Share

Bab 5

Usai mematikan kran air di kamar mandi, Laila berniat untuk segera kembali ke kamar Sabiya. Satu per satu anak tangga berwarna cokelat Laila naiki. Dia bersenandung senang karena anak gadis kesayangannya sudah menikah dengan pria tampan dan baik hati pilihannya.

Bruk. Bruk. Bruk!

Suara hentakan kaki Sabiya yang kuat benar-benar mengusik gendang telinga Laila.

Sabiya yang berlari keluar dari kamarnya pun bertemu dengan Mamanya di dekat tangga. Bulir bening yang keluar dari mata Sabiya membuat Mamanya tidak habis pikir.

"Biya, kenapa nangis?" tanya Laila panik.

"Pokoknya aku ga mau pergi sama dia!" jelas Sabiya ketus sambil menghapus air mata sedih dan takutnya. Sabiya pun menuruni tangga, melewati Mamanya begitu saja.

"Ya Allah, Biya!" panggil Laila kesal. Dia pun berpikir kini Shin pasti hanya sendirian di kamar.

Laila memastikan sendiri ke kamar Sabiya, terlihat Shin yang duduk di tepi ranjang sendirian dengan wajah sedih. Laila tidak terima melihatnya, "Shin, tolong bantu Mama bawakan koper Sabiya, ya. Kita turun ke bawah. Biar Mama yang bujuk dia."

"Tapi, Ma... Biya ga mau," jelas Shin sedih.

Laila tidak peduli, dia akan berusaha membantu Shin agar Sabiya mau menurut.

**

Yunus yang tengah beristirahat di sofa sedang asyik memainkan game di smartphone-nya.

Idris juga berguling di sofa panjang dengan wajah malasnya sambil menekan remote untuk mengganti channel tv. "Kenapa acara tivi isinya kuman semua?" umpat Idris kesal seraya ingin mengutuk televisinya.

"Papa...," panggil Sabiya sedikit merengek.

"Kenapa lagi, Sayang? Kok nangis???" Yunus mulai panik dan menghentikan kegiatan bermainnya.

Sabiya langsung duduk di sofa sambil memeluk Yunus. "Pa..., Mama kok kayak ngusir aku? Apa ga terlalu cepat aku tinggal di rumah Kak Shin?"

Idris langsung duduk dengan wajah sedih mendengar pengaduan Sabiya, "Apa? Jadi, malam ini Kak Biya udah ga di rumah ini?"

Sabiya mengangguk sedih menatap Idris.

Yunus menghela napas berat, dia berharap tidak akan terjadi keributan lagi antara putrinya dan istrinya.

Laila sudah melangkah cepat menuruni tangga, disusul oleh Shin yang berjalan di belakang Laila sambil membawa koper Sabiya.

"Biya, tolong dengarkan Mama. Kamu harus menghargai Shin. Dia suami kamu," pinta Laila memohon.

Idris mengerucutkan bibirnya melihat Shin sudah membawa koper Sabiya, "Pasti Ikan A-Shin yang udah maksa Mama. Iya, kan?"

Shin hanya mengelus dada dan mencoba bersabar di dalam hatinya menghadapi remehan itu.

Telinga Laila berdengung dan tidak suka mendengar ocehan anak laki-lakinya yang kekanakan itu, "I'id! Kamu ga sopan sama Kakak ipar kamu! Mana ada Shin yang maksa Mama. Mama sendiri yang minta!"

Idris langsung diam seribu bahasa jika Mamanya sudah mengomelinya.

Sabiya tidak tahu apa yang akan terjadi nanti saat di rumah Shin. Dia jadi takut sendiri. "Baiklah!" ucap Sabiya yang sudah berdiri.

Shin masih tidak enak hati. Dia merasa ciut dan gagal membuat Sabiya bersimpati padanya.

"Aku akan pergi sekarang juga ke rumah Kak Shin, tapi dengan dua syarat," pinta Sabiya agak mengancam.

Mendengar itu, Shin menjadi sedikit bersemangat. "Apa pun syaratnya, katakan padaku. Insha Allah aku akan mengabulkannya," kata Shin yakin.

Yunus hanya terdiam kaku. Dia takut ikut campur, takut juga mendengar omelan istrinya yang panjang lebar nanti, bisa mabuk otak dan telinganya.

