Istriku korban tabrak lari? Apakah benar dia sering menderita, karena satu rumah dengan Mamaku? Apakah aku bisa memperbaiki semuanya? Ah, aku tidak yakin dengan itu semua ***
View More"Kamu itu malu-maluin banget! Kasih tamu minuman, cuma pakai daster. Itu tamu penting, Weni. Kalau dia jijik ngeliat kamu, terus batalin kontrak kerja gimana? Kamu mau tanggung jawab, hah?!"
Weni hanya menunduk. Dia tidak memberikan reaksi apa pun, membuatku sedikit geram.
"Benar kata Mama, kamu itu cuma bisa malu-maluin aja."
Aku berjalan meninggalkannya sendirian, tidak ada gunanya lagi berbicara dengan wanita itu.
Baru saja ingin merebahkan tubuh di tempat tidur, terdengar ada sesuatu yang pecah di dapur. Aku mendengkus, pasti ulah wanita itu lagi.
"Astaga! Kamu itu memang gak bisa ngapa-ngapain, ya? Piring aja bisa pecah kayak gitu." Aku berkacak pinggang melihatnya.
Benar-benar tidak beres pekerjaannya. Aku menggelengkan kepala, melihat Weni yang tidak bersuara sejak tadi.
Terdengar suara tangis Vino—bayi kami yang baru berumur satu bulan. Bisa kulihat wajah kebingungan Weni.
"Maka nya, pekerjaan dari tadi diurusin. Giliran anak nangis, sok sibuk."
"Bisa kamu bantuin aku, Mas? Tolong ke Vino dulu, nanti aku nyusul."
Belum sempat aku berkata apa pun, terdengar suara Mama dari arah ruang tamu.
"Itu kenapa berisik banget? Pusing dengarnya."
Aku hanya melirik Weni. Dia masih membersihkan bekas piring pecah, bahkan ada bekas darah di tangannya.
Baiklah, biar aku yang menjaga Vino dulu. Weni memang serba lambat. Dia tidak bisa cepat hanya untuk membersihkan rumah.
Anakku yang satunya masih di sekolah. Hampir sepuluh tahun rumah tangga kami berjalan. Aku bosan melihat pekerjaan Weni yang lambat.
Padahal, Weni sudah hampir tiga minggu tidak ngapa-ngapain di rumah. Digantikan oleh Ibu setiap kali aku bekerja.
Namun, setiap kali aku pulang, Weni yang kelihatan bercucuran keringat. Ah, mungkin dia hanya sibuk mengurus Vino.
Ibu yang paling repot, ketika Weni melahirkan. Istriku itu memang sedikit menyusahkan orang lain.
"Mas, aku pergi ke minimarket dulu."
Aku menoleh, ketika sedang sibuk menenangkan Vino. Wanita ini memang menyebalkan sekali.
"Mau ngapain? Urusan rumah belum selesai aja, udah mau pergi."
"Ada yang perlu aku beli, Mas. Jagain Vino, ya. Aku cuma sebentar."
Halah, sebentar dari mana. Aku mengabaikan izinnya.
"Mas?"
Weni masih di depan pintu. Dia menatapku, belum pergi ketika aku belum memberikan izin.
"Ya, pergilah sana. Kalau perlu, gak usah pulang. Dasar menyusahkan."
***
"Mana lagi si Weni itu. Belum pulang juga, gak tahu apa, kerjaan di rumah udah numpuk."
Aku menoleh ke Mama yang mengomel sejak tadi. Kemudian melirik jam tangan. Sudah pukul delapan malam.
Vino sudah ditidurkan Mama barusan. Anak perempuanku yang paling tua sudah tidur. Wanita itu belum pulang juga. Entah kemana hilangnya.
Kalau dia tidak pulang juga tidak papa. Bebanku berkurang satu.
"Aduh, coba kamu telepon si Weni itu, Andre. Kerjaan di rumah numpuk. Mama gak mau ngerjainnya, ya. Malas."
Baiklah. Aku mengeluarkan ponsel, menghubungi si Weni.
Terdengar nada sambung. Aku menyenderkan punggung ke sandaran sofa. Menunggu Weni menjawab panggilan.
"Halo."
Mendengar suara pria, aku langsung berdiri. Wah, si Weni ternyata ada main di belakangku.
"Siapa kamu, hah?!"
