Istirahatlah yang Tenang, Istriku!

Istirahatlah yang Tenang, Istriku!

Oleh:  Rahma La  On going
Bahasa: Bahasa_indonesia
goodnovel16goodnovel
Belum ada penilaian
44Bab
9.6KDibaca
Baca
Tambahkan

Share:  

Lapor
Ringkasan
Katalog
Tinggalkan ulasan Anda di APP

Istriku korban tabrak lari? Apakah benar dia sering menderita, karena satu rumah dengan Mamaku? Apakah aku bisa memperbaiki semuanya? Ah, aku tidak yakin dengan itu semua ***

Lihat lebih banyak
Istirahatlah yang Tenang, Istriku! Novel Online Unduh PDF Gratis Untuk Pembaca

Bab terbaru

Buku bagus disaat bersamaan

To Readers

Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.

Komen
Tidak ada komentar
44 Bab
Korban Tabrak Lari?
 "Kamu itu malu-maluin banget! Kasih tamu minuman, cuma pakai daster. Itu tamu penting, Weni. Kalau dia jijik ngeliat kamu, terus batalin kontrak kerja gimana? Kamu mau tanggung jawab, hah?!"  Weni hanya menunduk. Dia tidak memberikan reaksi apa pun, membuatku sedikit geram.  "Benar kata Mama, kamu itu cuma bisa malu-maluin aja." Aku berjalan meninggalkannya sendirian, tidak ada gunanya lagi berbicara dengan wanita itu.  Baru saja ingin merebahkan tubuh di tempat tidur, terdengar ada sesuatu yang pecah di dapur. Aku mendengkus, pasti ulah wanita itu lagi.  "Astaga! Kamu itu memang gak bisa ngapa-ngapain, ya? Piring aja bisa pecah kayak gitu." Aku berkacak pinggang melihatnya. Benar-benar tidak beres pekerjaannya. Aku menggelengkan kepala, melihat Weni yang tidak bersuara sejak tadi.  Terdengar suara t
Baca selengkapnya
Weni Masih Hidup?
 "Ma, aku ke rumah sakit dulu. Si Weni kecelakaan katanya." Mama yang sibuk menonton televisi menoleh. "Halah, paling juga cuma luka biasa. Udah, kamu tunggu di sini aja, gak penting dia." Masalahnya, aku dengar tadi, yang mengangkat telepon bilang ke kamar jenazah. Bagaimana kalau beneran si Weni meninggal? Bisa bahaya. "Sebentar aja, Ma. Nanti Aku pulang lagi." Aku memakai jaket berwarna hitam, kemudian mengambil kunci mobil. Setelah berdebat dengan Mama cukup lama, akhirnya aku bisa pergi juga. Aku menghela napas pelan, mengambil kunci mobil.  Lima belas menit perjalanan ke rumah sakit. Aku memarkirkan mobil, bergegas bertanya pada perawat yang lewat.  "Oh, betul, Pak. Korban sudah ada di kamar jenazah. Bisa dikuburkan setelah melunasi biaya rumah sakit." Aku terdiam. Jadi, Weni betulan meninggal? Ya ampun, bagai
Baca selengkapnya
Luka yang Dirasakan Weni
"Bukan berarti Weni diam saja selama ini, lalu kamu bisa memanfaatkannya begitu. Kamu harusnya menjadi suami yang baik untuk istrimu." Aku mengusap dahi, masih memikirkan perkataan Bang Wira barusan. Benarkah Weni masih hidup?  "Maaf, Bang. Apa Abang tahu sesuatu?" "Maksudnya?" Bang Wira terlihat tidak mengerti dengan ucapan ku barusan.  Aneh saja, Bang Wira tampak biasa saja. Tidak ada raut kesedihan. Mama dan Papa mertuaku tidak datang malam ini. Benar-benar ganjil.  "A—apa Weniku masih hidup, Bang?"  Ada raut keterkejutan di wajah Bang Wira. Dia mengernyit menatapku. Seperti baru saja mendengar hal aneh. Memang, sih, harusnya aku tidak menanyakan itu pada Bang Wira, tapi sepertinya masih ada harapan.  "Weni kamu? Baru nyesel, hah?!"  Hampir saja aku lompat ke belakang. Suara Bang