Laila mengurut keningnya. Dia menjadi kesal dengan Sabiya yang banyak maunya, "Ya Allah, Sabiya! Kamu kayak anak kecil pakai syarat-syarat segala! Kasihan Shin!"

Sabiya pun mengungkapkan keinginannya, "Pertama, di sana nanti aku mau masak dan makan chicken wings sepuasku!”

Laila menepuk jidadnya sendiri. Ya, dia tahu kalau chicken wings adalah makanan favorit putrinya.

Shin terkekeh, “Tentu, nanti apa pun keperluan yang kamu inginkan akan aku siapkan, termasuk chicken wings.”

Sabiya manyun, lalu mengucapkan syarat yang berikutnya, “Yang kedua, aku mau I'id ikut denganku ke rumah Kak Shin!"

"APAAA?!!!" ucap mereka semua bersamaan.

Idris jadi salah tingkah karena menjadi sasaran, "A-aku? Ikut?"

"Id, kamu ga mau? Katanya kamu sayang sama aku!" keluh Sabiya sebal menatap Idris.

Idris langsung menggaruk kepalanya yang tidak gatal, "Cuma main bentar aja, kan?" tanya Idris memastikan.

Sabiya menggeleng, "Bukan, Id. Tapi kamu juga harus tinggal di rumah Kak Shin!"

"Heeeh???" muka Idris menjadi tidak santai. Hidungnya mengembang antara merasa syok dan bingung. Alis tebalnya menggeliat naik-turun.

Yunus pun mengambil smartphone-nya kembali dan pura-pura fokus melihat sesuatu, padahal hanya keluar-masuk menu galeri.

Sabiya berkacak pinggang dan terus mengancam, "Kalau I'id ga mau, aku juga ga mau pergi!"

Laila terperangah kesal menatap Sabiya. Dia pun kasihan melihat Shin, menantu yang dia sayangi itu sudah dibuat pusing. Laila jadi merasa sangat malu.

"Gapapa, I'id ikut aja," ungkap Shin senang.

"Oke, aku akan ikut Kak Biya, asal PS kubawa!" pinta Idris yang tidak bisa lepas dari game itu. (PlayStation)

Yunus pun menjelitkan matanya menatap Idris, "Ga bisa! PS itu hak milik Papa!"

Idris tidak terima dengan omongan Papanya barusan. "Papa harus sadar diri, udah ubanan juga, ga cocok lagi main PS! Pokoknya aku mau bawa itu!"

"Ga, ga, ga!" tolak Yunus, "Apa isi otakmu, hah? Lagi kuliah S-dua masih aja otaknya mikir main! Pikirkan siapa calon istrimu nanti!"

Shin ikutan bingung memerhatikan perdebatan antara mertua laki-lakinya dan adik iparnya itu, tetapi agak lucu baginya sampai Shin mengulum tawa. Namun, tiba-tiba mengenai PS yang berhubungan dengan game, membuat Shin teringat dengan seseorang yang sudah pergi meninggalkannya. Orang itu adalah Kakak angkatnya yang hobi menggeluti dunia game, bahkan pernah berkata kepada Shin bahwa dia akan menciptakan game-nya sendiri suatu saat nanti. Sayangnya, Kakak angkatnya itu sudah pergi berpisah dari Shin karena sebuah masalah. “Rain Hyung,” batin Shin sedih.

Idris yang berniat mengambil PS pun dikejar cepat oleh Yunus yang tidak terima PS tersebut jika dibawa ke rumah Shin.

"Ma! Papa, Ma!" teriak Idris saat Yunus mengejarnya.

Idris dan Yunus saling memperebutkan benda hitam pipih yang memiliki dua stick itu.

Sabiya malah menertawai kondisi tersebut, "Hahaha!"

Laila merasa mukanya tumpah entah kemana-mana saking malunya dengan tingkah Yunus dan Idris. Laila pun memerhatikan Shin yang ada di sebelahnya. "Papa sama I'id bikin malu aja di depan Shin!" pekik Laila dalam hati, seribu kali kesal.

"Aku ada game di rumah kok," ucap Shin yang menghentikan keributan antara Yunus dan Idris.

"Alaaah. Paling game butut!" maki Idris tidak suka menatap Shin.

"I'id!" bentak Laila kesal.

Idris kaget dimarahi Laila. Dia pun jadi kesal dan melemparkan PS ke sofa. "Iya, aku bakal pergi kok dari rumah ini!" balas Idris kesal sambil berjalan cepat menuju ke kamarnya untuk menyiapkan barang-barangnya.