Memang benar-benar tidak tahu diuntung. Sekarang dia selingkuh dariku?
"Saya orang yang bantuin Ibu pemilik ponsel ini ke rumah sakit, Pak. Maaf, lupa ngabarin. Tadi, ditahan sama perawat ponselnya. Tidak ada kartu identitas, hanya ada ponsel, tapi dikunci. Jadinya, saya menunggu ada yang menelepon."
Tunggu, penjelasan orang ini berbelit-belit sekali. Apakah dia sedang bersandiwara?
"Pemilik ponsel ini korban tabrak lari, Pak. Bapak ke rumah sakit saja sekarang, langsung ke ruang mayat."
"Tabrak lari?!"
***
Jangan lupa dilike dan subscribe, yaa.
"Maafkan Andre. Selama ini, Andre menghindar dari Mama. Andre salah, Ma. Maafkan Andre."Dulu, aku benar-benar menyayangi Mama. Menjaga pola makannya, semua aku jaga.Karena ada amanat dari Papa, tapi semenjak Mama memanfaatkan semuanya dariku, aku tidak lagi percaya pada Mama.Ah, apakah sekarang waktunya penyesalan? Atau saatnya memperbaiki semuanya?Aku mencium tangan Mama berkali-kali. Sedangkan Weni mengusap punggungku, berusaha menenangkan."Jangan teriak-teriak, Ndre." Mbak Linda menegurkuAstaga. Aku menutup mulut. Menatap Mama yang tampak payah. Sepertinya, rasa sakit itu terasa sekali."Mimpi apa Mama tadi malam, kamu bisa adadi sini hari ini, Ndre."Kami semua menoleh ke Mama. Wajah Mama terlihat tirus, sangat berbeda dari empat tahun yang lalu.Ini kegagalanku selanjutnya. Setelah Weni dan menegur Mama dulu. Ini juga yang menyakitkan bagiku."Semua karena Mbak Linda, Ma." Pandanganku juga beralih ke Weni. "Dan istri Andre, Weni.""Iya, Ndre. Mama tahu. Mama menyesal sudah
"Mas, ayo." Aku mengangguk, mengambil alih koper yang dibawa Weni. Kemudian mengunci pintu rumah. "Kebiasaan, deh. Aku mau bawa kopernya gak boleh.""Gak boleh, dong. Nanti kamu kecapekan.""Udah kayak pengantin baru aja, nih."Eh? Kami berdua kompak menoleh ke depan. Mbak Linda melipat tangannya di depan dada, tersenyum. "Mbak. Apa kabar?" Weni langsung menyalami Mbak Linda. Kami memang jarang bertemu dengan Mbak Linda dan Kak Anton. Ada banyak alasannya, salah satunya adalah pekerjaan aku dan Kak Anton. Rencananya, aku dan Weni akan liburan sekarang. Rea sudah di dalam mobil. Menunggu kami berangkat saja. "Eh, mana Rea cantik?" tanya Mbak Linda sambil menoleh ke mobil. "Di dalam mobil sama Putra, Mbak. Mana Kak Anton?" tanyaku sambil merangkul pinggang Weni. Putra adalah bayiku dulu. Sekarang, dia sudah empat tahun. Nah, selama empat tahun terakhir, aku memutuskan pindah ke rumah yang lebih luas. Dua tahun aku ditugaskan ke luar kota, mengajak Rea dan Putra. Sekarang, sud
"Sstt...."Aku menoleh ke Kak Anton yang baru saja memberikan kode. Dia menggelengkan kepala. "Kamu mau Rea keluar dari tempat ini dengan selamat, kan?" bisiknya. "Iyalah. Bisa dibawain pemukul aku kalau Rea gak keluar dengan selamat dari tempat ini."Pastinya. Bang Wira tidak akan terima, kalau Rea keluar tidak utuh dari tempat ini. "Maka nya, diam."Kami masih diam di tempat. Bersembunyi. Aku mengikuti perkataan Kak Anton. Benar katanya, aku tidak mungkin membiarkan anakku dalam bahaya. Entah apa yang akan dilakukan oleh Ayna. Kenapa dia sampai menculik Rea?"Kita mulai penyergapan." Kak Anton memberikan penutup mulut, membuatku mengernyit. Untuk apa?"Cepetan ambil." Kak Anton menatapku gemas. "Buat apa, Kak?""Kamu mau ikutan diculik kayak Rea? Lihat itu, banyak orang yang menjaga Rea. Bukan hanya wanita itu."Buru-buru aku mengambil penutup wajah yang diberikan oleh Kak Anton, kemudian memakainya. "Udah siap belum?""Udah.""Ayo, kita serbu sekarang."Aku dan Kak Anton ber
