Setelah hampir empat bulan menjalani program kehamilan dengan penuh kesabaran dan harapan, akhirnya doa mereka terkabul. Kania dinyatakan positif hamil.Awalnya ia hanya merasa sedikit mual dan lelah, namun karena jadwal menstruasinya juga telat, Kania memutuskan untuk melakukan tes kehamilan di pagi hari tanpa memberitahu siapa pun. Saat dua garis merah muncul jelas di alat tes tersebut, Kania terdiam cukup lama. Tangannya gemetar, matanya berkaca-kaca."Ya Allah, beneran?" bisiknya pelan.Dengan langkah perlahan, ia menghampiri kamar tidur, lalu menyelipkan alat tes itu ke dalam tangan Rafasya yang masih tertidur.Rafasya terbangun dengan dahi mengerut, menatap benda itu, lalu menatap wajah Kania yang kini menitikkan air mata haru."Ini dua garis?" Rafasya duduk, lalu menatap Kania dalam-dalam. "Kamu hamil?"Kania mengangguk pelan, lalu langsung dipeluk erat oleh sang suami."Alhamdulillah ... masya Allah, kamu luar biasa," bisik Rafasya, tak mampu menyembunyikan kebahagiaan dan ras
Setelah memastikan lampu kamar Nayaka dan Narendra dimatikan dan kedua anaknya sudah terlelap, Kania perlahan masuk ke kamarnya. Ia melihat Rafasya yang sudah duduk bersandar di ranjang sambil membaca laporan kerja di tablet. Dengan langkah pelan, Kania duduk di sampingnya dan menyandarkan kepalanya di bahu suaminya.“Aku pengin ngomong sesuatu,” bisik Kania pelan.Rafasya mematikan layar tabletnya, lalu menoleh menatap wajah istrinya yang tampak cemas. “Tentang apa?”“Tentang Narendra,” jawab Kania pelan. “Kamu nggak merasa aneh? Dia terlalu dewasa untuk anak seusianya. Bukan cuma soal kepintarannya, tapi sikapnya. Dingin, tenang, seperti tidak menyisakan ruang untuk menjadi anak kecil.”Rafasya tertawa ringan. “Kamu lupa kalau kamu juga spesialis dokter yang cerdas, rasanya wajar kalau Narendra pintar.”Kania menggeleng lemah. “Aku bukan bicara soal kepintaran, Fasya. Aku bicara tentang dunianya. Tentang bagaimana dia lebih suka duduk membaca buku sejarah daripada bermain bola. Tent
Sore hari yang cerah, pintu gerbang rumah besar keluarga Rafasya dan Kania terbuka perlahan.Narendra pulang sekolah.Tubuh kecilnya yang tegap, seragam taman kanak-kanak internasional yang sudah disetrika rapi, dan wajah tanpa ekspresi sedikit pun—sungguh seperti miniatur Rafasya versi 6 tahun. Ia turun dari mobil antar-jemput dengan tenang, ransel di punggungnya tak bergoyang, langkah kakinya lurus lurus saja seperti mau masuk rapat penting.Tapi yang menyambutnya di halaman rumah.Tiga nenek-nenek super lebay."CUCUKU PULAAAANG!!!" teriak Tante Vita sambil membuka kedua tangannya lebar-lebar seolah Narendra adalah pahlawan dari peperangan."Narendra sayaaang! Nenek sudah goreng nugget spesial!" Bu Ria memegang kipas sambil setengah berlari mendekat."Mana pelukannya? Cium dulu nenek Susi, ayo! Biar semangatnya nambah lima puluh persen!" Bu Susi sudah pasang gaya setengah jongkok seperti kiper mau tangkap bola.Narendra berhenti. Ia menatap ketiga neneknya bergantian. Tanpa ekspresi
Keesokan paginya.Karena ketiga nenek super mereka sedang pergi ke acara reuni lansia—yang katanya “penting untuk menjaga eksistensi”—maka pagi itu rumah terasa berbeda. Sunyi. Sepi. Dan kacau.Kania yang biasanya tinggal memandangi dengan tenang sekarang berlari-lari di antara dapur dan ruang makan, sambil membawa roti panggang gosong dan botol susu yang belum ditutup.Rafasya masih setengah sadar duduk di meja makan, kemeja masih setengah dikenakan, dasi masih tergantung di telinga.“Kenapa rumah kayak abis kena gempa, ya?”Di sisi meja makan, Nayaka masih duduk bersila di kursinya, menolak makan nasi.“Aku mau telur yang bentuknya love kayak buatan nenek!” rengeknya.Kania sudah mau melempar panci kecil, tapi sebelum itu terjadi ....Narendra melangkah dengan elegan. Pakai dasi kecil TK-nya, rambut klimis, dan ekspresi serius seperti calon CEO.“Nayaka, makan sekarang. Kamu tahu nggak, nutrisi pagi itu penting buat otak dan tubuh.”“Nggak mau!”“Kalau kamu nggak makan, aku nggak ma
Malam itu, suasana ruang makan keluarga benar-benar ramai. Acara makan malam keluarga besar menjadi ajang kumpul seluruh generasi—mulai dari Pak Haikal, Pak Hengky, ketiga nenek-nenek keren (Bu Ria, Bu Susi, dan Tante Vita), hingga Rafasya, Kania, dan kedua anak mereka, Narendra dan Nayaka, yang sedang sibuk bertengkar rebutan sendok warna biru.Di tengah riuhnya suara sendok, tawa, dan ocehan Nayaka yang tak pernah ada jeda, tiba-tiba Bu Susi bersuara nyaring:"Sudahlah, Kania … kamu itu harus hamil lagi."Kania yang sedang menyuapi Nayaka langsung terbatuk. Rafasya hampir tersedak air putih. Semua mata tertuju pada Bu Susi."Iya betul!" sahut Tante Vita, langsung berdiri sambil mengangkat tangan seperti sedang rapat resmi."Anak ketiga adalah solusi terbaik! Biar kami bertiga ini nggak rebutan jaga cucu terus. Kan repot, tiga nenek satu jadwal jaga!"Bu Ria pun ikut nimbrung, menambahkan dengan nada serius layaknya sedang menyampaikan keputusan nasional."Aku sampai harus pasang rem
Tiga tahun telah berlalu.Waktu berjalan cepat. Kini Narendra sudah tumbuh menjadi bocah kecil yang cerdas dan tampan—meski tetap dengan ekspresi dingin seperti ayahnya, Rafasya. Hari ini adalah hari pertama Narendra masuk Taman Kanak-Kanak Internasional, dan suasana rumah pagi itu benar-benar seperti akan menghadapi misi besar.Tidak ada jasa pengasuh yang dipakai selama ini. Tiga nenek super—Bu Ria, Tante Vita, dan Bu Susi—bergantian menjaga Narendra dan adiknya, Nayaka, dengan sistem yang mereka sebut “shift jaga cinta cucu”.“Naren ... ayo bangun, hari ini kamu sekolah, Nak!” seru Bu Ria dengan suara nyaring seperti komandan upacara.Narendra membuka mata perlahan, ekspresinya datar. “Aku sudah bangun dari tadi, tapi lagi mikir sekolah itu kenapa sih harus pakai seragam?”Tante Vita langsung tertawa sambil membawakan setelan sekolah berwarna navy.“Karena kalau nggak pakai seragam, kamu nanti dikira pengunjung taman safari!”Sementara itu, Bu Susi sibuk menyiapkan bekal makan sian