"Weni? Ini kamu, kan, Sayang? Ini kamu?"
Dia tetap mengibaskan tangan. "Tolong, lepasin aku."
Terdengar bunyi dentuman di belakang. Aku menoleh, tidak sengaja melepaskan pegangan dari tangan Weni.
Ah, mobilku barusan dilempar seseorang. Aku kembali menoleh. Weni sudah lari, percuma mengerjarnya.
Kemana dia sekarang? Aku mengusap wajah, menatap lurus ke depan. Ada apa dengan Weni?
***
Aku masuk ke dalam rumah. Barusan, aku ke bengkel, memperbaiki mobil. Yang ada di pikiranku sekarang adalah Weni. Kalau itu bukan jenazah Weni lalu siapa? Dan kalau Weni masih hidup, kenapa dia menghindar dariku?
Di depan ramai sekali. Aku malas keluar, lebih enak di dalam. Bersama Vino.
"Kamu tahu perhiasan Weni ditaruh dimana, Ndre?"
Mendengar itu, aku langsung menoleh ke arah pintu. Mama barusan bertanya, sambil me
"Weni, aku mohon. Pulang, demi Vino."Aku mengabaikan Bang Wira yang sejak tadi membentak, menyuruh pulang. Dia tidak mau aku di sini. Biarlah, aku akan memperjuangkan pernikahan kami.Weni memalingkan wajah. Dia sudah cukup tenang, meskipun masih terlihat terluka. Ah, Weni apa yang terjadi?"Sayang, aku akan berubah demi kamu. Tapi pulang, ya. Jangan kayak gini.""Kenapa aku harus pulang, Mas?"Ah, akhirnya Weni merespon perkataanku. Meskipun pelan sekali, tetapi ini perekembangan yang hebat."Demi Vino, Sayang. Ayo, pulang."Mata Weni kembali berkaca-kaca. Aku harap, dia akan pulang, ketika mendengarku menyebut Vino. Kami memang sejak dulu menantikan anak laki-laki."Aku janji akan lebih perhatian sama kamu. Aku bakalan berubah demi kamu, Wen."Sungguh, aku berharap sekali Weni mau pulang. "Mas janji, kalau Mas gak berubah, kamu b
"Kamu yang gila, Andre!"Eh? Aku menoleh ke belakang. Mataku melebar, ketika melihat Bang Wira berdiri di sana. Ada Mama dan Papa Weni juga.Bang Wira langsung berjalan ke arah kami. Dia langsung menarik tangan Weni pelan, memeluknya.Weni masih terisak, jilbabnya acak-acakan. Aku menatap tanganku yang tadi menamparnya. Ya Allah, kenapa aku menampar istriku sendiri?"Wen, ma—maaf.""Gak ada gunanya!" Bang Wira menghardikku."Berikan bayi Weni."Papa mertuaku ikut maju. Aku mengernyit, kemudian menggelengkan kepala. Ini anakku, masa mau diambil."Anak saya menderita di sini. Sepuluh tahun saya diam saja, tapi tidak kali ini!" Papa berteriak cukup kencang.Aku menelan ludah, Bang Wira juga menatap seperti ingin memangsa. Benar-benar menakutkan."Ma, video tadi."Sebuah video diputar. Aku melotot, itu
"Kokponselnya dijatuhin? Kamu kenapa?" tanya Kak Anto sambil memungut ponselku.Aku mengusap wajah, masih belum percaya dengan perkataan Mama barusan. Surat dari pengadilan agama? Kenapa secepat itu?Apakah sebelum masalah besar ini, Weni mendaftarkan perceraian kami? Aku menggelengkan kepala. Tidak mungkin Weni yang melakukannya.Lalu siapa?"Ndre?""Surat dari pengadilan agama di rumah, Kak. Hancur sudah rumah tanggaku." Aku menjambak rambut. Ingin marah, tapi pada siapa? Tidak mungkin aku marah-marah di kantor.Kak Anton diam sejenak. Terdengar helaan napasnya. "Masih bisa, Ndre. Kamu masih bisa mempertahankan rumah tangga kamu."Ya, tapi itu kecil sekali kemungkinannya. Aku berdiri, memakai jas berwarna hitam."Eh? Kamu mau kemana? Kerjaan belum beres, Ndre. Kalau kena marah sama bos gimana?"Ah, aku tidak peduli dengan pekerjaan sekarang. Pikiranku tertuju pada rumah tangga,
"Mamagak bisa pulang, Sayang."Aku mendongak, menggigit bibir. Tidak bisa melihat mereka. Apakah Rea akan menjadi korban kegagalan pernikahan kami?"Pulang sama Rea, Mama. Pulang, sama Rea." Suara Rea bertambah besar, dia sepertinya akan mengambuk sebentar lagi."Ayo kita pulang, Mama. Ayo, pulang." Rea melepaskan pelukan, dia menggenggam tangan Weni, menariknya cukup kuat."Rea, Sayang. Mama lagi gak bisa pulang sama kita. Mama lagi ada urusan. Nanti, kalau urusan Mama udah selesai, Mama pasti pulang, Sayang." Aku berlutut di hadapan Rea, memegang pundaknya.Anak pertamaku itu kembali terisak. Dia menatap Weni. "Tapi Mama janji pulang, ya. Mama harus pulang."Weni tidak menggeleng, juga tidak mengangguk. Dia memalingkan wajah, tidak mau menatap Rea. Aku menutup mata, masih memeluk Rea erat-erat."Rea, Om udah dapat kupu-kupunya, ayo."Kak Anton yan