"Hah?! Gila kali, ya. Uang segitu banyak dari mana?" Tidak bisakah orang ini berpikir panjang? Kenapa dia malah mau memelorotiku. "Ini siapa, sih? Kenapa ngancam-ngancam?" tanyaku kesal. "Selain tidak pintar, kamu juga lambat berpikir, ya."Mendengar itu, wajahku memerah. Orang ini, membuatku marah saja. Dasar menyebalkan. "Anak kamu ada di tangan saya. Saya tunggu satu kali dua puluh empat jam. Atau anak ini, tidak akan pernah selamat."Aku mengembuskan napas pelan. Diam beberapa saat. Baiklah, aku akan menghubungi Kak Anton. Bertanya bagaimana baiknya. Baru saja menyalakan ponsel, Kak Anton sudah menghubungi duluan. Aku menggeser tombol berwarna hijau. "Halo, Ndre. Kamu dimana? Udah ketemu belum sama Rea?""Belum, Kak, tapi—""Astaga, kemana anak itu. Kenapa gak ketemu juga?""Ada yang nelepon Andre, Kak. Ada suara Rea juga, tapi dia minta tembusan lima ratus juta."Kak Anton diam sejenak di sana. "Posisi dimana, Ndre? Mbak sama Kakak kesana sekarang.""Masih di depan rumah,
"Yaudah, Mbak matiin teleponnya. Kamu pikirin baik-baik lagi, Ndre. Jangan sampai menyesal."Aku memalingkan wajah, kemudian kembali fokus menyetir. "Kenapa kamu sekarang jadi tidak mau membela Mama, Mas?""Pertanyaan apa itu, Wen?" tanyaku pelan. "Udah keliatan banget, Mas. Kamu berusaha menghindar dari Mama."Mendengar pertanyaan itu, aku tertawa. "Aku cuma gak mau ribut samakamu lagi. Hanya gara-gara Mama.""Tapi gak kayak gitu juga, Mas. Itu namanya kamu durhaka sama Mama. Itu gak baik.""Wen, udahlah. Jangan bersikap baik lagi sama Mama. Kamu udah disakitin, masih aja bela Mama.""Mas, selama itu kewajiban Weni sebagai istri buat ngingatin kamu, apa salahnya? Aku memang mau keadilan, tapi gak gini caranya."Aku menghentikan laju mobil di pinggir jalan, menatap Weni lembut."Mulai sekarang, kamu tenang aja. Aku bakalan selalu ada. Kehidupan kita bakalan tanpa Mama atau orang lain."***"Selamat datang di rumah kita yang baru." Aku membukakan pintu mobil untuk Weni. "Makasih, Ma
"Kamu lebih percaya sama rekaman pembohong itu, Ndre? Kamu gak percaya sama aku?"Mendengar itu, aku tertawa. Siapa yang mau percaya padanya, kalau dia saja pembohong?Ah, aku paling tidak suka dengab orang pembohong. "Kamu mau memilikiku, Ay?!" tanya pelan, tapi tegas."Ndre." Dia memasang wajah memohon. "Gak capek dramanya, Ay? Gak puas kamu mau hancurin rumah tanggaku? Belum puas kamu, hah?!" Wajahku memerah, sejak tadi menahan marah. Weni memegang tanganku. Saat aku menoleh, dia menggelengkan kepala. "Kamu tidak akan mengotori tangan kamu sendiri, kan, Mas?" biskk Weni. Ah, benar juga. Aku tidak akan pernah mengotori tanganku sendiri. Baiklah. Jaga sikap. "Kamu tahu, Ay. Orang yang mengganggu hidupku tidak akan pernah tenang. Walaupun Mama yang mengusuli itu, tapi kamu berperan penting di sini.""Lho, kok cuma aku? Harusnya Mama kamu juga ditangkap. Aku gak mau masuk penjara sendiri, Ndre."Aku mengabaikan perkataan Ayna. Dia harus tahu, kalau aku marah bagaimana. "Sini." A
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments