Setelah suasana sedikit tenang, Rafasya menoleh ke arah Kania, Nadira, dan Adrian.
“Bagaimana kalau sekarang kita langsung belanja keperluan pendakian?” usulnya dengan semangat.Ia lalu menambahkan, “Kebetulan aku tahu ada toko perlengkapan outdoor yang bagus, lengkap, dan barangnya juga berkualitas.”Nadira dan Adrian sempat saling pandang. “Sekarang?” tanya Nadira, sedikit terkejut.“Ya, kenapa nggak?” Rafasya tersenyum. “Lagipula, biar nggak mendadak nanti. Dan tenang kalian berdua ambil saja semua yang dibutuhkan. Aku yang bayar.”Nadira dan Adrian spontan menggeleng. “Nggak usah, Raf, nggak enak…” ujar Adrian cepat.Namun Rafasya terkekeh kecil, nada suaranya santai dan sedikit menggoda. “Ah, sudah, nggak usah sungkan. Aku ini anak tunggal keluarga kaya raya sesekali traktir temen-temen istriku nggak apa-apa, kan? Bebas-bebas aja,” candanya sambil mengangkat bahu.Kania hanya diam mendengarkan, matanya menatap RafasHasil tes masuk SMA Internasional baru akan diumumkan besok pagi. Tapi malam ini, Nayaka nyaris tak bisa memejamkan matanya. Gelisah, cemas, dan rasa takut bercampur jadi satu.Di dalam kamar yang ia tempati bersama Narendra, Nayaka beberapa kali membolak-balik badannya di ranjang. Tapi setiap kali ia melirik ke sisi lain, Narendra tampak tenang duduk di kursi dekat jendela, memegang kuas dan palet warna, melukis dalam diam.“Kenapa sih bisa tidur nyenyak banget, Kak? Aku ngerasa kayak mau ikut perang besok,” keluh Nayaka sambil menatap langit-langit.Narendra tidak langsung menjawab. Ia hanya meletakkan kuasnya, lalu berbalik. Dengan ekspresi datar dan nada suara yang begitu datar pula, ia berkata, “Yang ikut tes kamu, yang panik malah Mama sama Papa. Kamu kebanyakan gaya kayak mau syuting FTV.”“Wah, Kakak tega,” Nayaka meringis, tapi cepat-cepat bangkit dan mendekat saat melihat lukisan yang dikerjakan kakaknya.Di atas kanvas, tampak dua gadis kecil berambut panjang berdiri berdam
Hari-hari di rumah Kania berubah menjadi ruang ujian tak resmi. Narendra, dengan keseriusan khas tentara muda, selalu menantang adiknya dengan soal-soal yang sulit—bahkan di luar standar ujian SMA internasional."Nayaka, ini soal logika numerik. Lima menit," ucap Narendra sambil meletakkan kertas di meja.Nayaka mendecak pelan, rambutnya sudah acak-acakkan, dan pensilnya pun hampir digigit-gigit karena frustrasi. "Mas, ini susah banget. Aku ini mau masuk SMA, bukan akademi militer!"Narendra hanya tertawa kecil. "Justru itu. Kalau kamu bisa ngelewatin soal dari aku, ujian apa pun bakal terasa seperti main game."Walau terkadang nyaris menyerah, Nayaka tetap bertahan. Karena baginya, bukan soal-soalnya yang jadi motivasi—melainkan kebersamaan. Sejak kecil ia selalu mengagumi sosok Mas Rendra yang tenang, cerdas, dan penuh wibawa. Kini, mereka dekat. Lebih dekat dari yang pernah ia bayangkan.Suatu malam, keluarga besar berkumpul di meja makan panjang rumah mereka. Aroma makanan rumahan
10 Tahun BerlaluWaktu terus berjalan seakan mengikis jejak luka, tapi tidak menghapusnya.Narendra kini telah tumbuh menjadi seorang lelaki muda yang rupawan, tinggi semampai, wajahnya teduh namun dingin, seperti menyimpan ribuan kisah luka di balik tatapannya yang tajam. Hari itu, ia resmi lulus dari SMA, mengenakan jas abu-abu, dasi rapi, dan senyum tipis yang hanya muncul sesekali.Namun meski digilai oleh banyak gadis di sekolah, tak ada satu pun yang berhasil menembus hatinya. Hanya tiga perempuan yang bisa mendekatinya tanpa membuatnya menjauh: Kania, ibu yang telah melahirkan dan membesarkannya dalam lautan duka dan kekuatan; Bu Ria, nenek yang tak pernah berhenti berdoa untuk ketenangan keluarga itu; dan Bu Susi, sosok yang selalu hadir sebagai peneduh dalam setiap badai.Hari kelulusan itu harusnya menjadi momen bahagia, namun hati Narendra terasa hampa. Ia berdiri di tengah kerumunan teman-temannya yang bersorak, namun pikirannya terbang jauh."Seandainya Nayara dan Nazeera
