillah udah sah," seru lelaki bertubuh gemuk sambil memeluk Shin, bangga.

"Alhamdulillah. Makasih, Mas Rahmat!" balas Shin senang sambil memeluk temannya yang bagai buntalan bantal itu.

Rahmat pun sedikit membisikkan kata-kata ke telinga Shin, "Boss, kenapa ga ngundang semua pihak kampus? Sampai kapan jadi rahasia?"

"Husss," kata Shin memberi kode kepada Rahmat agar tidak membahas tentang itu.

Teman Shin yang bertubuh kurus pun tidak mau kalah, "Bahagia selalu ya, Prof. kami akan selalu berdoa untuk kebahagiaan Prof. Shin."

"Makasih, Mas Soleh," balas Shin sambil menepuk bahu temannya yang satu itu.

"Prof?" ucap Sabiya dalam hati. Untuk apa Sabiya peduli dengan segala hal tentang Shin? Membuang waktu saja baginya. Sabiya pun membalas salam kecil dari teman-temannya Shin.

Setelah itu, beberapa teman kuliah Sabiya dulu berbondong-bondong menuju ke atas panggung untuk bersalaman dengan Sabiya dan Shin.

"Sabiya!!!" seru teman-teman Sabiya yang fashionable dan centil.

Sabiya pun menerima pelukan hangat dari teman-teman lamanya, "Makasih ya teman-teman udah datang."

"Masya Allah, cakep kali suamimu, Sabiya!" ungkap salah satu teman Sabiya yang ceplas-ceplos. “Ga nyangka, ternyata pilihan terakhirmu jatuh pada seorang Oppa yang super ganteng!”

Shin hanya tersenyum ramah menanggapinya.

"Shin-ssi!" susul wanita lain yang sok akrab dan ingin bersalaman mesra dengan Shin, tetapi dia mengerucutkan bibirnya saat Shin hanya mengajak salam semut.

*-ssi: Bahasa Korea (Adalah suffiks/akhiran yang digunakan kepada orang yang lebih tinggi derajatnya atau kepada orang yang kita hormati).

"Makasih sudah hadir," ucap Shin pelan.

Semuanya terkagum-kagum melihat Shin berbicara bahasa Indonesia dengan fasih.

"Lucu banget suamimu ini, Sabiya. Oppa ini tipe aku banget, lho. Aduh, matanya tajam dan agak belo. Hidungnya kayak perosotan. Lihat bibirnya, punya senyum kotak!" lanjut wanita itu mengedipkan mata kepada Shin.

"Ya Allah, sadar woy. Dia suami teman kita! Ngaca, mukamu cuma upil dibandingin sama muka Sabiya!" oceh wanita satunya.

Sabiya hanya menghela napas lelah, tidak terlalu menanggapi Shin yang diganggu teman-temannya.

Shin mulai khawatir saat wanita-wanita itu berani menyentuh-nyentuh pipinya. Dengan cepat Shin langsung menggenggam tangan Sabiya, erat.

Sabiya syok bukan main. Dia hampir terpekik. "Ka-," Sabiya merasakan tangan Shin gemetaran. "Dia nyentuh aku! Kenapa tangannya gemetar segala?!" umpat Sabiya kesal dan tidak terima dalam hati.

"Huaaa!" seru wanita-wanita itu melihat Shin begitu romantis menggandeng tangan Sabiya.

"Cepat dapat baby ya, Sabiya. Biar aku bisa gendong bapaknya," goda teman Sabiya tiada henti, "upsss, maksudku gendong baby-nya, hehe."

Sabiya tersenyum pahit mendengarnya. Baby? Mimpi! Sabiya terus menggerutu di dalam hati. Dia akan pastikan kalau hal itu tidak akan terjadi.

Teman-teman Sabiya pun akhirnya turun dari panggung untuk menikmati hidangan yang tersedia di banyak meja.

Deg.

Shin seakan tidak mau melepas tangan Sabiya. Dia merasa sangat senang, darahnya berdesir cepat karena sudah bisa menyentuh tangan perempuan yang sah menjadi istrinya.

"Lepas!" pinta Sabiya ketus, mumpung belum ada tamu undangan yang ingin bersalaman lagi.

"Ga," balas Shin yang semakin erat menggenggam telapak tangan Sabiya yang terasa dingin. "Tanganmu dingin," lanjutnya.

"Heh," Sabiya benar-benar tidak percaya hal ini. Dia bersikeras ingin melepas tangan Shin yang sebetulnya hangat. "Lepas, atau aku teriak!" ancamnya dengan suara kecil.

Shin spontan melepas tangan Sabiya mendengar ancaman seperti itu. Dia berusaha berpikir positif, mungkin Sabiya masih malu.

**

Akhirnya, acara resepsi sudah selesai. Pihak keluarga lainnya berangsur-angsur pulang.

Sore pun kian beranjak menjadi malam.

Berdiri cukup lama di atas panggung untuk bersalaman dengan tamu undangan membuat kaki Sabiya sangat pegal.

Sabiya masih berada di rumahnya. Dia bersantai manja di tempat tidur sambil memerhatikan Mamanya yang baru saja memasuki kamarnya, "Ma, mana I'id?"

"Ada di bawah, lagi nonton sama Papa," jawab Laila yang berjalan ke arah lemari pakaian Sabiya.

Tiba-tiba pikiran Sabiya mulai berkecamuk saat Laila begitu sibuk membongkar lemari pakaiannya.

"Ma, kok bajuku dikeluarin semua?" tanya Sabiya heran.