Suasana menjadi suram dan canggung.

Yunus baru menyadari betapa memalukan tingkahnya di depan Shin. Dia pun tersenyum patah dan kembali duduk di sofa dengan gaya mertua elegan.

Shin menyadari kalau sebentar lagi masuk waktu isya. "Pa, Ma, gimana kalau sebelum kami berangkat, kita salat isya berjama'ah dulu?" saran Shin.

"Ayo," ajak Yunus dan Laila dengan penuh senyuman bahagia melihat menantu mereka yang super idaman itu.

Sabiya hanya pasrah dan menurut saja.

**

Pukul 20.00.

Sebuah mobil elegan mengilap berwarna putih sudah tiba di halaman rumah Sabiya. Dari dalam mobil itu keluarlah seorang lelaki paruh baya yang berstatus sebagai sopir pribadi Shin, sebut saja Pak Didi.

"Assalamualaikum, Tuan Shin," sambut Pak Didi ramah yang langsung berpelukan dengan Shin. Dia selalu mengkhawatirkan Tuan Shin-nya jika tidak bisa mengawasi beberapa jam saja.

"Waalaikumsalam," jawab Shin. "Sudah kubilang jangan panggil aku Tuan."

"Aku tidak nyaman menyebut selain 'Tuan', tetap izinkan aku," mohon Pak Didi dengan rasa hormat kepada Shin.

Shin merasa tidak enak karena Pak Didi itu lebih tua darinya. Ya, Pak Didi sudah berumur 45 tahun.

Pak Didi pun dengan semangatnya mengangkut semua barang-barang Sabiya dan Idris untuk dimasukkan ke bagasi.

Yunus dan Laila sudah berdiri di depan teras sambil melambaikan tangan.

"Id, jangan bikin gaduh, ya. Awas kamu!" omel Laila kepada putranya.

Sementara Sabiya dan Idris langsung saja masuk ke mobil Shin di kursi belakang dengan wajah cemberut.

Pak Didi segera memberi salam pamit kepada orang tuanya Sabiya.

Shin pun mendekati Yunus dan Laila. Tatapannya seakan berkaca-kaca memerhatikan keduanya. "Pa, Ma. Kami berangkat, ya. Ga apa-apa, kan? Rumah ini jadi sepi tanpa Biya dan I'id," ungkap Shin sedih.

Yunus spontan mengacak-acak rambut hitam halus menantunya itu. "Apa yang kamu khawatirkan? Kami ga akan kesepian. Yang penting kamu bisa bersenang-senang dengan Sabiya dan Idris," kata Yunus sambil tersenyum yakin.

"Benar, Shin. Jaga diri kalian baik-baik, ya. Lagian kita masih sama-sama di Jakarta. Kapan-kapan kami akan main ke rumah kamu," jelas Laila yang menenangkan Shin.

Shin tersenyum dan langsung mencium tangan Yunus dan Laila bergantian. Dia merasa beruntung punya mertua yang sangat menyayanginya. "Kalau begitu, aku pamit dulu. Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam," jawab Laila dan Yunus tersenyum bangga menatap Shin.

Shin pun berjalan menuju ke pintu mobilnya yang sudah dibukakan oleh Pak Didi.

"Lihat, makhluk semanis itu apa ga meluluhkan hati Biya?" pikir Laila heran.

"Jangan-jangan... hati Mama yang luluh karena Shin. Ah, Papa cemburu," ledek Yunus yang menatap istrinya dengan sengit.

Laila sepontan mencubit pinggang Yunus menggunakan cubitan kecil hingga membuat Yunus terpekik.

"Aaakkk! Kulit pinggangku!" Yunus meringis sebal.

"Mama cuma ingin Biya bahagia!" ucap Laila yang yakin dengan memilih Shin sebagai menantu.

**

Sepanjang perjalanan, suasana di mobil sungguh canggung.

Idris sepertinya tidak mengerti kondisi. Dia duduk di belakang bersama Sabiya, seharusnya Idris duduk di sebelah Pak sopir agar Shin bisa duduk bersebelahan dengan Kakak perempuannya itu.

Namun, Shin juga diam saja dan tidak mau memperdebatkan itu. Dia memaklumi tingkah Idris yang protect terhadap Sabiya.

