Share

Insecure Membuat Pernikahanku Hancur
Insecure Membuat Pernikahanku Hancur
Penulis: Indah Andeskor

Chapter 1

“Bentar deh,” ucap seorang perempuan sembari mengamati setiap inci kulit dari teman semasa kecilnya. "Kulit kamu sekarang kok dekil banget si?"

Sang empu ikut memperhatikan kondisinya, menatap nanar punggung tangan yang dulu cerah kini berganti kusam tak terawat. "Ya mau gimana lagi? Aku nggak punya waktu buat ngerawat diri."

Kekehan ringan datang dari bibir tebal Sabrina, janda muda yang ditinggal mati oleh sang suami satu tahun lalu. Kecelakaan sebuah mobil dengan truk harus meregang nyawa sang suami dalam perjalanan pulang kerja. "Badan kamu juga gemuk banget, emang nggak takut suami kamu ngelirik perempuan lain?"

Clarisa Steffani sebelumnya tak pernah berpikir akan kemungkinan buruk ketidak nyamanan Adit pada perubahan drastis fisiknya. Setelah hamil dia memang menjadi malas merawat diri, belum lagi pekerjaan rumah yang dia kerjakan tanpa jasa asisten rumah tangga cukup melelahkan. Jemarinya menggeser layar ponsel mencari tangkapan foto saat dirinya masih gadis dulu. Putih, bersih, dan langsing. Berbeda dengan dirinya yang sekarang. Walaupun alasan berat badannya naik karena memang sedang mengandung, namun entah kenapa Sabrina berkata seolah tak menjadikan hal itu sebagai alasan untuk tetap tampil cantik.

"Suami aku nggak pernah protes soal hal ini, ya menurut aku baik-baik aja." Matanya menatap Sabrina mencari pembelaan.

"Baik-baik aja kamu bilang?" tanya Sabrina dengan tangan kanan yang dia taruh di lengan empuk Clarisa. "Laki-kaki nggak pernah jujur ​​kalau kita itu jelek. Tapi, diam-diam mereka nyari yang lebih cantik."

"Ah nggak mungkin Adit kaya gitu!" cerca Clarisa cepat, sambil tersenyum yakin. "Aku yang lebih kenal dia."

“Kalau saran aku sih kamu mending waspada,” ucap Sabrina sambil meraih tasnya di kursi sebelah.

Kedatangan Sabrina yang pindah rumah di sebelahnya tiga bulan lalu memang memberikan suasana baru bagi Clarisa yang selama ini hanya bosan berdiam diri di rumah. Pasalnya Adit Pratama adalah tipe suami yang gila kerja, hanya di hari-hari libur bisa sepenuhnya berada di dalam rumah. Itu juga terkadang masih ada alasan lembur. Dan mungkin saja Sabrina sedikit membuka wawasannya tentang kehidupan seorang istri. "Makasih lo kritikannya tadi. Tapi, emang kayanya aku butuh ngemanjain diri."

"Nah betul, jangan terlalu fokus ngurus rumah. Kerjaan masih berantakan ya santai aja, kalau kamu nggak mau tangan mulus jadi kasar." Sabrina memberikan kecupan singkat di pipi chubby Clarisa, kebiasaan baru ketika dirinya akan pulang.

Clarisa mengangguk saja, walau sebenarnya saran sang sahabat yang terahir tidak terlalu dia setujui. Ibu mertuanya rajin berkunjung satu minggu sekali, dan yang dia lakukan hanyalah menilai setiap hasil dari pekerjaan rumah Clarisa. Meskipun sebenarnya itu sudah menjadi pekerjaan sebagai seorang istri.

"Makasih sudah datang hari ini." Tangan kanan Clarisa melambai setiap saat setelah Sabrina menginjak halaman rumah itu.

Dia bisa saja tak menggubris ucapan Sabrina yang entah mengapa seolah tenggelam di otaknya hingga tak bisa keluar.

Jujur Clarisa mulai merasakan gundah seperti istri-istri lain yang tak menginginkan suami kepincut perempuan lain. Meski pada dasarnya istri sah tak pernah salah, namun di kalangan masyarakat seolah buta akan hal itu. Apalagi jika keadaan istri sah jauh lebih buruk dari si pelakor.

"Jelas saja suami selingkuh, orang istrinya jelek!"