"Mulai malam ini kamu langsung tinggal di rumah Shin, Sayang," jawab Laila senang sambil memasukkan baju Sabiya ke dalam koper.

"Apa? Secepat itu, Ma?!" Sabiya menegang tidak setuju, "Mama kayak ngusir aku, deh."

Laila menghentikan aktivitasnya sejenak, "Kok Biya ngomong gitu? Mana ada Mama mau ngusir kesayangan Mama. Justru Mama nyuruh kamu pindah ke istana yang lebih indah."

Sabiya tidak mengerti maksud perkataan Mamanya. Apa yang dimaksud Laila istana itu adalah rumah milik Shin?

Laila pun melanjutkan kembali mengemas beberapa barang yang akan dimasukkan ke dalam koper Sabiya. "Bawa yang perlu dulu aja, sisanya nanti nyusul," ucap Laila tanpa menghilangkan senyuman.

Tiba-tiba Shin muncul di depan pintu kamar Sabiya, "Mau kubantu, Ma?" tawar Shin ramah kepada Laila.

"Eh, Nak Shin. Mama lagi beresin bajunya Biya, nih. Shin istirahat aja, ga usah repot," kata Laila yang semakin gencar memasukkan banyak baju Sabiya ke koper, semangat membara!

Sabiya merasa ingin muntah melihat Mamanya begitu peduli dengan Shin.

"Oh, ya. Mama mau ke bawah dulu sebentar. Sabiya, sisa bajunya kamu rapikan ke dalam koper. Harus!" kata Laila sedikit paksa sambil tersenyum menatap Sabiya dan Shin bersamaan. Kemudian, Laila pun keluar dari kamar.

Kini hanya tinggal Shin dan Sabiya di kamar itu. Benar-benar suasana yang hening dan kaku, apalagi Sabiya tidak tersenyum sedikit pun.

"Adek Biya tadi udah makan?" tanya Shin yang ikut duduk di tepi ranjang Sabiya, namun jarak mereka masih terlampau jauh.

Sabiya menelan salivanya mendengar Shin menyebutnya 'Adek Biya'. Sedikit aneh karena kaku. "Udah!" jawabnya jutek.

"Maaf tadi aku ga sempat makan bareng, teman-temanku terlalu banyak yang datang dan heboh," jelas Shin tersenyum malu menatap Sabiya.

Sabiya hanya diam sambil memainkan kukunya yang mengkilap.

"Keychain kura-kuranya udah digantung di tas? Atau di mana?" tanya Shin penasaran sambil tersenyum.

Seketika Sabiya teringat gantungan kunci berbentuk kura-kura yang dia lempar entah kemana. "Udah kugantung di tas," jawab Sabiya berbohong.

Shin menatap Sabiya, curiga. Dia pun berdiri. "Benar, digantung di tas? Tas yang mana?"

Sabiya kesal karena Shin begitu ingin tahu, "Ga usah banyak tanya! Kalau percaya, ya percaya aja."

Shin berjalan mondar-mandir seakan mencari jejak keychain kura-kura sambil menyentuh bagian telinga kanannya, menyentuh G-phone.

Betapa kagetnya Sabiya saat Shin mencari sesuatu di atas lemarinya.

"Ini???" kata Shin yang menunjukkan gantungan kunci darinya yang ternyata berada di atas lemari.

"Kok bisa?!!!" pekik Sabiya dalam hati, ia hampir jantungan. Sabiya mati kutu. Dia seperti tertangkap mencuri, "Aku taruh di atas lemari biar ga hilang!"

Shin tertawa kecil sambil mengernyitkan dahi melihat Sabiya yang tertangkap berbohong. "Jangan jauh-jauh menyimpan keychain-nya, nanti dia berdebu," kata Shin sambil memasukkan gantungan kunci itu ke dalam koper Sabiya.

Sabiya benar-benar semakin ngeri melihat Shin yang tidak bisa ditebak oleh pikirannya. "Aku ga mau pergi sama kamu, Ikan A-Shin jelek!" Sabiya kembali memberontak.

"Biya," ucap Shin lembut dengan wajah sedih. Shin sudah bertatapan cukup dekat dengan Sabiya sekarang. Dia ingin mengusap kepala Sabiya dengan lembut. "Aku suamimu."

Jemari tangan Shin sudah menyentuh pelan kepala Sabiya yang masih bertutupan jilbab ungu polos.

Sabiya terdiam, tubuhnya merinding ketika merasakan tangan Shin sudah menyentuh kepalanya.

Tasss!

Sabiya menepis kasar lengan Shin. "Pokoknya aku ga mau!" teriak Sabiya dengan mata yang sudah berair.

Shin menunduk, sedih melihat respons Sabiya terhadapnya semakin hari semakin buruk.

Sabiya pun berniat keluar dari kamarnya. Dia merasa jengah melihat Shin berdiri menghalangi jalannya, "Minggir!"

Shin malah menarik lengan Sabiya, lalu membuat gadis itu jatuh ke pelukannya.

Deg!

Sabiya tercengang, sangat kaget karena Shin mendekap tubuhnya erat. Air mata Sabiya pun membanjir karena takut dengan Shin yang masih sangat asing baginya. “Jangan kurang ajar!” Sabiya pun menginjak kaki Shin berkali-kali agar pria itu kesakitan.

Shin pun membiarkan Sabiya keluar dari kamar, lalu ia mengucap kalimat penenang hatinya, "Astaghfirullah. Sabarkan aku untuk melunakkan hatinya, ya Allah. Insha Allah, aku bisa."

*

Bersambung…

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status