"Siap kapten!" sahut Fabio senyum semangat sembari hormat ke arah Zia.
"Ya udah, lo duduknya disana dong!" menunjuk kursi yang ada di depannya, "Jangan deket-deket gue juga!" ucap Zia mendorong lembut pundak Fabio sembari tersenyum tipis di wajahnya.
"Iya-iya." kata Fabio tersenyum dan berjalan ke arah kursi yang telah di tunjuk Zia tadi.
Akhirnya makanan yang Lazia tunggu pun datang. Makanan yang sama dengan makanan yang Fabio makan tadi. Lazia mengesekan kedua tangannya siap-siap untuk menyantap lahap makanan yang ada di depannya, namaun niat Lazia terhenti saat melihat Fabio yang dari tadi sedang memperhatikannya.
"Lo mau?" tanya Zia dengan raut muka datar.
"Enggak" mengelekan kepalanya, "Kan, gue udah makan tadi," jawab Fabio
"Oh." ucap Zia.
Tak memikir lama lagi, Lazia langsung menyantap hidangan itu dengan lahapnya. Apa lagi Lazia benar-benar lapar karena jam telah menunjukan pukul 19:13 yang biasanya Lazia makan malam jam 18:03.
Lazia sesekali melirik ke arah Fabio yang sedang tersenyum duduk di bangkunya.
"Lo kenapa si lihatin gue kaya gitu?" tanya Zia sedikit menaikan intonasi.
"Emangnya kenapa?" tanya balik Fabio.
"Gue enggak suka!"
"Atau jangan-jangan lo mau, ya!" ujar Zia merayu Fabio.
"Bukan itu, gue beneran udah kenyang kok. Gue cuman heran aja, lo itu lapar? Atau doyan?!" sahut Fabio terkekeh.
Muka Lazia memerah mendengar perkataan Fabio tadi, menundukan kepalanya sejenak lalu kembali melihat ke arah Fabio dengan raut muka menantang.
"Enggak!"
"Gue enggak lapar. Apala lagi doyan, sama makanan murahan di pinggir jalan ini"
"Gue cuman enggak tau aja harus ngapain disini, makanya gue terpaksa makan!" kata Zia dengan nada datar dan memajukan makanan yang tadi dia makan ke tengah-tengah meja lalu mengambil selembar tisu.
"Oh gitu!" ucap Fabio tersenyum sembari mengakguk-ngakgukan kepalanya.
"Udah malam, gue pengen pulang." ujar Zia mengambil tas kecilnya dan beranjak keluar dari rumah makan.
Di luar, tepatnya di depan rumah makan. Lazia menunggu Fabio yang telah lima belas menit lamanya Fabio tidak keluar dari rumah makan. Melihat tangannya sembari melihat kendaraan lalulalang di depannya.
Dan akhirnya Fabio keluar dari rumah makan itu dengan kantong keresek berukuran sedang di tangannya.
"Lama banget, si!" ucap Zia dengan nada tinggi.
"Maaf, soalnya gue beli makanan. Buat om Sopandi!" kata Fabio tersenyum sembari mengakat keresek di tangannya.
"Itu?" tanya Zia menunjuk kantong keresek.
"Iya," jawab Fabio.
Menghembuskan nafas lembut, "Ya udah cepat, order taxi lagi!" ujar Zia.
"Taxi? Duit gue udah habis," sahut Fabio terkekeh.
"Apa lo bilang?! Habis?" dengan nada tinggi.
"Enggak, gue enggak pengen pulang jalan kaki!" ucap Zia sembari mempalingkan wajahnya dari Fabio.
"Ya udah, tapi gue jalan kaki aja. Itung-itung olah raga!" kata Fabio tersenyum sembari berjalan melewati Zia.
"Gue males banget jalan kaki. Dompet gue juga ketinggalan lagi" batin Zia
"Kenapa si ayah seneng banget kalau gue deket-deket sama cowo bereksek itu!" batin Zia sembari meledek dari jauh seperti seorang anak kecil.
"Gue nyakin banget lo ada rasa sama gue, enggak penting gue tau sejak kapan dan dimana. Yang pasti gue enggak akan pernah suka sama lo, apa lagi harus cinta! Enggak akan pernah!" menaikan sedikit intonasi suaranya."Jadi mulai sekarang lo harus jauhin gue, sebelum lo nanti sakit hati. Ok!" ujar Zia dan kembali berjalan meninggalkan Fabio yang sedang berdiri."Gue akan kasih tau lo, kalau cinta itu bukan sekedar kalimat!" gumang Fabio tersenyum lalu berjalan mengejar Zia.Lazia akhirnya tiba dirumahnya, setelah empat puluh lima menit lamanya Lazia berjalan. Habis sudah penderita pada kaki betisnya. Saat itu sudah ada Sopandi, ayah Lazia yang sedang duduk di kursi teras rumahnya dengan ditemani secangkir kopi."Akhirnya sampai juga!" teriak Zia ke udara lalu berjalan masuk. Sopandi hanya menggeleng-geleng kepalanya sembari tersenyum melihat tingkah laku putri bungsunya itu."Kaya ya Lazia seneng banget tuh na, Fabio!" ucap Sopandi tersenyum."Iya om
"Baik, sebutkan nama kalian satu persatu!" ujar bu Guru."Fabio Zulkar, IPS 1," ucap Fabio tersenyum.Menulis nama Fabio, "Kamu anak baru itu 'kan," kata bu Guru."Iyah bu!" celetuk Fabio tersenyum."Ganteng-ganteng kok enggak ada kedisiplinan," gumang bu Guru pelan."Selanjutnya!""Lazialita Hidayanti, IPA 2," ucap ZiaMenulis nama Lazia, "Selanjutnya!" kata bu Guru."Dicky Afrizal, kelas unggulan IPA 1," ucap Dicky."Kok kamu bisa terlambat, si? Pantesan aja ibu enggak lihat kamu di lapangan basket!" balas bu Guru lembut sembari menulis nama Dicky."Ya udah, sekarang kalian boleh masuk ke kelas kaliang masing-masing""Ingat! Langsung masuk kelas." tegas bu Guru.Mereka bertiga langsung berjalan masuk ke dalam kelas mereka masing-masing.Lazia berjalan mengendap-ngendap saat dirinya satu meter di depan pintu kelasnya. Lazia berdiri melihat kelasnya dari jendela, yang ternyata sedang tidak ada guru. Tapi,
Kemudian pemilik katin datang kearah mereka sembari membawakan sebuah jus. Lalu meletakannya di meja dekat dengan Dicky."Makasih, bu!" ucap Dicky tersenyum."Iya sama-sama den," sahut pemilik kantin dan berjalan pergi."Lo mau?" tanya Dicky kepada Zia.Mengagukan kepala, "Boleh!" jawab Zia tersenyum."Bu!" ujar Dicky memanggil pemilik kantin."Iya ada apa den?" tanya pemilik kantin."Pesan satu lagi bu!" jawab Dicky sembari mengakat jari telunjuknya."Oh siap den." balas pemilik kantin dan beranjak pergi.. . ."Ini minumannya!" ujar pemilik kantin sembari meletakan jus di meja lalu beranjak pergi."Makasih bu!" sahut Zia lalu meminum minumanya menggunakan sedotan."Oh iya, teman kamu kok lama banget ya," kata Zia."Gue juga enggak tau," ucap Dicky.Tak!Suara keras dari meja mereka saat Fabio memukul kuat meja itu, datang tersenyum sembari membawa buku dan meletakannya di meja. Benar-benar me
Perjalanan mereka terhenti saat melihat di lapangan sedang ada tanding basket. Dan tentu saja Lazia berhenti karena melihat ada Dicky disana."Kita kesana, yuk!" ujar Zia sembari memegang tangan Dewi."Iya-iya." sahut Dewi.Mereka berdiri di pinggir lapangan, sembari menyemangati Dicky. Dicky malah terganggu oleh suara bising mereka. Hingga Fabio datang menghampiri Lazia dan berdiri disampingnya."Lo ngapain si ngikutin gue terus?" tanya Zia."Idih ... Siapa juga yang ngikutin lo," jawab Fabio sembari melihat kelapangan."Gue kerjain lo," batin Zia sembari tersenyum."Ayo Dicky semangat!" teriak Dewi."Hey," memanggil Fabio."Hey! Hello ..." Fabio tetap tidak menyautnya."Hey Fabio cowo aneh!" teriak Lazia kesal lalu menginjak kaki Fabio."Aw ... Sakit tau!" balas Fabio sembari memegang kakinya."Habisnya dari tadi gue manggil lo tau enggak!" dengan nada tinggi."Tapi, lupain aja. Gue punya tantangan buat
Selesai makan, Lazia beranjak pergi ke ruang tamu untuk menonton drama kesukaannya. Pukul 19:11, saat-saat dimana Lazia sedang menghayati drama yang berada di televisi tersebut. Tiba-tiba lamunan Lazia tentang drama itu buyar, setelah ketukan pintu kuat terdengar jelas dari luar.Tok, tok..."Iya-iya tunggu""Siapa si malam-malam gini datang kerumah gue." gumam Zia sembari berjalan kearah pintu.Klek!Ternyata itu ketukan pintu dari Fabio. Dengan menggunakan sarung dan juga membawa sebuah buku sembari tersenyum lebar."Aaa!" teriak Zia kaget lalu menutup kembali pintu itu."Loh kok malah ditutup lagi? Bukain dong pintunya""Hello!" ucap Fabio lalu mengetuk pintu."Gawat ... Itu 'kan Fabio. Dia pasti mau nagih hutang sama gue," gumam Zia ketakutan sembari bersandar di pintu.Tok, tok!"Iya-iya," teriak Zia.Klek!"Hy!" sapa Fabio tersenyum sembari melambaikan tangan lalu berjalan masuk kedalam.
"Cie ... Cie, cie, cie. Lo lihatin gue!" ujar Zia lalu tertawa."Udah napa! Enggak cape apa ketawa mulu," rengek Fabio."Enggak," balas Zia tersenyum."Tugas lo itu ngerjain pr gue, bukannya ngetawain gie," keluh Fabio."Iya-iya ...""Cuma ngomong itu aja, mukanya kaya yang pengen nangis," gumam Zia pelan sembari tersenyum lalu kembali mengejarkan tugas Fabio.Fabio melihat Lazia kembali mengerjakan tugasnya. Menghembuskan nafas kuat, sembari melap keringatnya. Tiga puluh menit Lazia mengejarkan tugasnya, tiba-tiba Fabio memanggilnya."Zia tolong ambilin minum dong," ujar Fabio sembari menonton televisi."Ayo pukul, pukul lagi," kata Fabio lalu loncat pelan di sofa sembari menonton televisi."Apa lo bilang? Ambilin minum?""Lo pikir gue pembantu lo apa?!" bentak Zia sembari melemparkan pulpennya ke meja."Lo lupa gue ini tamu ..." tersenyum."Yang namanya tamu itu raja" melihat ke arah Zia."Cepat ambilin
Lazia terdiam beberapa detik, sebelum ia berteriak."Aaa!"Dan langsung berdiri, walaupun Lazia sempat menginjak tangan Fabio. Mengambil sebuah tisu yang ada di meja lalu melap bibirnya dengan kasar."Tapi Zia. bisa di ulang lagi enggak? Soalnya manisnya cuma sedikit kerasa," ujar Fabio tersenyum sembari duduk dan melihat Lazia sedang sibuk membersihkan bibirnya."Dicky maafin gue!" teriak Zia ke udara."Ciuman pertama gue. Gue kasih sama cowo gila itu," tambah Zia sembari melihat Fabio yang sedang tersenyum. Kemudian kembali melap bibirnya."Lebay banget si lo!" kekeh Fabio sembari tersenyum lalu berdiri."Ini salah lo! Salah lo! Salah ... Lo!" teriak Zia dengan kuat. Sembari mengerakan kedua kakinya di lantai, seperti anak kecil yang sedang merengek."Salah gue?""Bukannya lo sendiri yang nimbuk gue! Udah lo bilang aja, kalau itu emang mau cem-ceman sama gue," balas Fabio tersenyum lalu mengambil bukunya."Dasar gila tau
"Lo letakin aja di meja gue," ucap Zia. Lalu berjalan pergi bersama Dewi."Tapi bentar lagi itu masuk." teriak Wizdan.Benar saja, keluar Lazia dan Dewi dari kelasnya. Tak lama kemudian bel tanda masuk, berdering. Membuat Lazia tidak jadi pergi ke ruang kelas Fabio.Karena Lazia seorang sekertaris. Lazia harus menulis soal pelajaran yang di berikan ibu Olah kepadanya. Walaupun Lazia sedang malas, gara-gara kejadian tadi pagi di rumahnya. Soal demi soal Lazia tulis di papan tulis. Sampai seorang siswa memanggilnya, dia bernama Reyhan."Apa?" jawab Zia."Lo gimana, si? Gue belum selesai, lo udah ngahapus aja," ujar Reyhan tersenyum. Sembari melihat teman-temannya."Hello ...""Siapa suruh lo main-main." sahut Zia. Dan kembali menulis soal.Hari ini semua siswa ribut. Hampir sebagaian tidak ada yang menulis, semua sibuk dengan perkerjaannya. Ada bernyanyi, tidur, berdandan dan sebagainya. Mereka anggap, mereka sedang ada di rumahnya terma