Rafasya kembali mengepakkan sayapnya. Setelah keterpurukan panjang yang hampir menghancurkan segalanya, ia kini bangkit lebih tinggi—membawa bisnis parfumnya menembus pasar internasional.Ia tak hanya menjual wangi. Ia membawa cerita, luka, dan cinta dalam setiap botol parfum yang ia ciptakan.Namun di balik senyum dan setelan jas mewahnya dalam setiap peluncuran cabang di luar negeri, Rafasya menyimpan duka yang tak pernah usai. Ia selalu membawa satu benda yang tidak pernah absen dalam setiap perjalanannya: sebuah bingkai foto kecil berisi gambar si kembar—Rosa dan Risa.Di atas podium, saat ia memperkenalkan produk baru, foto itu selalu terpajang di meja. Dalam wawancara, ia menyebut kedua putrinya sebagai inspirasi utama.“Parfum ini adalah tentang memori. Tentang aroma yang menuntun kita pulang. Saya menciptakannya sambil berharap, semoga aroma ini bisa membawa anak-anak saya kembali.”Semua orang terpukau. Mereka mengira itu hanya sekadar metafora bisnis. Tapi bagi Rafasya, itu
Bu Susi duduk di sisi tempat tidur, menatap wajah Kania yang kosong. Ia menghela napas panjang, lalu menggenggam tangan perempuan itu dengan lembut."Kania, ibu tahu kamu hancur. Tapi kamu masih punya Narendra dan Nayaka. Mereka butuh kamu. Mereka memerlukan kasih sayangmu. Kalau kamu terus begini, siapa yang akan menjadi pelindung mereka?"Suara Bu Susi serak, dirinya sangat mengetahui bagaimana hati Sang Putri sekarang bagaimana jiwanya terguncang.Kania masih mematung. Tapi matanya perlahan menoleh, dan di ambang pintu, ia melihat dua sosok kecil berdiri. Narendra dan Nayaka, menatapnya dengan tatapan yang polos namun penuh luka. Luka karena kehilangan ibunya meski tubuhnya masih ada.Mata Kania mulai berkaca-kaca. Tangannya yang selama ini hanya menggenggam selimut, perlahan terangkat, terbuka. Isyarat sederhana—namun sangat berarti.Narendra menggenggam tangan adiknya, dan mereka melangkah perlahan. Tak ada suara. Hanya langkah kaki kecil mereka mendekat. Lalu memeluk ibunya. Era
Pak Haikal dan Pak Burhan menatap penuh kekhawatiran dari kejauhan. Mereka menyaksikan sendiri bagaimana Rafasya perlahan-lahan hancur, tenggelam dalam lautan keputusasaan. Wajahnya lusuh, matanya cekung, dan tubuhnya jauh dari pria tegar yang dulu mereka kenal. Rafasya bukan lagi ayah yang kuat atau suami penuh semangat. Ia kini hanyalah sosok yang nyaris patah, kehilangan arah karena kehilangan anak-anaknya.Pencarian Nayara dan Nazeera yang terus-menerus, tak henti-hentinya, bahkan hingga ke luar negeri, telah menguras segalanya—waktu, tenaga, bahkan dana perusahaan. Beberapa investor menarik diri. Perusahaan yang dibangun dari nol mulai retak. Dan itu membuat Pak Haikal, ayah tiri Rafasya, serta Pak Burhan, ayah mertua sekaligus ayah dari Kania, merasa cemas."Apa kamu nggak sadar, Raf?" tegur Pak Haikal, suaranya tajam tapi penuh kekhawatiran. "Kalau perusahaan ini runtuh, kalau kamu jatuh miskin, bagaimana kamu mau terus mencari Nayara dan Nazeera? Bagaimana kamu biayai sekolah