Baca selengkapnya
Bertemu dengan Weni
"Mbak bisa ceritain Weni kenapa selama ini?" tanyaku pelan.  "Kamu pikir saja sendiri. Apa yang kamu lakukan kemarin sampai hari ini, pasti kamu akan menyesal." Mbak Linda meninggalkanku sendirian di ruang dapur. Apakah benar yang Mbak Linda katakan? Selama ini Weni menderita?  Ah, tidak mungkin. Weni itu di rumah hanya menjaga Vino, juga Rea—anak pertamaku yang sekarang kelas tiga SD.  Mama yang sering melakukan pekerjaan rumah. Aku menggelengkan kepala, beranjak dari duduk. Tidak peduli lagi, Weni tidak pantas mendapatkan belas kasihanku.  *** "Mama kok belum pulang-pulang, Pa? Udah tiga hari, Rea juga tiga hari gak sekolah. Rea gak mau sekolah, kalau Mama belum pulang." Hampir setiap hari Rea merengek. Weni benar-benar menyebalkan, dia yang menanamkan manjanya Rea ini. Membuat susah saja.  
Baca selengkapnya
Weni Disembunyikan Mas Wira
"Weni? Ini kamu, kan, Sayang? Ini kamu?" Dia tetap mengibaskan tangan. "Tolong, lepasin aku." Terdengar bunyi dentuman di belakang. Aku menoleh, tidak sengaja melepaskan pegangan dari tangan Weni. Ah, mobilku barusan dilempar seseorang. Aku kembali menoleh. Weni sudah lari, percuma mengerjarnya. Kemana dia sekarang? Aku mengusap wajah, menatap lurus ke depan. Ada apa dengan Weni? *** Aku masuk ke dalam rumah. Barusan, aku ke bengkel, memperbaiki mobil. Yang ada di pikiranku sekarang adalah Weni. Kalau itu bukan jenazah Weni lalu siapa? Dan kalau Weni masih hidup, kenapa dia menghindar dariku? Di depan ramai sekali. Aku malas keluar, lebih enak di dalam. Bersama Vino. "Kamu tahu perhiasan Weni ditaruh dimana, Ndre?" Mendengar itu, aku langsung menoleh ke arah pintu. Mama barusan bertanya, sambil me
Baca selengkapnya
Apa yang Terjadi pada Weni?
"Weni, aku mohon. Pulang, demi Vino." Aku mengabaikan Bang Wira yang sejak tadi membentak, menyuruh pulang. Dia tidak mau aku di sini. Biarlah, aku akan memperjuangkan pernikahan kami. Weni memalingkan wajah. Dia sudah cukup tenang, meskipun masih terlihat terluka. Ah, Weni apa yang terjadi? "Sayang, aku akan berubah demi kamu. Tapi pulang, ya. Jangan kayak gini." "Kenapa aku harus pulang, Mas?" Ah, akhirnya Weni merespon perkataanku. Meskipun pelan sekali, tetapi ini perekembangan yang hebat. "Demi Vino, Sayang. Ayo, pulang." Mata Weni kembali berkaca-kaca. Aku harap, dia akan pulang, ketika mendengarku menyebut Vino. Kami memang sejak dulu menantikan anak laki-laki. "Aku janji akan lebih perhatian sama kamu. Aku bakalan berubah demi kamu, Wen." Sungguh, aku berharap sekali Weni mau pulang. "Mas janji, kalau Mas gak berubah, kamu b
Baca selengkapnya
Surat Perceraian