"Tergantung, tapi kayaknya gak ada harapan, deh."Aku terdiam mendengar perkataan Mbak Linda. Nadanya terdengar menakut-nakuti. Ah, aku malah tambah takut."Pa, laper."Kami berdua menoleh. Rea berjalan mendekatiku di belakangnya ada Kak Anton."Belum kamu kasih makan? Gimana, sih? Jadi Papa kok gak ada benar-benarnya. Ayo, Sayang. Kita makan di dalam."Mbak Linda menggandeng Rea. Sedangkan Kak Anton duduk di depanku.Aku menyenderkan punggung. Kak Anton dan Mbak Linda memang belum punya anak. Mereka sejak dulu menginginkan seorang anak.Namun, kehidupan rumah tangga mereka baik-baik saja. Tidak sepertiku. Punya dua orang anak, tapi kacau begini."Kakak pernah cek
"Kok bisa, sih, Ma?Aduh, mana kerjaan Andre belum selesai.""Ya, mana Mama tau, sampai sekarang belum pulang. Mama tadi sibuk juga, kamu jangan nyalahin Mama, dong."Aku memijat kening. "Siapa yang nyalahin Mama? Andre gak pernah ada niat buat nyalahin Mama.""Halah, kamu itu nadanya nyalahin Mama tadi. Udah kena racunnya Weni kayaknya kamu."Cukup. Aku mengembuskan napas pelan. Merasa lelah dengan sikap Mama yang sedikit menyebalkan."Mama tanyain ke guru Rea atau ke teman-temannya. Andre selesaiin pekerjaan dulu."Tanpa kalimat penutup, aku mematikan telepon. Jantungku sejak tadi berdegup kencang, aku takut kalau Rea kenapa-napa.Ah, ini salahku juga. Kenapa aku tidak terlalu memperhatikan Rea kemarin.&n
"Ngapain kamu di sini?"Eh? Aku menoleh ke belakang, tersenyum kikuk, ketika melihat Bang Wira. Dia menatapku galak, berkacak pinggang. "Boleh aku ketemu sama Weni, Bang? Lagi pula, Rea ada di dalam. Aku mau ketemu sama anakku."Mendengar perkataanku barusan, Bang Wira tertawa. Dia tampak sekali sedang menyindir. Pertanyaanku tadi sama sekali tidak dijawab. Aku sebenarnya sudah tahu jawabannya, tidak akan pernah bisa bertemu lagi dengan Weni. Hanya saja, apa salahnya mencoba. Iya, 'kan?Bang Wira melirikku sekilas, dia kembali melangkah. "Ada baiknya, Rea sama Weni. Kamu tidak akan bisa mendidik Rea dengan baik. Gak terbayang nasib Rea nanti, kalau tinggal sama kamu dan Mama tersayang kamu itu."Mendengar itu, aku terdiam. Memang benar, aku belum bisa jadi Papa yang baik untuk Rea, tapi aku akan berusaha. Masa semuanya diambil dariku. "Gak bisa gitu, dong, Bang. Aku punya hak untuk Rea. Kalau Weni ambil bayiku, kenapa aku gak boleh ambil Rea? Itu gak adil." "Oh, ya? Lebih baik ka
"Memangnya, Bapak siapanya Pak Wira?" Aku tidak menjawab pertanyaan itu. Fokusku pada Weni. Tanpa basa-basi lagi, aku kembali menyeruak kerumunan, menuju ke rumah sakit. Ponselku berdering beberapa kali. Pasti dari Mama. Nanti-nanti saja, aku harus segera sampai di rumah sakit. Sebenarnya, aku tidak mendapatkan informasi di mana runah sakitnya. Tapi bisa menebak-nebak, pasti rumah sakit paling dekat. "Pasien bernama Weni ada di ruang UGD, Pak."Aku langsung kesana, tanpa mengucapkan terima kasih pada petugas, mengusap dahi. Jantungku berdetak cepat. "Mana Weni, Bang?" tanyaku saat sampai di depan ruang UGD. "Ngapain kamu di sini, hah?! Bisa kamu itu cuma nyakitin Weni, Weni kena PPD sekarang gara-gara kamu. Gak nyadar juga?" Kata-kata yang sudah ada di mulutku, batal keluar. Bang Wira agak seram kalau sedang marah. Dia melotot menatapku. "Mana Rea, Bang?" tanyaku lagi. Kalau aku tidak boleh bertemu dengan Weni, bukan berarti aku tidak boleh bertemu dengan Rea. Anakku sendiri.