Pak Didi pun menggerakkan tangannya untuk menekan tombol multifungsi di dalam mobil. Saat telunjuk Pak Didi menekan lingkaran berwarna hijau di dekat stirnya, keluarlah layar transparan berwarna hijau dan berbentuk kotak yang melayang di udara.

"Woah!" seru Idris yang langsung takjub melihat hal aneh dan keren itu. Namun, dia mencoba kembali tenang untuk jaga imej terhadap Shin.

Berkat layar itu, keadaan di dalam mobil menjadi cukup terang, namun tidak mengganggu penglihatan sang sopir.

"Istriku, mau jalan-jalan dulu atau langsung ke rumah?" tanya Shin lembut, dia menoleh ke belakang menatap Sabiya yang duduk di belakangnya. Kedua mata Shin terlihat berbinar-binar dan seperti penuh cahaya saking indahnya.

Sabiya agak terperanjat saat Shin menyebutnya dengan kata 'istriku'. Bibir Sabiya mengerucut tanda tidak suka dan risi. Dia tidak mau menjawab pertanyaan Shin. Melihat wajah Shin pun dia tidak mau lama-lama.

"Yah, dikacangin! Haha!" ejek Idris senang menertawakan penderitaan Shin.

Sementara Pak Didi berusaha mencairkan suasana. "Kok istrinya Tuan Shin cemberut? Pengantin baru itu biasanya segar dan saling goda, ihiw!" tawa geli Pak Didi.

Wajah Sabiya begitu suram, dia semakin betah menatap ke luar jendela saja. Pemandangan malam lebih menyenangkan baginya dibandingkan harus berhadapan dengan Shin.

Shin mencoba bersabar. Tak dihiraukan berkali-kali oleh Sabiya tidak akan membuatnya menyerah.

Pak Didi pun menyetel lagu yang biasa dia putar dengan cara menyentuh huruf-huruf pada layar melayang yang tersedia.

🎵🎶 (Lagu)

Pak Didi menyetir sambil menggoyang-goyangkan badan bongsornya, tak lupa pula dia menyanyikan liriknya meski tidak terlalu hapal.

Idris langsung menutup telinganya. Dia mendadak terganggu mendengar lagu yang tidak dia kenali itu, sekaligus tidak suka.

Sabiya hanya melirik ke jendela sambil berpangku tangan. Khayalannya hanya tertuju dengan Hamas dan Ella yang tidak akan pernah dia lupakan.

Sementara itu, Shin curi pandang melirik Sabiya melalui celah kursi. Terlihatlah wajah Sabiya yang cantik, namun sedang cemberut menghadap ke jendela. "Kapan aku bisa lihat dia tersenyum lepas di depanku?" gumam Shin dalam hati, penuh harap.

Idris penasaran, dia mencoba menekan layar sentuh yang terpampang di mobil bagian depan. Dia pun memberanikan diri untuk mengganti judul lagu dengan cara mengetiknya cukup cepat. "Keren banget nih mobil, ada alat kayak gini?" puji Idris dalam hati.

Tiba-tiba lagu pun berpindah haluan.

🎵🎶 (Lagu)

Pak Didi yang tadi fokus menyetir pun dibuat kaget karena lagu langsung berubah.

Idris yang kelihatan puas sekarang. "Hoooowooooo!!!" Idris bernyanyi sedikit berteriak hingga membuat Shin dan Pak Didi menutup telinga.

Sabiya malah tertawa gara-gara suara Idris yang super cempreng membuat Shin kewalahan. Mereka berdua memang kakak-adik yang cocok sepaket, sepertinya.

"Apa-apa'an ini?" kata Pak Didi tidak terima. Pak Didi kembali menyetel lagu yang sebelumnya.

Idris tak mau kalah, dia kembali memutar lagu yang dia nyanyikan tadi.

Ya, perdebatan pun semakin memanas antara Idris dan Pak Didi.

"Cintai lagu anak bangsa dong! Daripada lagu yang tadi, kagak jelas!" kata Idris ketus dan kesal.

"Hei!" Pak Didi protes. "Jangan menghina karya yang lain dong. Ini juga mobil Tuan Shin-ku, jangan berteriak sesuka hati," lanjut Pak Didi kesal.

"Oke, aku mau lompat aja dari mobil!" amuk Idris tak kalah kesal dan ngambek berlebihan.

Shin mengurut-urut keningnya karena pusing mendengar keributan antara sopir dan adik iparnya.