"Kamu yang gila, Andre!"Eh? Aku menoleh ke belakang. Mataku melebar, ketika melihat Bang Wira berdiri di sana. Ada Mama dan Papa Weni juga. Bang Wira langsung berjalan ke arah kami. Dia langsung menarik tangan Weni pelan, memeluknya. Weni masih terisak, jilbabnya acak-acakan. Aku menatap tanganku yang tadi menamparnya. Ya Allah, kenapa aku menampar istriku sendiri? "Wen, ma—maaf." "Gak ada gunanya!" Bang Wira menghardikku. "Berikan bayi Weni." Papa mertuaku ikut maju. Aku mengernyit, kemudian menggelengkan kepala. Ini anakku, masa mau diambil. "Anak saya menderita di sini. Sepuluh tahun saya diam saja, tapi tidak kali ini!" Papa berteriak cukup kencang. Aku menelan ludah, Bang Wira juga menatap seperti ingin memangsa. Benar-benar menakutkan. "Ma, video tadi." Sebuah video diputar. Aku melotot, itu
Baca selengkapnya
Rea Rindu Mama
"Kok ponselnya dijatuhin? Kamu kenapa?" tanya Kak Anto sambil memungut ponselku.Aku mengusap wajah, masih belum percaya dengan perkataan Mama barusan. Surat dari pengadilan agama? Kenapa secepat itu?Apakah sebelum masalah besar ini, Weni mendaftarkan perceraian kami? Aku menggelengkan kepala. Tidak mungkin Weni yang melakukannya.Lalu siapa?"Ndre?""Surat dari pengadilan agama di rumah, Kak. Hancur sudah rumah tanggaku." Aku menjambak rambut. Ingin marah, tapi pada siapa? Tidak mungkin aku marah-marah di kantor.Kak Anton diam sejenak. Terdengar helaan napasnya. "Masih bisa, Ndre. Kamu masih bisa mempertahankan rumah tangga kamu."Ya, tapi itu kecil sekali kemungkinannya. Aku berdiri, memakai jas berwarna hitam."Eh? Kamu mau kemana? Kerjaan belum beres, Ndre. Kalau kena marah sama bos gimana?"Ah, aku tidak peduli dengan pekerjaan sekarang. Pikiranku tertuju pada rumah tangga,
Baca selengkapnya
Postpartum Depression
"Mama gak bisa pulang, Sayang."Aku mendongak, menggigit bibir. Tidak bisa melihat mereka. Apakah Rea akan menjadi korban kegagalan pernikahan kami? "Pulang sama Rea, Mama. Pulang, sama Rea." Suara Rea bertambah besar, dia sepertinya akan mengambuk sebentar lagi. "Ayo kita pulang, Mama. Ayo, pulang." Rea melepaskan pelukan, dia menggenggam tangan Weni, menariknya cukup kuat. "Rea, Sayang. Mama lagi gak bisa pulang sama kita. Mama lagi ada urusan. Nanti, kalau urusan Mama udah selesai, Mama pasti pulang, Sayang." Aku berlutut di hadapan Rea, memegang pundaknya. Anak pertamaku itu kembali terisak. Dia menatap Weni. "Tapi Mama janji pulang, ya. Mama harus pulang." Weni tidak menggeleng, juga tidak mengangguk. Dia memalingkan wajah, tidak mau menatap Rea. Aku menutup mata, masih memeluk Rea erat-erat. "Rea, Om udah dapat kupu-kupunya, ayo." Kak Anton yan
Baca selengkapnya
Rea Hilang
"Tergantung, tapi kayaknya gak ada harapan, deh." Aku terdiam mendengar perkataan Mbak Linda. Nadanya terdengar menakut-nakuti. Ah, aku malah tambah takut. "Pa, laper." Kami berdua menoleh. Rea berjalan mendekatiku di belakangnya ada Kak Anton.  "Belum kamu kasih makan? Gimana, sih? Jadi Papa kok gak ada benar-benarnya. Ayo, Sayang. Kita makan di dalam." Mbak Linda menggandeng Rea. Sedangkan Kak Anton duduk di depanku.  Aku menyenderkan punggung. Kak Anton dan Mbak Linda memang belum punya anak. Mereka sejak dulu menginginkan seorang anak.  Namun, kehidupan rumah tangga mereka baik-baik saja. Tidak sepertiku. Punya dua orang anak, tapi kacau begini.  "Kakak pernah cek
Baca selengkapnya
DMCA.com Protection Status