Kalimat menyakitkan seperti itu seolah-olah lebih dibenarkan daripada menilik fakta bahwa seorang penggoda tetaplah bersalah, mau dia secantik apapun itu.

Kakinya melangkah menuju kamar tempat di mana dirinya, dan sang suami beristirahat. Tempat favorit Adit ketika ingin bermesraan dengan dirinya sendiri. Yang kini menjadi tempat untuk Clarisa merenungkan nasib.

"Ah bener kata Sabrina, muka aku jauh dari kata cantik. Lebar, dekil," eluhnya tak lepas memandangi diri dari pantulan kaca rias.

Matanya melirik ke tempat di mana beberapa peralatan make up yang dulu tak pernah libur dia jamah kini berdebu. Entah sejak kapan bibir tipisnya sudah tak pernah terpoles lipstik, serta beberapa jenis foundation yang mungkin sudah kadarluarsa tak tersentuh. "Mau cantik, tapi aku malas dandan sekarang."

Helaan nafas pasrah membawa tubuhnya ditutupi ke atas. Di jam-jam lepas sarapan dengan mulut seolah gemas ingin menyantap sesuatu lagi. Sangat bukan Clarisa yang dulu. Menjaga porsi makan sudah menjadi gaya hidupnya sebelum menikah sampai dokter menyatakan ada nyawa di dalam perutnya enam bulan lalu.

Baru ingin mengangkat ponsel mencari referensi makanan online, matanya mendelik kala mendapati nada getar pesan masuk dari sang mertua.

Dit, minggu depan Mamah butuh teman buat ke acara kondangan. Tapi, Mamah nggak mau ngajak istri kamu. Dekil, nanti malu-maluin lagi.

Setetes air mencelos dari pelupuk mata Clarissa. Mungkin jika orang lain yang mencemooh dirinya, masih bisa diterima. Tapi, kalau urusan mertua batinnya tak mudah menerima.

Sengajakah mertuanya mengirim pesan yang seharusnya ditujukan pada Adit itu? Seolah menyindir agar dirinya tahu malu.

"Ngajak perang mulut eh?"

Jemarinya asyik mengetik beberapa kalimat untuk membalas pesan si mertua.

Kalau gitu Mamah berangkat sendiri aja, kenapa repot-repot cari teman?

Menunggu balasan mertuanya yang tak kunjung masuk, Clarissa sebal juga. Atensinya pada layar ponsel teralih menuju suara derap langkah di dalam kamar.

"Sayang?" panggil Adit.

Ternyata pria itu pulang lebih awal. Merentangkan kedua tangannya seolah meminta agar Clarissa memberi sebuah pelukan. Namun, perempuan itu justru memasang wajah jutek.

"Kenapa?"

"Ibu kamu tuh, ngatain aku dekil!"

Mendengar aduan Clarissa membuat Adit menghela nafas kasar. Tangannya kembali berusaha memeluk sang istri, yang kali ini diterima setengah terpaksa oleh Clarissa.

"Maafin mamah ya?"

Clarissa seketika menepis pelukan Adit. "Maaf?"

"Iya," jawab Adit polos.

Dengan menahan dongkol Clarissa berjalan menuju ranjang. "Nggak! Aku nggak akan maafin, sakit hati aku!"

Masih sabar Adit berusaha merayu. "Iya, aku tahu. Tapi, nggak usah diambil hati juga. Kalau menurut aku kamu masih cantik kaya dulu kok."

"Bohong!" Mata Clarissa melotot. "Kamu ngomong gitu biar aku nggak marah sama mamah, kan?"

Adit menggeleng sembari terkekeh. "Nggak lah, emang kamu nggak berubah. Tetap cantik."

Meski ragu Clarissa memilih percaya saja. Toh benar kata Sabrina, kalau Adit tak mungkin mengatakan yang sejujurnya.

"Hari ini aku nggak beli makanan, kamu makan di rumah mamah aja."

Rajukan sang istri bagai himpitan batu besar di dada Adit. "Kita makan di luar aja, berdua."

"Sebentar lagi juga mamah pasti telfon kamu buat makan di sana. Udah lah, aku malas kalau ujung-ujungnya harus makan sendiri lagi."

Adit mendekat. "Kamu 'kan bisa ikut makan di rumah mamah juga."

"Emang aku pernah diajak?"

Pertanyaan itu membuat Adit bungkam.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status