Sabiya memukul pelan lengan Idris, "Apa, sih, Id?! Jangan gitu, ah."

"Pak sopir ini bikin kesal, Kak! Aku mau lagu yang aku suka!" protes Idris yang sengaja memanas-manasi suasana.

Kini giliran Shin yang menekan tombol putar lagu.

Surah Al-Waqi'ah…

بِسْمِ اللّٰهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ

اِذَا وَقَعَتِ الْوَاقِعَةُۙ

لَيْسَ لِوَقْعَتِهَا كَاذِبَةٌ ۘ

خَافِضَةٌ رَّافِعَةٌ

 

Mendengar lantunan indah ayat Alqur'an tersebut, mereka semua langsung berhenti berdebat, ingat dosa. Tidak ada yang berani mengganti murottal itu.

"Astaghfirullah...," ucap Pak Didi yang menyesal sudah ribut.

Shin menahan tawa kecilnya melihat semuanya diam tak berkutik.

**

Setelah beberapa puluh menit menempuh perjalanan, mereka pun tiba di sebuah pekarangan yang amat luas, tampaklah rumah besar dominan berwarna ungu. Rumah itu terlihat sangat bersinar di malam hari, menakjubkan.

"Selamat datang di istana baru!" seru Pak Didi kepada Sabiya dan Idris yang sedang terperangah melihat rumah yang amat besar dan indah.

Shin berniat menggandeng tangan Sabiya. Namun, dengan gerakan cepat Sabiya langsung merangkul lengan Idris dengan wajah takut menatap Shin.

"Yuk, masuk," ajak Shin dengan suara beratnya, namun lembut menenangkan.

Tak lama kemudian, ada seorang wanita paruh baya yang bertubuh agak gemuk sudah berdiri di depan pintu sambil tersenyum menyambut kedatangan Shin dan yang lainnya. Dia adalah asisten rumah tangga yang bekerja di rumah Shin, berumur 42 tahun, istri dari Pak Didi, sebut saja Bi Susan.

"Nyonya Sabiya, masya Allah dari dekat semakin cantik!" puji Bi Susan dengan suara lembutnya.

Sabiya jadi malu, dia spontan membalas senyuman Bi Susan yang tulus itu.

Setelah semua barang diangkut oleh Pak Didi, Sabiya dan Idris diberi tahu Shin tentang kamar mereka di rumah ini.

"I'id, kamarmu yang itu, ya," jelas Shin menunjuk ke ruangan yang cukup besar dengan pintu berwarna ungu muda.

Idris hanya mengangguk malas. Namun, semangatnya langsung terisi saat melihat ada sebuah layar komputer besar yang diduga sebagai tempat bermain game. "Woah! Ini bisa untuk main?" tanya Idris antusias.

"Tentu, ada banyak game di sana," jawab Shin tersenyum dan mempersilahkan Idris untuk menyentuh benda itu.

Idris benar-benar heboh dan tidak memedulikan lagi lingkungan sekitarnya karena sudah tertawan game.

"Aduh, gemasnya lihat pengantin baru," goda Bi Susan malu-malu melihat Sabiya dan Shin yang begitu serasi.

"Bu, jangan goda mereka terus. Mereka malu, tuh," tambah Pak Didi jahil.

Ya, Shin merasa sangat malu sekaligus senang. Dia pun sudah berani menggenggam tangan Sabiya sekarang.

Sabiya sungguh masih belum terbiasa. Setiap Shin menyentuh tangannya, dia hampir terpekik. Namun, Sabiya berusaha menahannya karena tidak enak di depan Pak Didi dan Bi Susan.

Shin merasakan tangan Sabiya yang begitu halus dan juga kecil, sangat menggemaskan baginya. "Kita ke kamar, ya," ajak Shin yang sudah menarik Sabiya.

"I'id!" Sabiya memanggil Idris, namun tidak dihiraukan karena adiknya itu sudah gila di depan layar komputer besar tersebut.

Sabiya pun pasrah tangannya ditarik oleh Shin. Namun, hatinya sangat was-was dan takut saat Shin sudah mengajaknya ke kamar.

Mereka berdua menaiki anak tangga berwarna ungu muda menuju ke atas. Sabiya kagum melihat rumah ini karena hampir setiap sisinya berwarna ungu, warna favoritnya. Bagaimana bisa?

Tibalah mereka di sebuah ruangan yang sangat luas, sejuk, dan begitu cerah dengan warna putih berpadu ungu. Ya, itu kamar Shin, sangat rapi dan wangi.

Sabiya masih berdiri di sudut dinding kamar, sedangkan Shin menutup pintu dengan pelan.

Shin merasa tubuhnya sangat lelah, dia pun memilih untuk segera duduk di ranjangnya yang begitu besar dan empuk.

Ada beberapa kelopak bunga mawar yang harum sudah menghiasi ranjang itu. Ya, ini malam pertama, kan?

Sabiya masih bertahan untuk berdiri di sudut dengan wajah pucat dan takut.

"Sini...," ajak Shin dengan wajah malu bersama senyum manisnya. Sebenarnya, Shin begitu gugup karena sudah satu kamar dengan Sabiya, namun dia mencoba stay cool.

Sabiya juga merasa lelah, apalagi hari sudah malam. Ingin sekali dia bebas melakukan apa pun di kamar ini, tetapi nyatanya ada seorang laki-laki yang begitu asing baginya berada satu kamar dengannya sekarang. "Aku ga mau!" bantah Sabiya.

"Biya ga capek? Katanya kakinya pegal, kan?" kata Shin yang santai berbaring di tempat tidur.

Hening. Sabiya benar-benar ingin menangis saja. Siapa laki-laki itu? Secepat inikah sudah menjadi suaminya? Sabiya tidak terima.

Shin menyadari kalau dia dan Sabiya masih sangat canggung. Dia pun meletakkan bantal guling di tengah-tengah untuk membatasi tempat untuknya dan Sabiya. "Ini aku kasih batas. Aku ga akan macam-macam," jelas Shin.

Sabiya menghela napas berat. Jujur, kakinya sangat pegal dan sakit. Dia ingin segera tidur dan membuka jilbabnya, tetapi Sabiya tidak memiliki keberanian.

Deg. Deg. Deg.

Sabiya mulai memberanikan diri untuk mendekati tempat tidur. Namun, dia tidak ada niat untuk melepas jilbabnya.

Shin mencoba mengontrol napas aneh yang menderu sejak tadi. Dia merasa hampir gila melihat Sabiya begitu imut berjalan mendekati tempat tidur. Dia membatin, "Sungguh, hati ini ga bisa bohong. Melihat ada berlian di depan mata, membuatku ingin memiliki dan merawatnya setiap waktu."

Sabiya sudah berbaring di sebelah Shin, tentu dengan jarak yang masih jauh dan ada bantal guling sebagai pembatas.

"Ganti baju tidur dulu, yuk," ajak Shin.

Sabiya mulai takut dan merasa risi saat Shin berbicara tentang baju. "Aku tidur tetap pakai baju ini!" ketus Sabiya.

"Baju yang kamu pakai sekarang itu ga nyaman dipakai tidur," gumam Shin yang serius memberi saran.

"Aku ga ma-u," ucap Sabiya gemetar dan ingin menangis. Apa yang dia takutkan? Dia benar-benar menganggap Shin orang jahat yang akan menghancurkan hidupnya.

Shin dapat melihat dengan jelas ada setitik air mata di ujung kelopak mata Sabiya yang indah. Dia menjadi sakit melihatnya. "Biya," panggil Shin pelan. Shin berhasil menghapus air mata hangat di dekat mata istrinya itu.

Bibir Sabiya sudah melengkung ke bawah dengan mata yang semakin berair. Tubuhnya gemetaran hebat saat merasakan tangan besar Shin menyentuh kulit pipinya.

Shin dengan segenap keberanian pun menarik tangan Sabiya hingga gadis itu jatuh lagi ke pelukannya. Sekarang Shin merasakan kepala Sabiya sudah bersandar di dada bidangnya.

Mata Sabiya membulat besar antara terkejut dan takut dengan apa yang terjadi. Shin sudah berani bertindak lebih jauh baginya. Pelukan yang sempat terjadi di rumahnya tadi memang tak terlalu Sabiya gubris karena masih merasa aman berada di rumah orang tuanya. Namun, untuk pelukan yang terjadi saat ini, Sabiya merasa sangat terancam seperti akan dijadikan tawanan oleh Shin.

"JANGAN BERANI MENYENTUHKU DENGAN NIAT KOTORMU ITU!" teriak Sabiya melengking dan mendorong tubuh Shin dengan kasar.

Plaaakkk!

*

Bersambung…

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status